by Intan Pertiwi [@tanzalea]
"Yang paling ditakuti seorang perempuan adalah ketidakbahagiaan." - Gem.
#Pertemuan Silam#
Bagaimana sebuah masa lalu mampu menjelajah habis isi kepala wanita itu. Ia belum bisa membenamkan kegelisahan pada kasur yang menumpu berat badannya. Di atas ranjang, tubuhnya terbaring lemah, seolah raganya telah hilang terbawa amarah. Tangannya meraih sebuah ponsel yang tergeletak di samping bantal kepala. Ia mengetik sebuah pesan, dikirimkannya pesan tersebut pada seseorang.
"Mas, masih lama?" pesan terkirim.
Beberapa saat hanya terdengar decakan cicak di dalam kamar. Cicak itu terdiam di samping jam dinding, matanya nyalang tanpa kedipan. Sang cicak merayap masuk ke balik jam ketika mata wanita itu menudingnya. Nyaris frustasi menunggu kabar, wanita itu kembali mengetik pesan.
"Mas, aku nggak bisa!" pesan terkirim. Tapi seseorang di sana belum juga membalasnya.
Wanita itu kembali menatap ponselnya, menunggu dering telepon yang sudah lama dinanti. Lima belas menit berlalu, ponsel berbunyi. Wanita itu bergegas meraihnya.
"Gem?" ucapnya berbisik.
"Halo?" suara dari dalam telepon terdengar nyaring.
"Gem, sudah malam. Aku mau istirahat!" ujar wanita itu.
Suara dari dalam telepon tampak tak menggubris. Ia tetap bersikukuh ingin berbincang dengan wanita itu.
"Ran, kamu baik-baik saja kan? Suamimu ada?"
"Iya, ada. Sudah ya, aku mau tidur!" 
klik! Telepon terputus, wanita itu melempar ponselnya ke ranjang. Ia berdiri di hadapan cermin dan mengamati tubuhnya sendiri. Ia kembali ke ranjang dan berbaring. Perlahan, sayap-sayup detak jam mulai menguasai ruangan. Wanita itu menutup mata dan akhirnya tertidur sepanjang malam.
****
Pukul 4 sore, di sebuah foodcourt salah satu mall terbesar di Bandung. Seorang lelaki bercelana jeans dengan sobekan rapi di kedua lututnya, rambut kribo menguasai kepala, juga sebuah kacamata yang membantu mengurangi silindrisnya. Lelaki itu masih duduk di salah satu meja makan. Ia menatap sekeliling, mencari seseorang yang barangkali sudah membuat janji dengannya.
Dari kejauhan, tampak seorang perempuan berlari menuju ke arahnya. Perempuan dengan kerudung cokelat menutupi dada, kaos polos berwarna putih dan celana tunik longgar berwarna cokelat. Berhenti berlari, ia mulai berjalan tergesa menghampiri kediaman lelaki itu. Tak menunggu lama, lelaki itu melempar senyum yang langsung dibalas oleh perempuan berkerudung coklat.
"sudah lama ya?" tanya perempuan berkerudung sambil meraih kursi untuk duduk.
"lumayan," jawab lelaki itu singkat.
"eh, sudah pesan makanan?" 
"belum, aku nunggu kamu. Mau pesan apa?" lelaki itu menyodorkan buku menu yang sedari tadi tergeletak di atas meja.
Perempuan berkerudung meraihnya. Tampak sedikit berpikir, ia membaca pindai menu makanan yang terpampang.
"Sirloin dan jus mangga, right?" tanya lelaki itu tiba-tiba.
Perempuan berkerudung mengangkat wajahnya. Matanya sedikit memicing, "kamu masih ingat?" tanyanya tertawa. Lelaki itu mengangguk mantap.
"kamu pasti mau pesan yang double-kan?" tebak perempuan berkerudung. Lelaki itu tertawa dan menggeleng cepat, "kali ini aku mau pesan yang single saja."
Dipanggilnya seorang pelayan. Mereka memesan dua sirloin, jus mangga dan kopi hitam. Pelayan mencatat dan bergegas pergi menyiapkan pesanan.
"istrimu apa kabar?" perempuan berkerudung mengawali percakapan.
Sedikit berpikir dengan memainkan bola mata, "baik," ujarnya dibarengi anggukan kepala.
Perempuan berkerudung mengangguk juga. Ia mulai mengeluarkan sebuah buku yang sudah disiapkannya dari dalam ransel.
"kamu tahu nggak, berapa banyak riset yang aku lakukan buat ngumpulin semua data ini?" celetuknya.
"yang pasti kamu sudah berjuang keras," ujar lelaki itu menanggapi. Perempuan berkerudung mengangkat bahunya. Ia kembali sibuk membaca-baca buku catatannya.
"dari dulu kamu nggak pernah berubah ya," ucap perempuan berkerudung sambil sesekali melirikkan matanya ke arah lelaki itu.
"aku memang nggak pernah berubah. Aku kan bukan superhero," celetuknya yang langsung dibarengi tawa renyah perempuan berkerudung.
"jadi kapan aku bisa baca naskahmu?" tanya lelaki itu.
"Ini masih proses, Ray. Aku belum menemukan data akhir. Kamu harus sabar, karena aku mau bikin naskah yang isinya bukan cuma omong kosong penulis," ujarnya menjelaskan.
"oh, I see. Kamu nyindir aku kan?" tangan lelaki itu mulai bergerak menumpu dagunya sendiri di atas meja. Matanya menatap penuh persaingan pada perempuan di hadapannya.
"sebentar, aku nggak bilang kalau naskahmu itu isinya cuma omong kosong doang kan?" tanyanya santai.
"well, nggak langsung sih. Tapi no problem deh, toh yang berkomentar juga seorang penulis kawakan," jawab lelaki itu. Perempuan berkerudung tertawa dan kembali sibuk dengan buku catatannya.
"aku disuruh ketemu kamu di sini bukan cuma buat nonton kamu asik buka-buka buku catatanmu itu kan?" lanjutnya.
"what? Ya nggaklah. Tunggu sebentar, kali," jawab perempuan berkerudung.
Lelaki itu menyandarkan punggungnya ke kursi. Matanya kembali berlari ke sekeliling foodcourt.
Dari arah berlawanan, seorang pelayan datang membawa sebuah nampan berisi pesanan mereka. Setelah menatanya di atas meja dan memastikan pesanan itu benar, ia bergegas meninggalkan mereka menuju pemesan lainnya.
Perempuan berkerudung mulai melahap makanan di hadapannya. Ia memotong sirloin dengan pisau dan garpunya. Sementara lelaki itu sudah setengah bagian menghabiskan sirloinnya.
"Ray, kamu nggak buru-buru kan?" perempuan berkerudung bertanya ragu.
Lelaki itu mengangkat bahu, bibirnya tampak mengulum makanan. Tatapannya mengarah ke perempuan berkerudung, seolah bertanya, memangnya kenapa?
Perempuan itu kembali bicara, "aku masih butuh sharing sama kamu. Mungkin dua sampai tiga jam ke depan." Perempuan berkerudung berhenti menggerakkan garpu dan pisaunya, seolah ada keraguan dari perkataannya sendiri. Lelaki itu berhenti mengunyah dan menatap heran perempuan berkerudung.
"eh, kita bisa nonton film dulu kalau kamu mau, supaya nggak jenuh bahas naskah aku," timpal perempuan berkerudung disusul senyuman lelaki itu.
"ada film apa?"
"fast and farious 7. Atau kamu mau nonton filosofi kopi?" perempuan berkerudung memberi penawaran.
Lelaki itu lebih memilih film pertama. Perempuan berkerudung mengangguk setuju. Mereka segera menghabiskan sisa makanan di atas meja. Lelaki itu lebih dulu selesai menghabiskan makanannya. Ia menyeruput kopi di hadapannya.
"kenapa ya, perempuan itu kepo sekali?" ujarnya tiba-tiba.
Perempuan berkerudung terhenyak. "perempuan? siapa?" tanyanya lagi.
"ya, semua perempuan, mungkin," jawabnya singkat.
"I see. Istrimu kepo ya?" tanya perempuan berkerudung menahan tawa.
Lelaki itu mengangguk. "Aku jamin, kamu juga pasti kepo, iya kan?" tanya lelaki itu sedikit menggoda.
Perempuan berkerudung mengangguk mantap. Lelaki itu mulai tertarik dengan pembicaraan soal kepedulian yang berlebihan.
"ya, aku juga kepo kok. Kamu tau nggak kalau sampai sekarang aku masih sering ngintip facebook-nya Fat?" perempuan berkerudung mulai menertawakan dirinya sendiri.
Lelaki itu mengangguk, "Pasti!" jawabnya yakin, seolah ia sudah memprediksi hal itu.
"aku juga suka ngepoin kamu, Zad, Res, dan beberapa perempuan yang terlihat dekat dengan kalian." Perempuan berkerudung mulai bercerita tanpa rasa malu. Baginya, lelaki itu adalah buku harian kedua setelah catatannya.
"pasti begitu. Istriku juga begitu." Lelaki itu menggelengkan kepalanya, merasa geli dengan kondisi tersebut.
Perempuan berkerudung menghabiskan makanannya. Setelah menyeruput jus mangga dengan sedotan, ia kembali membuka buku catatannya.
"nah, aku masih bingung nih Ray." Perempuan itu beralih topik, ia menunjukan sebuah halaman dalam lembar catatannya.
"menurutmu, pekerjaan apa yang bisa bikin tingkat stres seorang perempuan itu memuncak?" tanya perempuan berkerudung.
"hem…" belum sempat menjawab, perempuan berkerudung sudah mendului, 
"ibu rumah tangga!" ujarnya penuh keyakinan. Di kepalanya sudah tertanam beberapa riset pengalaman para IRT. Ia menjawab hal itu dengan mantap. Seolah dirinya sudah menampung seluruh keluhan para IRT di dunia.
"Kok bisa?" tanya lelaki itu.
"Aku belum nemu alasan pastinya sih, tapi risetku membuktikan hal itu memang benar." Perempuan berkerudung menunjukkan beberapa paragraph dari sebuah halaman di catatannya. Lelaki itu mulai membaca.
"kemarin aku ketemu Han. Kamu taulah dia itu psikolog yang kaya akan pengalaman. Pas aku tanya, memang jawaban dia ya gitu. Perempuan yang memiliki kadar stres tertinggi adalah seorang ibu rumah tangga. Kamu bisa baca penjelasan di halaman berikutnya."
Perempuan itu menyedot jus mangga, ia mengaduk-aduk isi gelasnya dengan sedotan kemudian kembali menyeruputnya.
Lelaki itu mengangguk paham. "Oh, aku ngerti sekarang," ujarnya pelan.
"kenapa?"
"iya, sejak menikah, kadar amarah istriku meningkat pesat. Kayak petasan yang menyambar-nyambar gitu." Lagi-lagi lelaki itu menganalogikan hal yang terkesan lucu.
"tuh kan, mungkin dia stres berat."
"karena ulahku? Atau karena kejenuhan dia sebagai ibu rumah tangga?" lelaki itu memicingkan mata.
"dari beberapa pengalaman yang aku dengar, kedua pilihan itu menjadi alasan yang paling booming di kalangan ibu-ibu."
"wow!" lelaki itu mengernyitkan dahi.
"sekarang kamu tinggal nyari ending yang seperti apa?" timpalnya kemudian.
"aku masih nyari benang merah yang bisa menjembatani terjadinya perceraian yang masuk akal. Atau mungkin pada kasus keluarga lainnya, mereka justru hidup bahagia karena sudah memaklumi sikap masing-masing seiring berjalannya kehidupan rumah tangga mereka," jawab perempuan berkerudung.
"memang setiap perceraian itu punya alasan yang masuk akal ya?" celetuk lelaki itu.
"why not?"
"aku rasa, setiap perceraian punya kadar amarah yang memuncak, sama kayak ledakan amarah seorang perempuan karena terlalu stres". Lelaki itu meneguk kopinya dan kembali berbicara.
"hem, maksudku, perceraian yang mereka ajukan terkesan nggak masuk akal karena alasan untuk berpisah sudah dikuasai oleh amarah yang membutakan cinta di antara keduanya." Lelaki itu mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya kemudian kembali berkomentar.
"Ketika bertengkar, kedua pasang insan cenderung dikuasai deretan kesalahan yang pernah dilakukan oleh pasangannya, mereka nggak menatap jauh ke hubungan percintaan mereka di awal pertemuan sampai memutuskan untuk naik ke pelaminan," jelasnya lagi.
Perempuan berkerudung mulai berpikir, "hem, baru kali ini aku mentok sama pendapat kamu. Maksudku, aku jadi ragu mau nulis ending yang seperti apa." Perempuan berkerudung tampak gusar memikirkan nasib tulisannya. Lelaki itu tersenyum menanggapi.
"ah, sudahlah, kita nonton dulu yuk," ajak lelaki itu.
Perempuan berkerudung masih menyandarkan berat tubuhnya di atas kursi
"ayo, kita cari udara sejuk dulu supaya bisa keluar dari zona buntu." Lelaki itu berusaha menyemangati. Perempuan berkerudung tersenyum lirih, membereskan buku catatan dan memasukkannya ke dalam ransel.
Mereka berjalan menuju kasir. Lelaki itu membayar semua makanan yang mereka pesan. Setelah selesai, mereka berjalan beriring ke luar foodcourt. Langkah mereka mengarah ke lift yang menuju ke lantai empat, tempat bioskop dalam mall tersebut berada.
*tobecontinued*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar