"Yang paling menyebalkan dari sebuah kenangan adalah membiarkannya bebas memperhatikanmu dari jauh. Bersiap kembali, jika memang dibutuhkan. Atau sekadar bertegur sapa, bahwa dirinya masih mengingatmu lamat-lamat."
How come?
('Sept.12)
"Yang paling menyebalkan dari sebuah kenangan adalah membiarkannya bebas memperhatikanmu dari jauh. Bersiap kembali, jika memang dibutuhkan. Atau sekadar bertegur sapa, bahwa dirinya masih mengingatmu lamat-lamat."
How come?
('Sept.12)
Perempuan ini becermin;
Di dalam sana, tubuhnya semakin terlihat anggun dengan longdress menjuntai menutupi mata kaki, juga sepasang kaos kaki panjang berwarna hitam -kadang krem-
Ia merasa bahagia bisa berpindah dari sebuah tubuh yang dulunya tak pernah malumalu mengumbar rambut coklatnya, juga betis yang nyaris berotot karena sibuk latihan barisberbaris dan olahraga.
Ia merasa bahagia, tubuhnya berkembang ke arah yang lebih baik.
2010 - perempuan itu bermata sayu dengan rambut tergerai sebahu. Poni yang terjepit di sebelah kanan -kadang juga kiri- adalah ke-khas-an darinya. Kemeja pendek dengan celana jeans gelap yang meliuk jelas -memancarkan lekuk tubuh berukuran sedang-
2011 - ia berpakaian etnik, dengan rok tunik dan tas gendong yang setia bersandar di punggungnya. Sepatunya bertalitemali, meski bukan sepatu ket, melainkan sepatu plastik juga kulit yang penuh ikatan membelit.
2012 - rambutnya tersembunyi dalam balutan kerudung. Tubuhnya mulai bersinergi dengan akal dan nurani. "Bukankah sudah waktunya untuk setia?" Ya, akhirnya perempuan itu setia mengenakan tudung di kepalanya. Meski jeans ketat dengan sobekan di lutut masih membelit kakinya.
2013 - ia masih mengenakan tudung di kepalanya, dengan panjang sedada -namun tak menutupinya. Celananya mulai berganti model. Kini ia lebih sering memakai kostum berbahan kain. Ya, perempuan itu mulai menyadari tubuhnya berada di fase mana. Ia mulai mengganti seluruh celana jeans yang nyaris tercabikcabik itu, dengan celana bahan berukuran longgar, kadang rok sepan, kadang juga rok yang menjuntai luas mirip rok cinderella.
2014 - tudungnya masih setia di kepala, masih berukuran sedada -kadang melebihi, namun tak sering. Ia mengklasifikasi bajubajunya -baju berkancing adalah favoritnya saat itu- sementara celana dan rok masih silih berganti menguasai jenjang kakinya.
2015 - tubuhnya berpindah dari satu fase ke fase berikutnya. Ia tersadar, betapa hijab adalah kewajiban seorang perempuan untuk mengenakannya. Kini -di tahun ini - tepatnya bulan juli - ia tumbuh dan berkembang ke fase yang lebih serius. Fase yang bukan mengutamakan fesyen atau kecantikan dari pakaian, melainkan "inner beauty" yang benarbenar dihadirkan dan tak mencolok penampilan. Keimanan dan ketakwaan seorang perempuan -ia masih belajar, sama seperti perempuan awam lainnya yang ingin berkomitmen dengan tubuhnya. Ia mulai terbiasa dengan rok menjuntai menutupi mata kaki, kaos kaki hitam menutupi telapak kaki, manset tangan menutupi pergelangan, baju tak ketat yang panjangnya melebihi paha, dan tentunya tudung yang menjuntai menutupi dada bahkan perutnya.
Ia bahagia, tubuhnya bermetamorfosa.
Ia bahagia, lingkungannya dapat menjamah akal dan pikiran untuk kembali ke aqidah dan akhlak yang Tuhan inginkan.
Ia bahagia, masa kecilnya kembali ke hadapan. Impian dan seluruh asa yang mulai menampakkan wujudnya.
Terimakasih, segalanya terbayar sudah.
Mimpimimpi masa kecil -harapan untuk mondok pesantren di Jawa, harapan untuk menutup aurat dari ujung rambut hingga kaki sejak sekolah dasar, harapan dan mimpimimpi yang sempat dibabat habis oleh orang tersayang di sana- segalanya mulai terasa nyaman untuk dilakoni saat ini. Meski tak persis berada di tempattempat yang diimpikan itu, namun sejatinya Tuhan sudah bijak dan berbaik hati untuk memberikan rasa yang sama dengan segala harapanharapan itu. Sepertinya Tuhan menawarkan kebahagiaan yang harus selalu dijemput dan diciptakan oleh diri kita masingmasing.
Thanks to Alloh.
Alhamdulillah... semoga selalu menjadi pribadi yang lebih baik di tengah maraknya fesyen yang berkelebat.
Saat oranglain berkamuflase dengan lingkungannya kini -ada yang menjadi lebih buruk; roknya tergeser oleh celana, bajunya hanya sepaha dan tudungnya tak melebihi dada- semoga ia kembali menjadi dirinya yang dulu; yang cerminannya sudah menyerap dalam tubuhku.
Semoga selalu sempat berdoa untuk keselamatan diri sendiri, juga oranglain. ❤❤❤
Beginilah tubuh kami berpindah tempat dari tahun ke tahun.
Kita tak pernah tahu, di usia ke berapa, kita mampu meraih mimpi yang hakiki.
Memangnya segala mimpi itu hakiki ya?
Tidak juga. Tapi berusaha menggapainya, why not?
Setelah menjalani tugas menjadi seorang guru atau pengajar atau mungkin pendidik juga, saya berkesimpulan bahwa passion dalam diri saya bukan berada di wilayah ini (red:wilayah pengajaran di kelas). Entah mengapa, seolah ruh saya tidak nyaman berada di posisi ini. Lantas apa passion saya? Bingung, saya juga masih merabanya.
Padahal suasana kelas dan sekolah sudah cukup bersahabat, murid-murid sudah segan dan menyenangi pelajaran bahasa indonesia, tapi jauh di dalam kepala saya.. Seseorang meneriaki otak saya hingga nyaris pecah.
Siapa yang berteriak?
Diri saya dari sisi yang lain.
Mau jadi apa dong si saya ini?
Penulis? Nggak deh kayaknya, cuma tulisan ringan yang belum punya ruh. (Tapi masih dipertimbangkan sejauh mata memandang).
Pebisnis? Bukannya dari awal memang cuma pelarian saja ya, sebagai pengisi kekosongan? Heeum, maybe kalau sudah mentok, larinya jadi tukang dagang. 
Hehe.
Guru? Sedang dijalani, tapi belum sepenuhnya dari hati. (Mungkin efek masih punya baby yang kudu diurus di dalam rumah & belum rela bepergian lamalama tanpa si baby ini).
Waw, apa kabar anak kedua nanti? Yeay! Bakal mengeram dalam rumah lagi nih kayaknya. 
Atau mungkin saya minat berkuliah lagi dan menjadi dosen?
Option pertama setuju, option kedua belum tahu karena masih seputar belajar mengajar. Yap, saya mau belajarnya saja tapi masih belum 'klop' dengan kegiatan mengajarnya. Padahal niat saya menjadi guru 'harusnya' adalah untuk mengamalkan ilmu. Mungkin belum sepenuhnya diniatkan dari hati nurani, ya.
Tapi ternyata lebih asik mengurus anak di rumah loh (red: ibu rumah tangga). Capeknya terlihat, hasilnya pun terlihat, bahagianya tiada dua, pahalanya berlipatlipat. Hihi. Tibatiba muncul celetukan, "mendidik anak sendiri saja dulu sebelum si kamu mendidik anak orang lain." Yes!
Entah karena kelamaan vakum berkarir dengan dunia luar atau karena memang belum menemukan passion.
Apalagi tahun ini jadi tantangan terheboh juga, sih. Meninggalkan bayi di rumah untuk pergi mengamalkan ilmu menjadi guru sekaligus pelatih ekskur Teater di sebuah sekolah islam. Heuheu. Semoga Syahla lekas tumbuh dan berkembang, supaya bisa ikut bunda ke sekolah tanpa digendong terus menerus. Jadi bunda nggak khawatir dengan kondisi kamu :D
Supaya suatu saat bunda rela bepergian tanpa Syahla, karena Syahla sudah bisa main sendiri nantinya dan nggak merepotkan orang lain lagi.
Oh iya, Syahla sedang bersiap menjadi kakak ^_^ Sebentar lagi saya menuju status "mother of two". Dengan demikian, Syahla nggak akan kesepian lagi karena nanti punya adik yang usianya berdekatan. Horeee! *semoga akur dan nggak ributributmulu*
terka menerka...
Kirakira setelah melahirkan, saya berhenti mengajar atau lanjut ya?
Lalu.. kami masih akan tinggal di Karawang atau pindah rumah ke kota lain, atau justru kembali ke Tanjungsari?
Siapa tahu lolos beasiswa luar negeri. Aamiin..
Heu, segala kemungkinan bisa terjadi tanpa didugaduga.
Tak sabar menanti deretan hari esok yang penuh misteri.
Bismillah. Rela melakoni bidang yang sedang digeluti saja dulu-lah, setelahnya, siapa yang tahu? *singsingkan lengan* ~,~
Selamat berhijrah!
Hai... mulai hari senin kami jadi orang karawang yang benarbenar menetap di karawang.
Wowww....
Selamat datang di dunia pendidikan!
Masih ada dua sampai tiga hari lagi menikmati suasana tanjungsari dan bandung.
Bandung... Besok kami datang! Bersiap, packing dan sebagainya. Oh God, saya akan kembali jadi manusia kecoklatan karena panasnya mirip panas di kampung halaman. Heuheu.
Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk dan jalan yang terbaik untuk keluarga kami ini. Aamiin.
Kadang kau butuh seseorang yang mau mendengar ceritamu, keluhanmu bahkan sampai ocehan tak berguna. Seseorang yang ketika diajak bicara bukan menganggap lawan bicaranya itu sebagai saingan yang mesti dikomentari pendapatnya, mesti dikoreksi tiap tuturkatanya, bahkan selalu dianggap salah dalam berucap. Seseorang yang mau mendengarkanmu dengan pikiran suci dan selalu berprasangka baik di awal tuturan. Tak meremehkan ucapanmu barang sehuruf-pun.
Kadang menjadi orang yang berpikir itu sangat melelahkan. Bahkan lawan bicara kita pun sudah berpikir lebih dulu untuk menyiapkan kalimatkalimat, jawaban, respon dan atau komentarkomentar atas ucapan kita yang mungkin belum juga selesai disampaikan ketika itu.
Oh, God.
I think, i need someone.
Yes, i need. 
He isn't my husband. 
Maybe..... you.
Kau tahu La, tubuh kita kuyup diguyur waktu...
Sejam lalu kita baru saja selesai menggenapkan usiamu.
Beberapa rekan dan sahabat datang mengunjungimu.
Bukankah kau bahagia dengan hal itu?
La, hidup tak sekadar menjalani hari demi hari sesuai langkah kaki maupun mimpimimpi di kepala,
hidup di kedalaman arti yang lebih rinci membawamu pada fase perubahan apapun.
Selalu bijak menghadapi hidup yang runyam ini, nak. Karena hidup tak sebercanda tingkah ayahmu.
Hidup untuk hidup.
Semoga tak ada sesal yang kembali berkelebat di deret usiamu kelak.
Selamat tanggal 8, La!
Mengulang tanggal di setiap bulannya, kemudian bersiap menghadapi fase berikutnya yang (mungkin) sangat kau nantikan.
Love you, dear! 
Happy cakeday! :')
Siang itu aku dipanggil oleh Pak Heru, guru biologi di sekolah yang juga menjabat sebagai pembina osis. Tahun 2009 aku demisioner dari osis, menduduki jabatan sebagai bendahara 1. Meski pada pemilihan suara, aku mendapat posisi terbanyak kedua, namun akhirnya aku ditempatkan sebagai bendahara, bukan wakil ketua. Tersebab dari kelima orang kandidat, tak ada yang berpengalaman memegang uang osis (tahun sebelumnya - 2007 aku menjabat sebagai bendahara 2 di osis saat baru masuk SMA kelas 10). Akhirnya aku pun rela ditugaskan kembali menjadi bendahara osis periode 2008-2009 saat menduduki kelas 11ipa3.
Kembali ke pemanggilan itu, tanpa banyak bicara Pak Heru memberi selembar surat edaran dari dinas kabupaten cirebon. Setelah membaca, akhirnya aku tahu kalau Pak Heru memintaku untuk menjadi perwakilan sekolah dalam ajang solo vokal putri tingkat kabupaten. Tak hanya sendiri, di ajang tersebut ada juga kategori laki-laki.
Tanpa kuduga, Pak Heru menyebut sebuah nama yang membuat kepalaku limbung. Laki-laki berinisial R. Di tulisan ini aku akan menyebutnya "Er".
Tak ada masalah dengan Er, hanya sebuah rasa yang membentur kepalaku untuk kembali mengingatnya.
Siapa Er?
Tak banyak yang tahu bagaimana perasaan kami tumbuh begitu saja. Perasaan yang tak pernah sampai pada tempatnya. Hingga aku memutuskan untuk menyudahi penantian yang sia-sia.
Baiklah, kembali ke pemanggilan itu. Beberapa saat setelah duduk di ruang TU, Er datang menghampiri kami. Ia mengetuk pintu dan melempar senyum pada kami. Bergegas tubuhnya sudah berpindah di sampingku.
Pak Heru memulai percakapan, meminta kami untuk hadir pada technical meeting di Sumber tanpa ditemani oleh dirinya ataupun guru yang lain karena hari itu bentrok dengan rapat guru-guru di sekolah. Er setuju dan mengusulkan untuk mengendarai motor ke tempat TM yang diperkirakan memakan waktu 45 menit dari sekolah. TM dilaksanakan entah berapa hari setelah pertemuan tersebut, yang pasti tak berselang lama.
Hari technical meeting tiba. Aku dan Er pergi ke Sumber menunggangi motor. Saat itu statusku memang sedang tak terikat pada siapapun karena hubunganku dengan Dee kandas menjelang kenaikan kelas 12. Maksudku, aku tak bisa menerima masa lalu Dee. Entahlah, aku begitu pemilih. Barangkali juga karena hatiku masih terikat pada Er, lelaki yang pertama kali membuatku nyaman di sekolah saat mengikuti tes seleksi pengurus osis di kelas 10.
Lelaki yang punya hobi sama denganku -menulispuisi. Lelaki yang punya ketertarikan yang sama -senidanmusik. Lelaki berjiwa seni dengan sekelumit cinta pada dunia kesenian. Lelaki yang aktif bergiat di Paskibra (pasukan pengibar bendera). Ia bisa membagi kecintaan pada dunia seni, olahraga maupun barisberbaris. Pun denganku. Jadi tak ada alasan untuk tidak tertarik padanya karena sederet keserasian yang ditakdirkan Tuhan.
Saat itu aku sedang jomblo dan menikmati masa lajang di usia remaja. Vakum dari dunia percintaan, aku memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan beberapa orang lakilaki maupun perempuan. Hingga aku tak sadar, banyak lelaki yang nyaris patah hati karena terlalu percaya diri mendekatiku (baiklah, abaikan yang satu ini).
Aku tahu, Er sudah memiliki kekasih. Sebenarnya aku ingin menceritakan kronologi cerita ini dari awal, agar para pembaca bisa mengaitkan perasaan tokoh-tokoh dalam masalah ini. Tapi sudahlah, terlalu sesumbar. Barangkali bisa kalian temukan di cerpen berjudul "Feeling Guilty" yang sengaja kutulis untuk persyaratan diklat asas beberapa tahun lalu.
Well, karena alasan perintah dari sekolah, akhirnya tak ada masalah mengenai pemberangkatan ini. Kekasih Er bernama Fat. Kami bertiga (berempat dengan Dee -dulunya) termasuk teman dekat yang bergiat di osis maupun paskibra. Tak ayal, kedekatan kami berempat mulanya karena jabatan di paskibra. Aku dan Dee dipasangkan menjadi pengemban putra dan putri (bertanggungjawab atas satu angkatan), sedangkan Fat dan Er dipasangkan menjadi Bapak dan Ibu lurah (bertanggungjawab atas satu kepengurusan).
Teman-teman di sekolah juga sudah tahu kalau aku dan Er dekat karena Er memanggilku adik dan aku memanggilnya kakak. Namun jauh sebelum eratnya sebutan kakak-beradik itu, kami memang pernah mengikat hati. Sekadar mengikat dan meyakini bahwa ada rasa yang lain di antara kami berdua. Segalanya tampak biasa saja di depan orang-orang, barangkali karena semua hanya melihatnya dari kacamata depan saja, mereka tidak melihat jauh ke dalamnya.
Kedekatan kamipun direstui oleh seorang guru perempuan yang sudah kuanggap sebagai second mother. Aku menyebutnya Bunda. Tapi tetap, kami tak bisa mengikat hati di depan banyak orang. Kami hanya dekat sebagai sahabat, tak lebih. Barangkali cuma Bunda yang mengetahui perasaan kami satu sama lain. Itu pun Bunda ketahui ketika aku dan Er mengikuti lomba menyanyi solo di dinas kabupaten.
Bunda yang mengantar kami ke sana saat hari perlombaan. Bunda pula yang mendengar segala curahan hati kami masing-masing, hingga ia menganggap bahwa aku dan Er saling menyukai tapi tak bisa mengikat hati. Entah apa sebabnya, Bunda juga tak punya solusi.
Menuju perlombaan menyanyi, aku dan Er menyiapkan kostum sebaik mungkin. Er bahkan mengantarku membeli sepatu untuk kebaya yang akan kukenakan nanti. Hari itu Er pertama kali berkunjung ke rumahku.
Seusai membeli sepatu, Er mengobrol dengan ambu dan abah. Kami semua tampak akrab. Apalagi Er dan aku akan menyanyikan lagu lawas yang sangat dikenal ambuku. Er sampai berlatih menyanyikan lagu "Selendang Sutera" bersama ambu, karena beliau sangat hafal lagu tersebut. Aku juga tak kalah saing, ikut berlatih menyanyikan lagu "Pantang Mundur". Semuanya terdengar syahdu, ditambah suara ambu yang merdu.
Beberapa saat sebelum sampai di rumah, Er membelikanku eskrim. Ya, dia memang tahu kalau perempuan bermata sayu ini adalah maniak eskrim. Akhirnya dia membelikan beberapa eskrim untuk keluargaku juga. Bahkan Er sengaja membukakan cangkang eskrim untuk abah. Kedekatanpun terjalin di antara keduanya.
Begitulah, pertemuan singkat dengan Er yang menimbulkan kesan baik di mata keluargaku. Hingga aku benar-benar takut menghadapinya.
Bagaimana tidak?
Aku bepergian dengan seorang lelaki yang sudah tak sendiri. Membeli sepatu, bahkan makan eskrim bersama. Aku merasa janggal dengan keadaan itu, aku takut perasaan silam kembali muncul. Aku takut akan ada permasalahan yang timbul. Ya, aku takut menyulut pertengkaran antara Er dan Fat.
Berpindah dari ketakutanku dan kewaspadaan untuk tidak terlalu "baper", akhirnya aku berusaha santai menjalaninya. Sampai perlombaan itu benarbenar selesai dan aku tak akan dipersatukan lagi dengan Er.
Entah tanggal berapa saat itu. Aku lupa mengingatnya. 
###
*tobecontinued*
Saya baru saja mengirim aplikasi lamaran pekerjaan ke email kepala SDIT Lampu Iman di Karawang. Well, itu rekomendasi dari Ibu (mertua saya). Dari kemarin kami ngobrol via whatsapp, Ibu tahu kalau saya kelewat jenuh diam di rumah dan ingin segera mengajar. Beliau merekomendasikan saya untuk ngajar di sekolah tersebut. Alasannya, Syahla tidak perlu masuk daycare karena bisa dititipkan ke Abi. Selain itu, karena jarak sekolah dan rumah Ibu yang sangat dekat. Selain itu lagi.. karena di sana ada adik ipar saya yang masih bersekolah, namanya Nisa. Doi tahun ini naik ke kelas tiga. Ibu sangat berharap kalau saya ingin kerja, lebih baik kami tinggal di Karawang supaya bisa dekat dengan keluarga suami dan Syahla tetap terpantau.
Pertengahan bulan kemarin, saya juga memasukkan aplikasi ke Temasek International School di Bandung. But, saya nggak yakin bakal lolos di sana karena berbagai macam hal. Saya masih takut buat nitipin Syahla ke daycare. Sebetulnya lebih condong buat ngajar di Bandung sih, karena suami juga domisili kerjaannya di Bandung. Mungkin rumah di tanjungsari mau kami jual (itupun kalau laku sesuai dengan harga yang kami pasang). Tapi semuanya bentrok di batin seorang ibu yang nggak bisa jauh berlamalama dari bayi mungilnya. Saya juga masih belum rela dan belum sepenuhnya tega-yakin-percaya buat nyerahin Syahla ke tangan oranglain. Huhu.
Duuuh, jadi dugdugser sendiri. Banyak keraguan buat masukin aplikasi ke berbagai lowker. Aslinya.. Belum rela ninggalin Syahla barang limamenit bahkan berjam-jam :(
Entahlah, tapi sayanya juga pengen ngajar nih. Mumpung materi penguasaan kelas dan teknik pengajarannya masih nempel erat di kepala, takutnya kelamaan di rumah malah bikin tumpul.
Baca? Nulis?
Udah... tapi tetep, pengen bersosialisasi di dunia luar.
Kubu pertahanan otak dan batin saya mulai 'sengklek' dan 'bengkok'. Saya nggak bisa milih mana yang lebih baik. Memang benar-benar kudu solat istikhoroh sesuai saran ibu :') *efek ngobrol panjanglebar sama ibu mertua di whatsapp*
Dari segala kemungkinan, saya lebih milih untuk tetep tinggal serumah dengan suami dan Syahla *di manapun itu nantinya*. Karena bagaimanapun, hidup berumah tangga lebih asik kalau tinggal mandiri dalam sebuah rumah.
Ehya, tetangga di rumah ini juga udah mulai asik *saya dan suami makin ragu buat pindah rumah* ah!
Yaaah, Insya Alloh ada jalan yang terbaik dari segala pilihan ini. Bismillah aja.
Sambil nunggu acc lamaran, mending baca-tulis dan jualan online dulu gih! *ujar batin saya* tibatiba semuanya ditinggalkan setelah melihat tingkah lucu Syahla. ~saya mah gini orangnya.
Selamat tidur!
Ini sering terjadi dalam beberapa kasus menulis. Ketika saya asik menyusun kalimat dan merangkai sebuah alur yang pas, saya merasa karya saya itu bagus. Ya, tidak terlalu buruk. Tapi ketika membacanya ulang di hari lain, saya merasa jijik dan heran terhadap diri sendiri.
"Kenapa tulisan saya begini? Kok alurnya gini sih? Eh, bahasanya terlalu baku. Loh, kok terlalu santai ya?"
Ah, dan sebagainya sebagainya.
Sontak saya tekan tombol ctrl+A+delete. Saya hapus dari blog dan tumblr. Saya biarkan ia mengendap di laptop. Mungkin suatu saat bisa saya ubah sedikit, atau dipoles sampai mulus dan enak dibaca.
Well, apakah itu terjadi cuma pada saya? Kayaknya nggak deh.
Bye!
by Intan Pertiwi [@tanzalea]
"Yang paling ditakuti seorang perempuan adalah ketidakbahagiaan." - Gem.
#Pertemuan Silam#
Bagaimana sebuah masa lalu mampu menjelajah habis isi kepala wanita itu. Ia belum bisa membenamkan kegelisahan pada kasur yang menumpu berat badannya. Di atas ranjang, tubuhnya terbaring lemah, seolah raganya telah hilang terbawa amarah. Tangannya meraih sebuah ponsel yang tergeletak di samping bantal kepala. Ia mengetik sebuah pesan, dikirimkannya pesan tersebut pada seseorang.
"Mas, masih lama?" pesan terkirim.
Beberapa saat hanya terdengar decakan cicak di dalam kamar. Cicak itu terdiam di samping jam dinding, matanya nyalang tanpa kedipan. Sang cicak merayap masuk ke balik jam ketika mata wanita itu menudingnya. Nyaris frustasi menunggu kabar, wanita itu kembali mengetik pesan.
"Mas, aku nggak bisa!" pesan terkirim. Tapi seseorang di sana belum juga membalasnya.
Wanita itu kembali menatap ponselnya, menunggu dering telepon yang sudah lama dinanti. Lima belas menit berlalu, ponsel berbunyi. Wanita itu bergegas meraihnya.
"Gem?" ucapnya berbisik.
"Halo?" suara dari dalam telepon terdengar nyaring.
"Gem, sudah malam. Aku mau istirahat!" ujar wanita itu.
Suara dari dalam telepon tampak tak menggubris. Ia tetap bersikukuh ingin berbincang dengan wanita itu.
"Ran, kamu baik-baik saja kan? Suamimu ada?"
"Iya, ada. Sudah ya, aku mau tidur!" 
klik! Telepon terputus, wanita itu melempar ponselnya ke ranjang. Ia berdiri di hadapan cermin dan mengamati tubuhnya sendiri. Ia kembali ke ranjang dan berbaring. Perlahan, sayap-sayup detak jam mulai menguasai ruangan. Wanita itu menutup mata dan akhirnya tertidur sepanjang malam.
****
Pukul 4 sore, di sebuah foodcourt salah satu mall terbesar di Bandung. Seorang lelaki bercelana jeans dengan sobekan rapi di kedua lututnya, rambut kribo menguasai kepala, juga sebuah kacamata yang membantu mengurangi silindrisnya. Lelaki itu masih duduk di salah satu meja makan. Ia menatap sekeliling, mencari seseorang yang barangkali sudah membuat janji dengannya.
Dari kejauhan, tampak seorang perempuan berlari menuju ke arahnya. Perempuan dengan kerudung cokelat menutupi dada, kaos polos berwarna putih dan celana tunik longgar berwarna cokelat. Berhenti berlari, ia mulai berjalan tergesa menghampiri kediaman lelaki itu. Tak menunggu lama, lelaki itu melempar senyum yang langsung dibalas oleh perempuan berkerudung coklat.
"sudah lama ya?" tanya perempuan berkerudung sambil meraih kursi untuk duduk.
"lumayan," jawab lelaki itu singkat.
"eh, sudah pesan makanan?" 
"belum, aku nunggu kamu. Mau pesan apa?" lelaki itu menyodorkan buku menu yang sedari tadi tergeletak di atas meja.
Perempuan berkerudung meraihnya. Tampak sedikit berpikir, ia membaca pindai menu makanan yang terpampang.
"Sirloin dan jus mangga, right?" tanya lelaki itu tiba-tiba.
Perempuan berkerudung mengangkat wajahnya. Matanya sedikit memicing, "kamu masih ingat?" tanyanya tertawa. Lelaki itu mengangguk mantap.
"kamu pasti mau pesan yang double-kan?" tebak perempuan berkerudung. Lelaki itu tertawa dan menggeleng cepat, "kali ini aku mau pesan yang single saja."
Dipanggilnya seorang pelayan. Mereka memesan dua sirloin, jus mangga dan kopi hitam. Pelayan mencatat dan bergegas pergi menyiapkan pesanan.
"istrimu apa kabar?" perempuan berkerudung mengawali percakapan.
Sedikit berpikir dengan memainkan bola mata, "baik," ujarnya dibarengi anggukan kepala.
Perempuan berkerudung mengangguk juga. Ia mulai mengeluarkan sebuah buku yang sudah disiapkannya dari dalam ransel.
"kamu tahu nggak, berapa banyak riset yang aku lakukan buat ngumpulin semua data ini?" celetuknya.
"yang pasti kamu sudah berjuang keras," ujar lelaki itu menanggapi. Perempuan berkerudung mengangkat bahunya. Ia kembali sibuk membaca-baca buku catatannya.
"dari dulu kamu nggak pernah berubah ya," ucap perempuan berkerudung sambil sesekali melirikkan matanya ke arah lelaki itu.
"aku memang nggak pernah berubah. Aku kan bukan superhero," celetuknya yang langsung dibarengi tawa renyah perempuan berkerudung.
"jadi kapan aku bisa baca naskahmu?" tanya lelaki itu.
"Ini masih proses, Ray. Aku belum menemukan data akhir. Kamu harus sabar, karena aku mau bikin naskah yang isinya bukan cuma omong kosong penulis," ujarnya menjelaskan.
"oh, I see. Kamu nyindir aku kan?" tangan lelaki itu mulai bergerak menumpu dagunya sendiri di atas meja. Matanya menatap penuh persaingan pada perempuan di hadapannya.
"sebentar, aku nggak bilang kalau naskahmu itu isinya cuma omong kosong doang kan?" tanyanya santai.
"well, nggak langsung sih. Tapi no problem deh, toh yang berkomentar juga seorang penulis kawakan," jawab lelaki itu. Perempuan berkerudung tertawa dan kembali sibuk dengan buku catatannya.
"aku disuruh ketemu kamu di sini bukan cuma buat nonton kamu asik buka-buka buku catatanmu itu kan?" lanjutnya.
"what? Ya nggaklah. Tunggu sebentar, kali," jawab perempuan berkerudung.
Lelaki itu menyandarkan punggungnya ke kursi. Matanya kembali berlari ke sekeliling foodcourt.
Dari arah berlawanan, seorang pelayan datang membawa sebuah nampan berisi pesanan mereka. Setelah menatanya di atas meja dan memastikan pesanan itu benar, ia bergegas meninggalkan mereka menuju pemesan lainnya.
Perempuan berkerudung mulai melahap makanan di hadapannya. Ia memotong sirloin dengan pisau dan garpunya. Sementara lelaki itu sudah setengah bagian menghabiskan sirloinnya.
"Ray, kamu nggak buru-buru kan?" perempuan berkerudung bertanya ragu.
Lelaki itu mengangkat bahu, bibirnya tampak mengulum makanan. Tatapannya mengarah ke perempuan berkerudung, seolah bertanya, memangnya kenapa?
Perempuan itu kembali bicara, "aku masih butuh sharing sama kamu. Mungkin dua sampai tiga jam ke depan." Perempuan berkerudung berhenti menggerakkan garpu dan pisaunya, seolah ada keraguan dari perkataannya sendiri. Lelaki itu berhenti mengunyah dan menatap heran perempuan berkerudung.
"eh, kita bisa nonton film dulu kalau kamu mau, supaya nggak jenuh bahas naskah aku," timpal perempuan berkerudung disusul senyuman lelaki itu.
"ada film apa?"
"fast and farious 7. Atau kamu mau nonton filosofi kopi?" perempuan berkerudung memberi penawaran.
Lelaki itu lebih memilih film pertama. Perempuan berkerudung mengangguk setuju. Mereka segera menghabiskan sisa makanan di atas meja. Lelaki itu lebih dulu selesai menghabiskan makanannya. Ia menyeruput kopi di hadapannya.
"kenapa ya, perempuan itu kepo sekali?" ujarnya tiba-tiba.
Perempuan berkerudung terhenyak. "perempuan? siapa?" tanyanya lagi.
"ya, semua perempuan, mungkin," jawabnya singkat.
"I see. Istrimu kepo ya?" tanya perempuan berkerudung menahan tawa.
Lelaki itu mengangguk. "Aku jamin, kamu juga pasti kepo, iya kan?" tanya lelaki itu sedikit menggoda.
Perempuan berkerudung mengangguk mantap. Lelaki itu mulai tertarik dengan pembicaraan soal kepedulian yang berlebihan.
"ya, aku juga kepo kok. Kamu tau nggak kalau sampai sekarang aku masih sering ngintip facebook-nya Fat?" perempuan berkerudung mulai menertawakan dirinya sendiri.
Lelaki itu mengangguk, "Pasti!" jawabnya yakin, seolah ia sudah memprediksi hal itu.
"aku juga suka ngepoin kamu, Zad, Res, dan beberapa perempuan yang terlihat dekat dengan kalian." Perempuan berkerudung mulai bercerita tanpa rasa malu. Baginya, lelaki itu adalah buku harian kedua setelah catatannya.
"pasti begitu. Istriku juga begitu." Lelaki itu menggelengkan kepalanya, merasa geli dengan kondisi tersebut.
Perempuan berkerudung menghabiskan makanannya. Setelah menyeruput jus mangga dengan sedotan, ia kembali membuka buku catatannya.
"nah, aku masih bingung nih Ray." Perempuan itu beralih topik, ia menunjukan sebuah halaman dalam lembar catatannya.
"menurutmu, pekerjaan apa yang bisa bikin tingkat stres seorang perempuan itu memuncak?" tanya perempuan berkerudung.
"hem…" belum sempat menjawab, perempuan berkerudung sudah mendului, 
"ibu rumah tangga!" ujarnya penuh keyakinan. Di kepalanya sudah tertanam beberapa riset pengalaman para IRT. Ia menjawab hal itu dengan mantap. Seolah dirinya sudah menampung seluruh keluhan para IRT di dunia.
"Kok bisa?" tanya lelaki itu.
"Aku belum nemu alasan pastinya sih, tapi risetku membuktikan hal itu memang benar." Perempuan berkerudung menunjukkan beberapa paragraph dari sebuah halaman di catatannya. Lelaki itu mulai membaca.
"kemarin aku ketemu Han. Kamu taulah dia itu psikolog yang kaya akan pengalaman. Pas aku tanya, memang jawaban dia ya gitu. Perempuan yang memiliki kadar stres tertinggi adalah seorang ibu rumah tangga. Kamu bisa baca penjelasan di halaman berikutnya."
Perempuan itu menyedot jus mangga, ia mengaduk-aduk isi gelasnya dengan sedotan kemudian kembali menyeruputnya.
Lelaki itu mengangguk paham. "Oh, aku ngerti sekarang," ujarnya pelan.
"kenapa?"
"iya, sejak menikah, kadar amarah istriku meningkat pesat. Kayak petasan yang menyambar-nyambar gitu." Lagi-lagi lelaki itu menganalogikan hal yang terkesan lucu.
"tuh kan, mungkin dia stres berat."
"karena ulahku? Atau karena kejenuhan dia sebagai ibu rumah tangga?" lelaki itu memicingkan mata.
"dari beberapa pengalaman yang aku dengar, kedua pilihan itu menjadi alasan yang paling booming di kalangan ibu-ibu."
"wow!" lelaki itu mengernyitkan dahi.
"sekarang kamu tinggal nyari ending yang seperti apa?" timpalnya kemudian.
"aku masih nyari benang merah yang bisa menjembatani terjadinya perceraian yang masuk akal. Atau mungkin pada kasus keluarga lainnya, mereka justru hidup bahagia karena sudah memaklumi sikap masing-masing seiring berjalannya kehidupan rumah tangga mereka," jawab perempuan berkerudung.
"memang setiap perceraian itu punya alasan yang masuk akal ya?" celetuk lelaki itu.
"why not?"
"aku rasa, setiap perceraian punya kadar amarah yang memuncak, sama kayak ledakan amarah seorang perempuan karena terlalu stres". Lelaki itu meneguk kopinya dan kembali berbicara.
"hem, maksudku, perceraian yang mereka ajukan terkesan nggak masuk akal karena alasan untuk berpisah sudah dikuasai oleh amarah yang membutakan cinta di antara keduanya." Lelaki itu mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya kemudian kembali berkomentar.
"Ketika bertengkar, kedua pasang insan cenderung dikuasai deretan kesalahan yang pernah dilakukan oleh pasangannya, mereka nggak menatap jauh ke hubungan percintaan mereka di awal pertemuan sampai memutuskan untuk naik ke pelaminan," jelasnya lagi.
Perempuan berkerudung mulai berpikir, "hem, baru kali ini aku mentok sama pendapat kamu. Maksudku, aku jadi ragu mau nulis ending yang seperti apa." Perempuan berkerudung tampak gusar memikirkan nasib tulisannya. Lelaki itu tersenyum menanggapi.
"ah, sudahlah, kita nonton dulu yuk," ajak lelaki itu.
Perempuan berkerudung masih menyandarkan berat tubuhnya di atas kursi
"ayo, kita cari udara sejuk dulu supaya bisa keluar dari zona buntu." Lelaki itu berusaha menyemangati. Perempuan berkerudung tersenyum lirih, membereskan buku catatan dan memasukkannya ke dalam ransel.
Mereka berjalan menuju kasir. Lelaki itu membayar semua makanan yang mereka pesan. Setelah selesai, mereka berjalan beriring ke luar foodcourt. Langkah mereka mengarah ke lift yang menuju ke lantai empat, tempat bioskop dalam mall tersebut berada.
*tobecontinued*
Lelaki itu.
Ia orang pertama yang nyaris membuatku susah tidur, menangisi segala sesuatu yang sebabnya tak pernah kutahu. Ia gemar bernyanyi, bermain alat musik dan segala tetekbengek yang berkaitan dengan dunia seni. Barangkali cinta; mata yang terpejam dan tak melihat apa-apa selain tubuh dan wajahnya.
Mengakhiri penantian yang sia-sia. Aku berani mengambil langkah untuk menyudahi harapan itu. Kami menjalin hati, tapi selalu gagal mengikat nurani. Kami saling mencinta, tapi terbentur oleh raga yang tak bisa berkata-kata.
"Kenangan; ibarat novel terfavorit. Meski sudah tahu endingnya seperti apa, tapi aku selalu ingin membuka dan membacanya lagi."
Tapi rasa mempunyai masa kadaluarsa!
..hingga pada kehidupan berikutnya, aku menemukan ia dalam tubuh yang berbeda..
Ia lebih mudah bergaul dan senang melontarkan lelucon vulgar dalam imajinasinya. Ia lebih mudah berkatakata dan terlihat lebih dewasa. Tubuhnya lebih tinggi dengan lesung pipit di sebelah kiri. Rambutnya, perpaduan bentuk ikal dan kribo -mirip sepertimu. Suaranya agak berat dan terdengar renyah, nyanyiannya merdu -sama sepertimu.
Bukankah tak baik menyamakan jiwaragamu dalam tubuh orang lain?
Tapi aku benarbenar menemukan sebagian dirimu dalam dirinya. Aku menemukan katakata yang hilang dari mulutmu. Aku menemukan perasaan yang sama seperti kepadamu. Di dirinya, kesetiaan adalah hal yang utama -yang tak pernah kadaluarsa.
Aku melihat masadepan bergemilang indah bersamanya.
Namun tak ada engkau di sana!
Entah ke mana perginya.. Semakin hari, aku melihatnya sebagai sosok yang berbeda dan tak mirip siapa-siapa. 
Mungkin cinta; 
keberhasilanku memangkas habis masalalu -termasuk dirimu.
Pelaminan, 13-14-15 []
Jangan menyuruhku berhenti;
Mengingat sendisendi tubuhmu yang kaku
Atau sekadar berlelucon tentang kuku di jari kakimu yang bau
Kau selalu berkata,
sulit menemukan tempat untuk mengadu
Lantas aku menjelma rinai gigil yang ngilu
Kerna seseorang merampas malam dariku.
Atau hujan,
Barangkali gerimis yang tetap membasahkan
Seperti mengulang kesaksian mata dan kaki
Sorot dan langkah menuju tubuhmu yang lepas dari genggaman.
Kembali,
Atau zaman lebih dulu mati.
mimpiitumembawakumenujumu;
menujuselseltubuhmu
menyisakanperasaanngilu.
apakahengkauyangtengahdirundurindu
atauakuyangkesulitanmelepasbayangbayang
disuatumalamperpisahansepasanginsan
sedangkitamiripduakububerlawanan
belajarmelepaskenangan.
June, 19. []
...
Baru saja berakhir
Hujan di sore ini
Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya pelangi
Tak pernah terlewatkan
Dan tetap mengaguminya
Kesempatan seperti ini
Tak akan bisa dibeli
Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya
Melawan keterbatasan
Walau sedikit kemungkinan
Tak akan menyerah untuk hadapi
Hingga sedih tak mau datang lagi
Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya
Janganlah berganti
janganlah berganti
janganlah berganti
Tetaplah seperti ini
janganlah berganti
janganlah berganti
Tetaplah seperti ini
(end)
I'm so tired of being here
Suppressed by all my childish fears
And if you have to leave
I wish that you would just leave
Cause your presence still lingers here
And it won't leave me alone
These wounds won't seem to heal
This pain is just too real
There's just too much that time can not erase
When you cried, I'd wipe away all of your tears
When you'd scream, I'd fight away all of your fears
And I held your hand through all of these years
But you still have all of me
You used to captivate me by your resonating light
Now I'm bound by the life you left behind
Your face it haunts my once pleasant dreams
Your voice it chased away all the sanity in me
These wounds won't seem to heal
This pain is just too real
There's just too much that time can not erase
When you cried, I'd wipe away all of your tears
When you'd scream, I'd fight away all of your fears
And I held your hand through all of these years
But you still have all of me
I've tried so hard to tell myself that you're gone
But though you're still with me
I've been alone all along
When you cried, I'd wipe away all of your tears
When you'd scream, I'd fight away all of your fears
I held your hand through all of these years
But you still have...
All of me...
All... of me...
All... of me...
All... of me...
Hai... Puan.
Berapa hati yang telah retak oleh ulah dan sikapmu? Adakah kau tahu, jumlah itu sebanding dengan dosa yang kau perbuat karena membuat oranglain sakit? 
Entahlah, Tuhan.
Saya tak pernah berani mematahkan hati seseorang, apalagi mereka. Barangkali rasa percaya diri yang tinggi membuat mereka berangsur patah dengan sendiri.
Mengapa setiap peristiwa baru, membuat saya bisa mematahkan hati beberapa orang lelaki?
Ah, Tuhan. Bahkan mukapun tampak biasabiasa saja, perilaku apalagi. Apakah ucapan saya yang lugu, atau justru terlalu mengandung ilmu? Saya terlahir dari sepasang manusia yang luar biasa, semua orang pun begitu saya kira. Jadi apa hebatnya? Toh semuanya sama saja.
Tapi beruntungnya, peristiwaperistiwa itu menambah imaji baru dalam kepala saya. Bermula ketika menjadi mahasiswa baru, berkecimpung di UKM, melakoni drama, jambore bahasa sastra, tour sastra, lego ergo scio, kkn, sampai pada ppl. Di luar kampus bahkan terjadi interaksi seperti itu -tak sengaja mematahkan hati lagi- ketika berkegiatan dengan komunitas lain.
How come?
Sampai ada beberapa rekan perempuan yang mengira saya "perempuan pecicilan" hinggap dari satu hati ke lain hati tanpa mau terikat.
Itulah sebabnya.
Kedekatan yang terjalin dengan lawanjenis; anggapan bahwa kami hanya berteman baik atau mungkin bersahabat, dipatahkan oleh sesama jenis.
Pada akhirnya keresahan itu larung dan berlabuh di satu nama.. -yang saat ini resmi memboyong hidupku.
Mengingat beberapa peristiwa dan mengawetkannya dalam bentuk katakata, hanya itu yang bisa dilakukan untuk membuatnya abadi.
Terlalu baku dan kaku menceritakan hal semacam ini. Lain kali saya akan menceritakan hal yang lebih berbobot lagi. Mungkin tentang pernikahan, proses kehamilan, proses melahirkan hingga proses merawat bayi dan berumahtangga. Ah, semuanya tumpah dalam kepala dan sulit lagi untuk dipungut kemudian dirangkai menjadi peristiwa yang berharga.
Atau mungkin saya akan bercerita tentang jabatan sebagai ibu negara (maksudnya, istri dari seorang ketua / seseorang yang pernah menjabati sebuah organisasi dan komunitas. Atau mungkin sebagai bendahara yang merupakan anggota perempuan satusatunya yang tersisa dari satu angkatan di organisasi dan komunitas tersebut?) Ya, banyak yang ingin diluapkan. Tapi saya tidak punya banyak waktu 'berkualitas' untuk menuliskannya. Ini pun hanya sebatas ocehan tak berbobot dan tak mengandung banyak wawasan. Hanya catatan kedua setelah memori otak saya yang mulai kadaluarsa kelak.
Baiklah, berapa banyak hati yang telah saya patahkan? Waaah, sombong sekali perempuan ini! (anggapan tersebut pasti ada). Ya, saya sudah meminta maaf pada beberapa orang, tapi mungkin masih ada yang belum terjamah oleh ingatan.
"Hati itu memilih, bukan dipilih. Jatuh cintalah pelanpelan, jangan sekaligus. Berat nanti.." (Pak Wayan dlm Perahu Kertas).
hatihati, Hati!
Hati, hatihati! 
:')
Di beranda rumah Jane, Jon menikmati senja dengan semangkuk mie rebus rasa ayam bawang & sejumput cinta yang tertuang dalam sebotol sambal ekstra pedas.
Sembari bercakap-cakap membayangkan masa depan yang penuh rencana, Jane menuang sesendok kopi dan sedikit gula sesuai selera.
"Buatanmu istimewa," ujar Jon tibatiba.
Dituangnya didih air yang mengalir dari termos stainless ke dalam cangkir. Jane mengaduk-aduk kopi hingga larut lalu memberikannya pada Jon.
"Nanti pas resepsi, kita sekalian launching antologi puisi perkawinan ya," seru Jon sebelum bibirnya bersentuhan dengan bibir cangkir dan menyeruput kopi yang mengepul.
Jane tersenyum, pikirannya berlari menuju masa depan.
"Aku mau punya banyak anak," timpal Jon lagi.
Jane nyengir kuda, "Dua cukup".
Jon menggeleng, "minimal lima."
Jane mengernyitkan dahi, menatap heran sosok lelaki yang tak peduli pada aturan pemerintah.
"Kalau begitu, tiga saja." Lagi-lagi Jane bernegosiasi dengan calon suaminya itu.
"Kenapa cuma tiga?" Selera makan Jon terhenti, menunggu mempelai wanitanya memberi penjelasan yang tepat.
"Kalau kita punya tiga anak. Aku bisa mengusulkan tiga nama yang baik," ujar Jane penuh semangat.
"Siapa saja?" Jon mulai antusias merespon Jane.
"Anak pertama bernama Ilo, anak kedua bernama Vey dan anak ketiga bernama Ou." Jelas Jane, singkat.
"Artinya apa?" tanya Jon memicingkan mata.
"Pokoknya itu nama yang terbaik!" Jawab Jane sekenanya.
"Kok?" timpal Jon.
"Iya.. jika disatukan, ketiganya akan membentuk kalimat istimewa. Ilo-Vey-Ou yang berarti i love you!" Jane tertawa girang meski Jon baru menyadari setelah
tawa kekasihnya itu reda.
Percakapan terus berlanjut hingga matahari larut dalam perut bumi. Jane mengantar kekasihnya menuju vespa 66 yang terparkir di halaman rumah. Setelah
berpamitan dan memastikan tubuh lelakinya lenyap dari tikungan gang, Jane berjalan ke beranda rumah dan membereskan sisasisa jamuan yang nyaris habis. 
Diambilnya cangkir Jon, mata sayu Jane mulai mengamati ke dalam cangkir. Ia tersenyum senang lalu mengeluarkan sebuah ponsel dari saku celananya. Ia mengetik sebuah pesan dan mengirimkannya pada Jon.
"Hei, tahu tidak?
Aku menemukan sesuatu!
.....
Ada cinta ketinggalan di dasar cangkir kopimu, Jon!" [] ♥
[catatan singkat sebelum tidur, sambil membayangkan deretan hari esok yang melambai-lambai, karena Jon akan segera sidang skripsi bulan ini! Eureka! Semoga kali ini serius..]
Hari itu, aku menerjemahkan kata-kata dalam kehidupan nyata. Inilah adanya, agustus 2013 lalu. Nyaris dua tahun sudah segalanya berlalu tanpa rekayasa. Tak sabar menunggu kejutan demi kejutan berikutnya. I miss you all my besties.