Siang itu aku dipanggil oleh Pak Heru, guru biologi di sekolah yang juga menjabat sebagai pembina osis. Tahun 2009 aku demisioner dari osis, menduduki jabatan sebagai bendahara 1. Meski pada pemilihan suara, aku mendapat posisi terbanyak kedua, namun akhirnya aku ditempatkan sebagai bendahara, bukan wakil ketua. Tersebab dari kelima orang kandidat, tak ada yang berpengalaman memegang uang osis (tahun sebelumnya - 2007 aku menjabat sebagai bendahara 2 di osis saat baru masuk SMA kelas 10). Akhirnya aku pun rela ditugaskan kembali menjadi bendahara osis periode 2008-2009 saat menduduki kelas 11ipa3.
Kembali ke pemanggilan itu, tanpa banyak bicara Pak Heru memberi selembar surat edaran dari dinas kabupaten cirebon. Setelah membaca, akhirnya aku tahu kalau Pak Heru memintaku untuk menjadi perwakilan sekolah dalam ajang solo vokal putri tingkat kabupaten. Tak hanya sendiri, di ajang tersebut ada juga kategori laki-laki.
Tanpa kuduga, Pak Heru menyebut sebuah nama yang membuat kepalaku limbung. Laki-laki berinisial R. Di tulisan ini aku akan menyebutnya "Er".
Tak ada masalah dengan Er, hanya sebuah rasa yang membentur kepalaku untuk kembali mengingatnya.
Siapa Er?
Tak banyak yang tahu bagaimana perasaan kami tumbuh begitu saja. Perasaan yang tak pernah sampai pada tempatnya. Hingga aku memutuskan untuk menyudahi penantian yang sia-sia.
Baiklah, kembali ke pemanggilan itu. Beberapa saat setelah duduk di ruang TU, Er datang menghampiri kami. Ia mengetuk pintu dan melempar senyum pada kami. Bergegas tubuhnya sudah berpindah di sampingku.
Pak Heru memulai percakapan, meminta kami untuk hadir pada technical meeting di Sumber tanpa ditemani oleh dirinya ataupun guru yang lain karena hari itu bentrok dengan rapat guru-guru di sekolah. Er setuju dan mengusulkan untuk mengendarai motor ke tempat TM yang diperkirakan memakan waktu 45 menit dari sekolah. TM dilaksanakan entah berapa hari setelah pertemuan tersebut, yang pasti tak berselang lama.
Hari technical meeting tiba. Aku dan Er pergi ke Sumber menunggangi motor. Saat itu statusku memang sedang tak terikat pada siapapun karena hubunganku dengan Dee kandas menjelang kenaikan kelas 12. Maksudku, aku tak bisa menerima masa lalu Dee. Entahlah, aku begitu pemilih. Barangkali juga karena hatiku masih terikat pada Er, lelaki yang pertama kali membuatku nyaman di sekolah saat mengikuti tes seleksi pengurus osis di kelas 10.
Lelaki yang punya hobi sama denganku -menulispuisi. Lelaki yang punya ketertarikan yang sama -senidanmusik. Lelaki berjiwa seni dengan sekelumit cinta pada dunia kesenian. Lelaki yang aktif bergiat di Paskibra (pasukan pengibar bendera). Ia bisa membagi kecintaan pada dunia seni, olahraga maupun barisberbaris. Pun denganku. Jadi tak ada alasan untuk tidak tertarik padanya karena sederet keserasian yang ditakdirkan Tuhan.
Saat itu aku sedang jomblo dan menikmati masa lajang di usia remaja. Vakum dari dunia percintaan, aku memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan beberapa orang lakilaki maupun perempuan. Hingga aku tak sadar, banyak lelaki yang nyaris patah hati karena terlalu percaya diri mendekatiku (baiklah, abaikan yang satu ini).
Aku tahu, Er sudah memiliki kekasih. Sebenarnya aku ingin menceritakan kronologi cerita ini dari awal, agar para pembaca bisa mengaitkan perasaan tokoh-tokoh dalam masalah ini. Tapi sudahlah, terlalu sesumbar. Barangkali bisa kalian temukan di cerpen berjudul "Feeling Guilty" yang sengaja kutulis untuk persyaratan diklat asas beberapa tahun lalu.
Well, karena alasan perintah dari sekolah, akhirnya tak ada masalah mengenai pemberangkatan ini. Kekasih Er bernama Fat. Kami bertiga (berempat dengan Dee -dulunya) termasuk teman dekat yang bergiat di osis maupun paskibra. Tak ayal, kedekatan kami berempat mulanya karena jabatan di paskibra. Aku dan Dee dipasangkan menjadi pengemban putra dan putri (bertanggungjawab atas satu angkatan), sedangkan Fat dan Er dipasangkan menjadi Bapak dan Ibu lurah (bertanggungjawab atas satu kepengurusan).
Teman-teman di sekolah juga sudah tahu kalau aku dan Er dekat karena Er memanggilku adik dan aku memanggilnya kakak. Namun jauh sebelum eratnya sebutan kakak-beradik itu, kami memang pernah mengikat hati. Sekadar mengikat dan meyakini bahwa ada rasa yang lain di antara kami berdua. Segalanya tampak biasa saja di depan orang-orang, barangkali karena semua hanya melihatnya dari kacamata depan saja, mereka tidak melihat jauh ke dalamnya.
Kedekatan kamipun direstui oleh seorang guru perempuan yang sudah kuanggap sebagai second mother. Aku menyebutnya Bunda. Tapi tetap, kami tak bisa mengikat hati di depan banyak orang. Kami hanya dekat sebagai sahabat, tak lebih. Barangkali cuma Bunda yang mengetahui perasaan kami satu sama lain. Itu pun Bunda ketahui ketika aku dan Er mengikuti lomba menyanyi solo di dinas kabupaten.
Bunda yang mengantar kami ke sana saat hari perlombaan. Bunda pula yang mendengar segala curahan hati kami masing-masing, hingga ia menganggap bahwa aku dan Er saling menyukai tapi tak bisa mengikat hati. Entah apa sebabnya, Bunda juga tak punya solusi.
Menuju perlombaan menyanyi, aku dan Er menyiapkan kostum sebaik mungkin. Er bahkan mengantarku membeli sepatu untuk kebaya yang akan kukenakan nanti. Hari itu Er pertama kali berkunjung ke rumahku.
Seusai membeli sepatu, Er mengobrol dengan ambu dan abah. Kami semua tampak akrab. Apalagi Er dan aku akan menyanyikan lagu lawas yang sangat dikenal ambuku. Er sampai berlatih menyanyikan lagu "Selendang Sutera" bersama ambu, karena beliau sangat hafal lagu tersebut. Aku juga tak kalah saing, ikut berlatih menyanyikan lagu "Pantang Mundur". Semuanya terdengar syahdu, ditambah suara ambu yang merdu.
Beberapa saat sebelum sampai di rumah, Er membelikanku eskrim. Ya, dia memang tahu kalau perempuan bermata sayu ini adalah maniak eskrim. Akhirnya dia membelikan beberapa eskrim untuk keluargaku juga. Bahkan Er sengaja membukakan cangkang eskrim untuk abah. Kedekatanpun terjalin di antara keduanya.
Begitulah, pertemuan singkat dengan Er yang menimbulkan kesan baik di mata keluargaku. Hingga aku benar-benar takut menghadapinya.
Bagaimana tidak?
Aku bepergian dengan seorang lelaki yang sudah tak sendiri. Membeli sepatu, bahkan makan eskrim bersama. Aku merasa janggal dengan keadaan itu, aku takut perasaan silam kembali muncul. Aku takut akan ada permasalahan yang timbul. Ya, aku takut menyulut pertengkaran antara Er dan Fat.
Berpindah dari ketakutanku dan kewaspadaan untuk tidak terlalu "baper", akhirnya aku berusaha santai menjalaninya. Sampai perlombaan itu benarbenar selesai dan aku tak akan dipersatukan lagi dengan Er.
Entah tanggal berapa saat itu. Aku lupa mengingatnya. 
###
*tobecontinued*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar