BAB I
PENDAHULUAN
1.     
Pendahuluan
Di
dalam sastra ada sebuah hubungan yang sangat erat antara apresiasi, kajian dan
kritik sastra karena ketiganya merupakan tanggapan terhadap karya sastra. Saat pembaca sudah mampu
mengapresiasi sastra, pembaca mempunyai kesempatan untuk mengkaji sastra.
namun, hal ini tak sekadar mengkaji. Karena mengkaji telah menuntut adanya
keilmiahan. Yaitu adanya teori atau pengetahuan yang dimiliki tentang sebuah
karya. Saat Apresiasi merupakan tindakan menggauli karya sastra, maka mengkaji
ialah tindakan menganalisis yang membutuhkan ilmu atau teori yang melandasinya.
tentang penjelasan mengkaji seperti yang diungkapkan oleh Aminudin (1995:39) kajian (sastra) adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur
dan hubungan antar  unsur dalam karya sastra dengan bertolak dari pendekatan,
teori, dan cara kerja tertentu.
Dengan
adanya kajian drama inilah, peminat sastra melakukan analisis yaitu  membedah karya-karya yang dibacanya. Sehingga unsur-unsur
yang menyusun drama tersebut dapat diketahui. Juga rangkaian hikmah yang ada di
dalamnya. Kajian
sastra memiliki berbagai pendekatan. pendekatan-pendekatan itu ialah Objektif
(struktural dan struktural semiotik), mimesis (sosiologi sastra), ekspresif
(hermeuneutik), pragmatik (resepsi sastra & intertekstual), posmodernisme
(dekonstruksi, poskolonial, studi kultural, dan feminisme)
Dalam
makalah ini penulis akan melakukan pengkajian novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari secara sosiologi
sastra.
2. Rumusan Masalah
   Dari latar belakang di atas dapat kita
simpulkan beberapa pertanyaan yang akan di bahas dalam makalah ini yaitu:
1.      Bagaimanakah
Citra dan konteks masyarakat jawa dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
2.      Bagaimanakah
Fungsi sastra yang terkandung dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk karya Ahmad Tohari?
3.      Apa
saja nilai-nilai yang terkandung dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
3.Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk menambah pengetahuan penulis tentang kajian terhadap karya sastra (Prosa) dan agar penulis dapat mengetahui
bagaimana mengkaji karya sastra (prosa)
dengan baik dengan menggunakan suatu pendekatan tertentu. Dalam makalah ini
penulis memilih pendekatan sosiologi
sastra.
4.Metode Penganalisisan Data
Dalam makalah ini dalam mengkaji
penulis menggunakan dua metode, yaitu:
a. Metode Studi Pustaka
Metode studi pustaka ini digunakan
penulis untuk mencari dan mengumpulkan bahan bacaan atau referensi yang
berkaitan dengan materi yang akan penulis kaji.
b.Metode Kualitatif
Yaitu penulis memilih satu jenis
judul teks drama kemudian ditelaah dan dicari unsur-unsur-unsur pembentuknya,
unsur sosial budaya serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya dengan
berdasarkan pada teori pengkajian  sosiologi sastra yang
telah ada sehingga bersifat ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan.
5.Manfaat
Penulisan Makalah 
a.       Bagi
Penulis
Bagi penulis, makalah ini sangat
bermanfaat karena setelah mengapresiasi selanjutnya penulis dapat mengalami
proses pengkajian, sehingga pengetahuan serta pengalaman penulis akan karya
sastra juga bertambah.
b.      Bagi
Pembaca
Bagi pembaca, makalah ini dapat
menambah wawasan pembaca tentang kajian terhadap karya sastra serta dapat
menemukan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. 
BAB II
KAJIAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA
Sosiologi
adalah ilmu objektif
kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa
yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat
evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Menurut Ratna (2003: 2)
ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan
dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan
masyarakat, antara lain.
1. Pemahaman terhadap
karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3. Pemahaman terhadap
karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat.
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat.
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.
1. Sosiologi pengarang,
profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah
dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan
idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya
sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari
sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi
ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini,
informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan
memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan
Warren,1990:112)
2. Sosiologi karya sastra
yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya
atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.
Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen
sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122).
Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah
puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri
zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat,
buku sumber sejarah peradaban.
3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan
Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989: 3-4) yang
meliputi hal-hal berikut.
1.
Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial
sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk
juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang
terutama harus diteliti yang berkaitan dengan : (a) bagaimana pengarang mendapat
mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara
langsung, atau pekerjaan yang lainnya, (b) profesionalisme dalam
kepengaragannya, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat, (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
3.
Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan
nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1)
sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya
dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai
pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3) sastra
harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam
bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams menulis bahwa dari sosiologi
sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti
yaitu:
1. Penulis dengan
lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2. Karya, dengan
kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya. 
3. Audien atau pembaca
(1981: 178).
   Jadi, Sosiologi Sastra
merupakan ilmu yang dapat
digunakan untuk menganalisis karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. Paradigma
sosiologi sastra berakar dari latar belakang historis dua gejala, yaitu
masyarakat dan sastra: karya sastra ada dalam masyarakat, dengan kata lain,
tidak ada karya sastra tanpa masyarakat. 
BAB III
ANALISIS NOVEL RONGGENG DUKUH
PARUK
KARYA AHMAD TOHARI
A.   
Sinopsis
Dukuh
paruk adalah sebuah dukuh yang kecil dan menyendiri. Dukuh paruk mempunyai
seorang moyang yang bernama Ki Secamenggala. Orang-orang dukuh paruk memuja
kuburannya. Suatu hari, Rasus bersama kedua temannya sedang mengembala kambing
sambil mencari singkong. Pada saat itu, mereka melihat Srintil sedang bermain
sendirian sambil mendendangkan lagu ronggeng dan membuat badongan. Kemudian
Srintil menari dengan diiringi Rasus bersama teman-temannya. Srintil mampu
menarikan ronggeng dengan sangat baik.
Secara
diam-diam Sakarya ditemani Kertareja mengikuti gerak-gerik Srintil ketika
cucunya itu menari. Sakarya yakin bahwa Srintil telah kerasukan indang
ronggeng. Tak seorangpun menyalahkan Sakarya karena dukuh paruk hanya lengkap
apabila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah
serapah, dan ada ronggeng dengan seperangkat calungnya. Pada hari yang baik
Srintil diserahkan oleh Sakarya kepada Kertareja untuk mematuhi hukum Dukuh
Paruk mengenai perihal calon ronggeng. 
Kertareja menemukan hari baik untuk memulai mengasuh Srintil. Malam itu
Srintil didandani seperti layaknya ronggeng dewasa. Nyai Kertareja telah
meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil. Bukan main senang hati
masyarakat dukuh paruk ketika mendengar akan ada pementasan ronggeng. Pada saat
itu, Srintil menari dengan sangat memesona. Penampilan Srintil lebih menarik
karena dibubuhi oleh ulah Sakum yang kocak dan cabul. Para penonton memuji-muji
Srintil. Rasus yang sejak tadi mendengar omongan para warga merasa tidak
senang. Malam itu merupakan kenangan atas diri Srintil meliputi hati semua
orang dukuh paruk.
Kini Rasus
telah melihat kenyataan bahwa Srintil telah menjadi ronggeng dalam usia sebelas
tahun. Rasus merasa kehilangan perhatian Srintil. Dia mencari akal untuk
merebut perhatian Srintil kembali. Suatu hari Rasus menarik perhatian Srintil
dengan cara memberinya buah papaya. Pada kesempatan lain, Rasus memberi Srintil
keris jaran goyang bekas milik ayahnya. 
Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Tetapi masih ada tahapan lain
untuk menjadi ronggeng yang sempurna. Tahap itu ialah tahap bukak kelambu.
Sayembara inilah yang membuat Rasus gelisah. Ia merasa tidak rela kalau Srintil
dijadikan sayembara. Sayembara itu dilaksanakan pada Sabtu malam. Rasus yang
gelisah tersebut dihibur oleh Warta sahabatnya.        
               Malam
itu Dower datang lagi dengan membawa seekor kerbau. Kertareja belum mau
menerima hal tersebut karena yang diinginkan adalah sekeping emas. Pada saat
itu, datanglah Sulam dengan membawa sekeping emas. Kedua pemuda tersebut
bertengkar memperebutkan Srintil. Pada akhirnya, mereka berdua dapat dibodohi
oleh Kertareja dan istrinya.
               Sejak
saat itu, Rasus meninggalkan dukuh paruk. Suatu hari di pasar Dawuan bertemu
Srintil yang sedang berbelanja. Dengan penampilan Srintil setelah menjadi
ronggeng Rasus kehilangan bayang-bayang emaknya. Di pasar dawuan inilah Rasus
memperoleh pengalaman dan mampu menilai kehidupan di Dukuh paruk secara kritis,
tentang kemelaratannya, kebodohannya, dan kemalasannya.
               Tahun 1960 wilayah kecamatan
Dawuan tidak aman lagi. Perampokan dan kekerasan sering terjadi. Rasus
meninggalkan pasar Dawuan. Ia berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang
lain bersama tentara di bawah pimpinan sersan Slamet. Tentara itu bermarkas di
Dawuan. Sersan Slamet sangat menyukai Rasus. Ia mengajarinya membaca dan
menulis.    
Kehadiran
tentara di Dawuan tak selamanya dapat mencegah perampokan. Kemudian Sersan
Slamet membagi kelompok untuk mengawasi rumah-rumah penduduk yang diduga
menyimpan emas permata. Pada malam kesembilan terjadi perampokan dirumah
Kertareja. Dalam kesempatan itu Rasus bertemu dengan neneknya. Rasus pulang ke
rumah neneknya bersama Srintil. Srintil meminta agar Rasus menikah dengan
Srintil tetapi Rasus menolaknya. 
Dengan menolak
perkawinan yang ditawarkan Srintil, Rasus merasa telah memberi sesuatu yang
sangat berharga bagi Dukuh Paruk, yaitu Ronggeng. Rasus meninggalkan Dukuh
paruk dengan gagahnya bukan karena bedil dipundaknya, melainkan karena ia telah
yakin bahwa ia mampu hidup tanpa kehadiran bayangan emaknya.
B.    
Citra
Masyarakat Jawa dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Citra masyarakat Jawa
adalah gambaran tentang peran dalam kehidupan sosial. Masyarakat Jawa
dicitrakan sangat menjunjung tinggi warisan leluhurnya. Mulai dari bahasa,
kepercayaan, mitos serta adat istiadatnya. Masyarakat Jawa terkenal akan
sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan
menurut nilai-nilai Jawa. 
Menengok
ke bidang-bidang budaya Jawa spiritual, terutama yang dilakukan oleh penghayat
kepercayaan
kejawen, sebenarnya ajarannya jelas tidak akan lepas dari persoalan etika
kebijaksanaan Jawa. Apalagi ajaran mereka selalu diperoleh melalui penghayatan
gaib, hingga di dalamnya terdapat petunjuk Tuhan yang dapat menjadi sumber
etika kebijaksanaan Jawa yang lebih berharga.
Penghayat kepercayaan kejawen dapat digolongkan
menjadi dua hal. Pertama, etika kebijaksanaan di tingkat paguyuban yaitu hidup
yang selalu mengedepankan sikap: 
(1)
pasrah, berserah diri kepada Tuhan secara total (sumarah), dan (2)
bertindak jujur dan ikhlas. Kedua, penghayat hendaknya tolong-menolong. Etika
kebijaksanaan ini merupakan aktualisasi dari konsep ”tapa ngrame”. Tapa
ngrame dilakukan dengan semangat sepi ing pamrih yang diasumsikan
akan menjadi perwujudan pandangan hidup ”memayu hayuning bawana.” Dengan
cara ini penghayat meyakini bahwa hidup mereka kelak dapat mencapai cita-cita
tertinggi yaitu ”manunggaling kawula-Gusti.”
Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini
sangat kental akan kebudayaan, kepercayaan dan mitos-mitos yang mengalir dalam
budaya kejawen. Antara lain yaitu budaya keris, Roh-roh, kekeramatan, religi,
nasib, sikap nrimo/menerima, keperawanan serta pernikahan.
C.         
Konteks
Masyarakat Jawa dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
1.     
 Budaya Keris 
Keris adalah senjata tajam bersarung, berujung tajam,
dan bermata bilah dua. Bilahnya bisa lurus atau berkeluk-keluk. Keris mempunyai
beberapa jenis, di antara lain keris alang (keris yang sedang panjangnya),
keris berluk (keris yang bilahnya berkeluk), keris pendek, keris sepukal (keris
yang bilahnya lurus) dan keris parung (keris yang berkeluk sembilan).12 Dalam masa perang kuna, keris dipakai
sebagai senjata. Dalam budaya Jawa, keris melambangkan kejantanan. Oleh karena
itu, keris merupakan bagian dari busana tradisional pria. Keris dapat juga
menggantikan pria dalam situasi tertentu, misalnya pada acara temu pengantin
ketika pengantin pria berhalangan hadir. 
Keris juga dianggap mempunyai kekuatan magis. Keris
dipercaya dapat membuat pemegangnya lebih berani, serta membuat musuh takut.
Dalam kata lain, keris dapat mempengaruhi baik pemegangnya maupun orang lain.
Kebudayaan
keris ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk,
terutama ketika Srintil baru belajar menjadi ronggeng. Keris merupakan suatu
perlengkapan busana ronggeng yang tidak dapat ditinggalkan; dipercaya bahwa
pemakaian keris yang benar akan membuat tariannya menjadi semakin dahsyat. Ini
disebabkan karena keris itu adalah pekasih, dan dianggap mempunyai daya tarik
seksual. Selain berbentuk phallus, keris
itu mempunyai enerji yang selalu digunakan oleh ronggeng. Hal ini tampak pada
kutipan berikut.
 “Mereka mengatakan keris itu bernama Kyai
Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap.Itu keris pekasih yang
dulu selalu menjadi jimat para ronggeng. Mereka juga mengatakan hanya karena
keberuntunganku maka keris itu sampai ke tanganku. Rasus, dengan keris itu aku
akan menjadi ronggeng tenar. Itu kata Kakek dan juga kata Kartareja.” (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:24)
Biarpun ini tidak sepenuhnya sama dengan kebudayaan
keris sebagaimana dijelaskan di atas, perbedaan itu masih dapat dijelaskan.
Oleh karena tarian ronggeng digambarkan mempunyai unsur seksual yang kuat
(seperti malam bukak-klambu), keris digunakan sebagai pengganti pria. Dengan
ronggeng memakai keris, pria dan wanita menyatu.
2.     
 Roh-roh
Dalam kepercayaan Jawa ada berbagai macam roh halus
yang dapat menyebabkan malapetaka apabila mereka dibuat marah. Untuk
menenangkan roh-roh halus ini diberi sesajen, misalnya berupa nasi dan aneka
makanan lain atau bunga. Namun, ada roh halus yang dapat membawa keberuntungan.
Selain roh halus, ada pula kepercayaan bahwa roh nenek moyang masih ada dan
kadang-kadang menjenguk keluarga. Roh nenek moyang ini dihormati oleh keluarga
dan dipercaya dapat berkomunikasi dengan orang hidup (wangsit).Apabila ini
terjadi, apapun yang diminta dianggap sebagai hal yang terbaik. Dunia roh ini mempunyai pengaruh yang kuat
dalam plot Ronggeng Dukuh Paruk.
Wangsit terlihat sekali ketika Srintil dilihat menari dengan indah tanpa
diajari, Sakarya dan Kartareja merasa
bahwa dia dirasuki ndang ronggeng. Kepercayaan ini menjadi dasar mereka untuk
melatihkan Srintil menjadi ronggeng. Sementara, ketika Rasus mengambil keris
dari rumahnya, dia memberi alasan menerima wangsit dari ayah kepada neneknya
supaya tidak banyak ditanya. Ada pula
kerasukan arwah Ki Secamenggala. Saat diadakan upacara pemandian di kuburan
Dukuh Paruk dan tarian Srintil, Kartareja tampaknya kerasuk. Seperti tampak
pada kutipan berikut.
 “Dalam
berdirinya, tiba-tiba Kartareja menggigil tegang. Mata dukun ronggeng itu
terbeliak menatap langit. Wajahnya pucat dan basah oleh keringat. Sesaat
kemudian tubuh Kartareja mengejang. Dia melangkah terhuyung-huyung, dan matanya
menjadi setengah terpejam”. Kejadian ini langsung ditangkapi oleh Sakarya
sebagai kerasukan. Dengan demikian, Srintil diminta menari untuk memuaskan Ki
Secamenggala. Setelah Kartareja mulai memeluk Srintil terlalu keras, baru Ki
Secamenggala melepaskannya. 
(Ronggeng Dukuh Paruk,1982:26)
3. Kekeramatan
Di dalam budaya Jawa, kuburuan dianggap sesuatu yang
keramat. Ini disebabkan oleh hormat untuk nenek moyang dan kepercayaan bahwa
roh orang mati masih menyaksikan segala di bumi. Dengan demikian, untuk acara
tertentu, misalnya nyewu, diadakan upacara di pemakaman. Juga diwajibkan sopan
santun tinggi saat  di kuburan. Dalam
novel Ronggeng Dukuh Paruk, kekeramatan ini muncul pada kutipan berikut.
Kepercayaan ini muncul di dua bagian Ronggeng Dukuh
Paruk. Pertama, saat diadakan upacara pemandian dan tarian untuk mendapatkan
restu Ki Secamenggala agar Srintil menjadi ronggeng. Kali kedua ialah ketika Srintil mengajak Rasus bercinta di
pemakaman untuk menenangkannya, tetapi Rasus menolak karena tempat itu adalah
tempat yang keramat. Seperti tampak pada
kutipan berikut.
“Srin, ini tanah pekuburan. Dekat
dengan makam Ki Secamenggala pula. Kita bisa kualat nanti,”jawabku. Dalih yang sangat gemilang mendadak muncul di
otakku.
Kulihat Srintil termangu. Napasnya masih memburu. Rona wajahnya berubah. Terkesan rasa kecewa.Ronggeng Dukuh Paruk itu tetap berdiri seperti batu-batu nisan di belakangnya. Tanpa gerak.” (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:39)
Kulihat Srintil termangu. Napasnya masih memburu. Rona wajahnya berubah. Terkesan rasa kecewa.Ronggeng Dukuh Paruk itu tetap berdiri seperti batu-batu nisan di belakangnya. Tanpa gerak.” (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:39)
4. Religi
Pada umumnya ada dua jenis religi Jawa, yaitu: 
1. Islam santri, atau orang yang menolak kepercayaan
tradisional Jawa dan memeluk semua aspek Islam 
2. Islam kejawen, atau orang yang secara resmi
mengakui Islam tetapi masih memegang erat kepercayaan Jawa. Kaum priyayi pada
umumnya termasuk kejawen. 
Ada pula orang Jawa yang mempunyai religi lain,
misalnya orang Jawa Katolik, Protestan, dan sebagainya, tetapi jumlahnya jauh
lebih sedikit.
Religi dalam Ronggeng Dukuh Paruk mencerminkan
perbedaan itu. Di Dukuh Paruk, tidak ada orang yang dikatakan menganut ajaran
Islam dengan baik. Rasus tidak memahami konsep ‘dosa’ sampai pindah ke Dawuan.
Hal-hal seperti pergaulan bebas sudah umum di dukuh Paruk.Sementara, di Dawuan
ada banyak orang yang menganut Islam dengan cara 
yang lebih taat, biarpun bukan santri. Misalnya, Siti,
seorang gadis seusia Srintil, memakai kerudung dan melarikan diri setelah Rasus
mencubit pipinya. Ada pula seorang gadis yang rajin bersolat, sesuatu yang
tidak ada di Dukuh Paruk. Seperti tampak pada kutipan berikut.
Kerudung yang selalu menutupi kepala Siti
kusingkapkan. Putih pipinya dan keindahan tengkuknya tak bertirai lagi. Tak
ayal tanganku bergerak mencubit pipi putih itu. 
Mula-mula aku senang karena dengan pipi merah itu Siti
bertambah cantik. Namun aku jadi terkejut ketika Siti berlari dengan melemparkan singkong yang telah dibelinya. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:50)
Mula-mula aku senang karena dengan pipi merah itu Siti
bertambah cantik. Namun aku jadi terkejut ketika Siti berlari dengan melemparkan singkong yang telah dibelinya. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:50)
5. Nasib
Orang Jawa percaya bahwa semua yang terjadi di dalam
hidup sudah ditentukan. Dalam kata lain, apabila kita menjadi baik atau jahat,
pintar atau bodoh, kaya atau miskin, sudah ditentukan sejak sebelum lahir.
Ini muncul di Ronggeng Dukuh Paruk ketika Kartareja
dan Sakarya mendiskusikan rasuknya Srintil olehi ndang. Setelah melihat tarian
Srintil, Kartareja berpendapat: “ Srintil dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu
arwah Ki Secamenggala dengan tugas menjadi ronggeng.” (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:10)
3.6 Nerimo/cipto tunggal
Salah satu dasar hidup bersama dalam budaya Jawa
adalah konsep nerima, atau maklum atas keterjadian dalam hidup. Oleh karena
emosi dianggap sesuatu yang selayaknya dihindari, masyarakat Jawa diajari untuk
menerima keadaan apa adanya dengan senang hati.
Ini terwujud dalam batin Srintil, yang menganggap
upacara bukak klambu sebagai sebuah keharusan dan karenanya dia tidak memberontak
terhadap upacara itu. Dia melihatnya sebagai sesuatu yang wajar dan lugu
menghadapi upacara itu. Semua yang dialami dipandang sebagai hukum keharusan
sehingga harus diterima dengan pasrah. Karena itu, walaupun dia merasakan sakit
pada bagian perutnya ketika menjalani upacara itu, dia tidak berani melawan
atau memberontak karena menjadi seorang ronggeng adalah suatu kehormatan dalam
kedudukan sosial budaya dukuh Paruk.
7.  Keperawanan
Keperawanan, atau virginitas, dalam budaya Jawa sangat
berarti. Ketidakperawanan istri saat menikah dapat menjadi alasan untuk
bercerai, dan wanita tidak berpasangan yang sudah diketahui bukan perawan
dianggap sangat rendah. Biarpunhymen rusak karena hal selain berhubungan seks,
itu masih dianggap bukan perawan. Akibatnya, wanita Jawa tradisional berusaha
untuk menjaganya sampai menikah. Ini sering diwujudkan dengan tidak bergaul
dengan lelaki. 
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, ada dua sudut
pandang mengenai keperawanan: satu di Pasar Dawuan, dan satu di Dukuh Paruk. Di
Pasar Dawuan, keperawanan wanita dipandang dari sudut pandang Jawa tradisional,
yaitu harus dijaga sebisa mungkin. Biarpun ada yang dapat dibayar dan sudah
bukan perawan lagi, ada juga yang terkenal pemalu dan sholeh. Ini terbukti
dengan adanya tokoh Siti dan satu perempuan tak ternama.Keperawanan di Dukuh
Paruk dibahas dengan adanya upacara ritual bukak klambu. Konsep inisiasi ini
bertitik tolak dari pandangan bahwa seseorang calon ronggeng baru sah menjadi
ronggeng yang sebenarnya jika sudah melalui ritual sakral upacara sayembara
memperebutkan virginitas si calon ronggeng. Pandangan semacam itu berasal dari
konsep mitos yaitu menjadi seorang ronggeng sejati bukanlah hasil pengajaran
melainkan jika indang (semacam roh atau wangsit yang dimuliakan di dunia
peronggengan) telah merasuki tubuhnya. Para ibu di dukuh itu merasa senang
sekali jika anaknya dapat menjadi ronggeng. Selain itu, para istri merasa
bangga jika suami mereka dapat bertayub dengan ronggeng. Dengan demikiankita
bisa memahami bahwa keperawanan di Dukuh Paruk masih merupakan hal yang
istimewa, tetapi untuk alasan yang berbeda dari budaya Jawa tradisional:
mengambil keperawanan seseorang, khususnya ronggeng, membawa citra baik, dan
menyerahkan keperawanan dapat menghasilkan keuntungan finansial.
8. Pernikahan 
Dalam budaya Jawa tradisional, pernikahan adalah
perjalanan hidup yang ditempuh oleh dua orang, satu suami dan satu istri.
Biarpun sultan dan raja zaman kuna mempunyai beberapa selir, mereka tidak
dianggap setara dengan istri. Dalam kalangan orang awam, pernikahan berarti
hanya boleh bersetubuh dengan istri dan selir tidak diizinkan. Biarpun menurut
ajaran Islam seorang pria boleh menikah lebih dari satu istri, itu harus dengan
izin istri pertama; akibatnya, jarang dilakukan. Orang yang diketahui telah
selingkuh dipermalukan oleh orang sekampung dan dapat diusir dari kampung
mereka.
Di Dukuh Paruk, kebudayaan ini sama sekali tidak
dihormati. Apabila seorang suami atau istri berselingkuh, secara tradisional
pasangan mereka tidur dengan pasangan orang yang ditiduri dalam perselingkuhan
itu. Setelah itu, semua urusan dianggap beres.
Kedudukan suami-istri di luar Dukuh Paruk tidak digambarkan. 
D.   
Fungsi
Sastra Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Karya sastra memiliki
fungsi ganda yaitu sebagai hiburan sedangkan disisi lain berusaha memberikan
nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan. Fungsi karya sastra bagi kehidupan ada lima kelompok:
1.     
Fungsi Rekreatif yaitu
karya sastra dapat memberikan rasa senang, gembira serta menghibur para
pembaca. 
Fungsi rekreatif dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah ketika Srintil
bermain bersama Rasus, Darsun dan Warta dibawah rindangnya pohon nangka.
Srintil menirukan gaya ronggeng yang menari dan bernyanyi, sementara Rasus,
Darsun dan Warta menirukan bunyi gendang, gong dan calung yang mengiringi
tarian Srintil. Kejadian ini tampak pada kutipan berikut:  
               Di
pelataran yang membatu di bawah pohon nangka. Ketika angin tenggara bertiup
dingin menyapu harum bunga
kopi yang selalu mekar di musim kemarau. Ketika sinar matahari mulai meredup di
langit barat. Srintil menari dan bertembang. Gendang, gong dan calung mulut
mengiringinya. Rasus bersila, menepak-nepak lutut menirukan gaya seorang
penggendang. Warta mengayunkan tangan ke kiri-kanan, seakan ada perangkat calung
di hadapannya. Darsun membusungkan kedua pipinya. Suaranya berat menirukan
bunyi gong. (Ronggeng
Dukuh Paruk,1982:6)
   Apa yang dilakukan oleh Srintil, Rasus,
Darsun, dan Warta tersebut dapat memberikan hiburan kepada pembaca, sehingga
pembaca dapat menemukan  kesenangan dan
kegembiraan dalam novel tersebut.
2.     
Fungsi Estetis yaitu
karya sastra itu indah, secara otomatis karya sastra akan memberi keindahan
bagi penikmatnya.
Fungsi Estetis dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu ketika pengarang
mendeskripsikan keadaan dukuh Paruk dengan bahasa yang sangat indah, sehingga
menimbulkan kesan keindahan pada pembaca, seperti tampak pada kutipan berikut:
Sepasang burung bangau melayang meniti angin
berputar-putar tinggi di langit. Tanpa sekali pun mengepak sayap, mereka
mengapung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan panjang. Air.
Kedua unggas itu telah melayang beratus-ratus kilometer mencari genangan air.
Telah lama mereka merindukan amparan lumpur tempat mereka mencari mangsa;
katak, ikan, udang atau serangga air lainnya. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:1)
               Dengan penggunaan bahasa yang indah, pembaca juga akan merasakan suatu
keindahan dalam novel ini. Dengan bahasa yang indah pula maka pembaca akan
lebih menikmati sebuah karya sastra.
3.     
Fungsi Didaktif yaitu
karya sastra yang baik biasanya mampu mengarahkan dan mendidik para pembaca
karena nilai-nilai kebenaran yang terkandung didalamnya. 
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, fungsi didaktis dapat dijumpai ketika
orang-orang dukuh paruk meyakini bahwa musibah tempe bongkrek hanya diakibatkan
oleh asam tembaga. Sebenarnya asam tembaga bukan satu-satunya penyebab
timbulnya racun pada tempe bongkrek, melaikan ada semacam bakteri jahat yang
juga menyebabkan musibah tempe bongkrek di dukuh Paruk, seperti tampak pada
kutipan berikut:
               Itu kisah
tetek-bengek yang begitu diyakini oleh setiap orang Dukuh Paruk. Siapa pun
takkan berhasil mengubah keyakinan itu. Juga orang tak perlu mengutuk warga
Dukuh Paruk yang percaya penuh bahwa asam tembaga adalah satu-satunya penyebab
bencana. Di kemudian hari aku diberi tahu asam tembaga benar racun. Namun
sepanjang menyangkut malapetaka tempe bongkrek, asam tembaga tak terbukti
berperan. Kesalahan harus ditimpakan kepada bakteria jenis pseudomonas
coccovenenans yang ikut tumbuh pada bongkrek dalam peragian. Bakteria itu
menghasilkan racun kuat yang menjadi cikal-bakal kematian orang yang makan
tempe bongkrek.
(Ronggeng Dukuh Paruk,1982:18)
   Melalui kisah tersebut, pembaca dapat mengetahui
dan terarahkan bahwa apa yang dipercayai oleh masyarakat dukuh paruk bahwa asam
tembaga merupakan satu-satunya akibat timbulnya racun pada tempe bongkrek itu
salah. Melainkan adanya racun dalam tempe bongkrek juga disebabkan karena bakteria jenis pseudomonas coccovenenans yang ikut
tumbuh pada bongkrek dalam proses peragian yang salah.
4.     
Fungsi Moralitas artinya
karya sastra yang baik biasanya selalu mengandung nilai-nilai moral yang
tinggi. Dengan begitu pembaca akan tahu bagaimana moral yang baik dan buruk
bagi dirinya.
Nilai
moralitas dalam Ronggeng Dukuh Paruk adalah ketika adanya upacara malam bukak
klambu sebagai syarat menjadi seorang ronggeng, sayembara untuk memperebutkan
keperawanan si ronggeng. Hal ini tampak pada kutipan berikut:
Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat
terakhir yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama bukak-klambu. Berdiri bulu
kudukku setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak-klambu adalah
semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan adalah
keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang
ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu.Keperawanan
Srintil disayembarakan. Bajingan! Bajul buntung! pikirku.
(Ronggeng Dukuh Paruk,1982:29)
Dari kutipan tersebut tampak bahwa moral masyarakat dukuh
paruk sangat tercela. keperawanan, yang sejatinya harus dijaga sampai si gadis
menikah justru dijadikan syarat menjadi seorang ronggeng dan disayembarakan
dengan uang untuk menikmati keperawanan si ronggeng.
Nilai moralitas dalam novel ini juga tampak ketika para istri masyarakat
dukuh Paruk justru bangga ketika suami mereka dapat bertayup dengan ronggeng.
Seperti tampak pada kutipan berikut:
Demikian. Seorang ronggeng di lingkungan
pentas tidak akan menjadi bahan percemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah
sebaliknya. Makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga
pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya
seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun birahinya.  (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:21)
5.     
Fungsi Religiusitas yaitu
karya sastra mengandung ajaran-ajaran agama yang harus dan wajib diteladani
oleh para penikmatnya.
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk juga memiliki nilai fungsi religiusitas
yang tinggi, yaitu nilai agama yang sangat kental dijumpai pada masyarakat
diluar Dukuh Paruk, seperti tampak pada kutipan berikut: 
               Yang
tercantik di antara mereka selalu menutup diri di samping ayahnya. Dia
bersembahyang, sesuatu yang baru kulihat di luar Dukuh Paruk. Gadis-gadis lain
berbisik kepadaku agar jangan mencoba menggoda si alim itu. Kata mereka, hanya
laki-laki bersembahyang pula bias berharap pada suatu saat bisa menjamahnya.
Itu pun bila telah terjadi ikatan perkawinan yang sah. Pelanggaran atas
ketentuan itu adalah dosa besar. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:51)
   Dari kutipan tersebut, dapat dilihat bahwa
keadaan diluar dukuh paruk konsep keperawanan dan pernikahan sangat dijunjung
tinggi. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut adalah dosa besar. Artinya,
dengan mengenal adanya dosa maka menjadi fungsi religiusitas yang tinggi
terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. 
6.     
Fungsi Kontrol Sosial
Fungsi
kontrol sosial yaitu karya sastra memberikan kontrol atau kritik terhadap
kondisi yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Novel
Ronggeng Dukuh Paruk memiliki fungsi kontrol sosial, yaitu ketika Rasus
menyingkir dan pergi dari kehidupan dukuh Paruk yang penuh dengan kemaksiatan
dan berpindah ke Dukuh Dawuan yang masyarakattnya kental akan nilai agama. Hal
ini tampak pada kutipan berikut: 
Dawuan, tempatku menyingkir dari Dukuh Paruk, terletak di
sebelah kota kecamatan. Akan terbukti nanti,pasar Dawuan merupakan tempat
melarikan diri yang tepat. Di sana aku dapat melihat kehadiranorang-orang dari
perkampungan dalam wilayah kecamatan itu. Tak terkecuali orang-orang dari Dukuh
Paruk. Pasar Dawuan menjadi tempat kabar merambat dari mulut ke telinga, dari
telinga ke mulut dan seterusnya. Berita yang terjadi di pelosok yang paling
terpencil bisa didengar di pasar itu. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:48)
Kepergian Rasus dari Dukuh Paruk yang penuh dengan
kemaksiatan menuju Dukuh Dawuan yang kental akan nilai agama memberi nilai
kontrol sosial kepada masyarakat bahwa kehidupan yang penuh dengan keburukan
harus diubah dan segera hijrah menuju kebaikan hidup.
E.     Nilai Sastra Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
1.     
Nilai Bermasyarakat
Ø 
Warga Dukuh Paruk menggantungkan
hidupnya pada alam
   Orang-orang dewasa
tetap bekeria di ladang atau sawah. Anak-anak pergi dengan binatang
gembalaannya. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:7)
Ø   Warga Dukuh Paruk hidup dalam kemelaratan.
   Dukuh Paruk mulai
hidup. Dentum lesung berisi gaplek yang ditumbuk.
   Semua makanan enak
sebab perut anak-anak Dukuh Paruk tidak pernah benar-benar        kenyang. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:13)
Ø  Warga
Dukuh Paruk memegang kuat kepercayaan pada nenek moyang (Ki Secamenggala.
   Tidak bisa! Siapa tahu
kejadian ini adalah pageblug. Siapa tahu kejadian ini karena kutuk roh Ki
Secamenggala yang telah lama tidak diberi sesaji. Siapa tahu!”
(Ronggeng Dukuh Paruk,1982:14)
2.     
Nilai Sosial
Ø  Dukuh
Paruk tidak akan lengkap tanpa keramat Ki Secamenggala, kemelaratan, sumpah-serapah, irama
calung dan seorang ronggeng.
               Namun
segalanya masih utuh di sana; keramat Ki Secamenggala, kemelaratan,
sumpah-serapah, irama calung dan seorang ronggeng. Mereka sudah begitu rindu akan
suara calung. Belasan tahun lamanya mereka tidak melihat  pagelaran ronggeng. Maka bukan main senang hati mereka ketika mendengar
Kartareja bersuara; pertunjukan akan dimulai.
               Misalnya
kata umpatan “asu buntung”, yang
bisa didengar setiap menit di Dukuh Paruk tanpa akibat apa pun, merupakan kata penghinaan
paling nista di luar pedukuhan itu. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:64)
Ø  Di
Dukuh Paruk, seorang istri tidak cemburu melainkan bangga bila suaminya bertayub dengan ronggeng
               Seorang ronggeng
di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan percemburuan bagi perempuan Dukuh
Paruk. Malah sebaliknya. Makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng,
makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum
bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun birahinya. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:21)
Ø  Seorang
Ronggeng diperlakukan istimewa daripada warga biasa
               Semua pedagang
di pasar memperlakukan Srintil sebagai orang istimewa. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:49)
Ø  Orang
luar memandang buruk terhadap warga Dukuh Paruk. Gambaran
tentang Dukuh Paruk dilengkapi oleh ucapan orang luar, misalnya :
               “Jangan
mengabadikan kemelaratan seperti orang Dukuh Paruk.” atau
“Hai,
anak-anak, pergilah mandi. Kalau tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu
kena kudis seperti anak-anak Dukuh Paruk!” (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:8)
3.      Nilai
Religius
Ø  Warga
Dukuh Paruk memuja Ki Secamenggala, yang konon adalah nenek moyang mereka.
               Kubur
Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk
menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan
kubur Ki Secamenggala membuktikan polah-tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk
berpusat di sana. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:4)
Ø  Sarana
penghubung batin dengan nenek moyang adalah dengan menyanyikan sebuah kidung. Sarana yang diajarkan oleh nenek
moyangnya adalah sebuah kidung yang dinyanyikan oleh Sakarya dengan segenap
perasaannya;
               Ana
kidung rumeksa ing wengi
               Teguh
ayu luputing lara
               Luputa
bilahi kabeh                                     
               Jin
setan datan purun (dan
seterusnya...) 
(Ronggeng Dukuh Paruk,1982:17)
Ø 
Masyarakat
Dukuh Dawuan yang memiliki nilai religiusitas tinggi.
Tokh tidak semuanya demikian. Yang tercantik di antara
mereka selalu menutup diri di samping ayahnya. Dia bersembahyang, sesuatu yang
baru kulihat di luar Dukuh Paruk. Gadis-gadis lain berbisik kepadaku agar
jangan mencoba menggoda si alim itu. Kata mereka, hanya laki-laki bersembahyang
pula bisa berharap pada suatu saat bisa menjamahnya. Itu pun bila telah terjadi
ikatan perkawinan yang sah. Pelanggaran atas ketentuan itu adalah dosa besar.
 (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:51)
4.     
Nilai Budaya
Ø    
Kebudayaan
ronggeng di Dukuh Paruk yang sudah ada sejak lama
Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja. Laki-laki yang hampir sebaya
ini secara turun-temurun menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Pagi itu
Kartareja mendapat kabar gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun menunggu
kedatangan seorang calon ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah
perangkat calungnya tersimpan di para-para di atas dapur. Dengan laporan
Sakarya tentang Srintil, dukun ronggeng itu berharap bunyi calung akan kembali
terdengar semarak di Dukuh Paruk.
(Ronggeng
Dukuh Paruk,1982:8)
Ø    
Kebudayaan
Keris
“Mereka mengatakan keris itu bernama Kyai Jaran Guyang,
pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap. Itu keris pekasih yang dulu selalu
menjadi jimat para ronggeng. Mereka juga mengatakan hanya karena
keberuntunganku maka keris itu sampai ke tanganku. Rasus, dengan keris itu aku
akan menjadi ronggeng tenar. Itu kata Kakek dan juga kata Kartareja.”
(Ronggeng Dukuh Paruk,1982:24)
BAB IV
PENUTUP
A.    Simpulan
   Dengan kajian sosiologi sastra, maka kita
akan lebih mudah menemukan esensi ataupun intisari yang sangat menarik di
dalamnya. Mengingat pengertian sosiologi sastra yang mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya, maka sesuai jika mengkaji isi dari cerita ini yang
konon sangat memiliki esensi budaya dan adat istiadat yang melekat erat di
masyarakatnya. Dengan demikian,
sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan
landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena
sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di
sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan.
Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses
kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan
sebagainya) dalam bentuk karya sastra. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk banyak sekali terdapat konteks kehidupan
masyarakat Jawa dan kental akan berbagai fungsi, seperti fungsi sosial, Fungsi Religiusitas. Fungsi Moralitas, Fungsi Didaktif, Fungsi Estetis, Fungsi Rekreatif dan fungsi kontrol sosial.
Selain fungsi sastra, berbagai nilai kehidupan seperti nilai sosial, nilai
budaya, nilai bermasyarakat, dan nilai religius juga terdapat dalam novel
Ronggeng Dukuh Paruk 
A.             
Saran
Pembaca,
sebagai peminat karya sastra hendaknya juga dapat melakukan pengkajian karya
sastra supaya dapat lebih memahami unsur-unsur karya sastra secara lebih
mendalam rangkaian hikmah yang ada dan untuk mengetahui lebih dekat macam-macam
teori pengkajian sastra agar dapat menambah wawasan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
 Ali, Lukman. 1967. Bahasa dan Kesusastraan
Indonesia Sebagai Cermin
Manusia Indonesia Baru. Jakarta: PT Gunung Agung.
Manusia Indonesia Baru. Jakarta: PT Gunung Agung.
Aminuddin. 1990. Pengantar Apresiasi
Karya sastra. Bandung: Sinar Baru dan YA3 Malang.
Arifin, Syamsir. 1991. Kamus Sastra
Indonesia. Padang: Angkasa Raya.
Atmazaki, 1990. Ilmu Sastra: Teori dan
Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Chamamah-Soeratno, Siti. 1991. “Hakikat
Penelitian Sastra” dalam Jurnal Gatra Nomor  10/11/12. Yogyakarta:
IKIP Sanata Dharma.
Henry Guntur Tarigan. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Jakarta: Penerbit
Angkasa.
Tohari Ahmad.
1982. Ronggeng Dukuh Paruk. Jawa Tengah : Trilogi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar