Selasa, 30 Juni 2015

Hapus!

Ini sering terjadi dalam beberapa kasus menulis. Ketika saya asik menyusun kalimat dan merangkai sebuah alur yang pas, saya merasa karya saya itu bagus. Ya, tidak terlalu buruk. Tapi ketika membacanya ulang di hari lain, saya merasa jijik dan heran terhadap diri sendiri.

"Kenapa tulisan saya begini? Kok alurnya gini sih? Eh, bahasanya terlalu baku. Loh, kok terlalu santai ya?"

Ah, dan sebagainya sebagainya.

Sontak saya tekan tombol ctrl+A+delete. Saya hapus dari blog dan tumblr. Saya biarkan ia mengendap di laptop. Mungkin suatu saat bisa saya ubah sedikit, atau dipoles sampai mulus dan enak dibaca.

Well, apakah itu terjadi cuma pada saya? Kayaknya nggak deh.

Bye!

SKENARIO WAKTU

by Intan Pertiwi [@tanzalea]

"Yang paling ditakuti seorang perempuan adalah ketidakbahagiaan." - Gem.

#Pertemuan Silam#

Bagaimana sebuah masa lalu mampu menjelajah habis isi kepala wanita itu. Ia belum bisa membenamkan kegelisahan pada kasur yang menumpu berat badannya. Di atas ranjang, tubuhnya terbaring lemah, seolah raganya telah hilang terbawa amarah. Tangannya meraih sebuah ponsel yang tergeletak di samping bantal kepala. Ia mengetik sebuah pesan, dikirimkannya pesan tersebut pada seseorang.

"Mas, masih lama?" pesan terkirim.

Beberapa saat hanya terdengar decakan cicak di dalam kamar. Cicak itu terdiam di samping jam dinding, matanya nyalang tanpa kedipan. Sang cicak merayap masuk ke balik jam ketika mata wanita itu menudingnya. Nyaris frustasi menunggu kabar, wanita itu kembali mengetik pesan.

"Mas, aku nggak bisa!" pesan terkirim. Tapi seseorang di sana belum juga membalasnya.

Wanita itu kembali menatap ponselnya, menunggu dering telepon yang sudah lama dinanti. Lima belas menit berlalu, ponsel berbunyi. Wanita itu bergegas meraihnya.

"Gem?" ucapnya berbisik.
"Halo?" suara dari dalam telepon terdengar nyaring.
"Gem, sudah malam. Aku mau istirahat!" ujar wanita itu.
Suara dari dalam telepon tampak tak menggubris. Ia tetap bersikukuh ingin berbincang dengan wanita itu.
"Ran, kamu baik-baik saja kan? Suamimu ada?"
"Iya, ada. Sudah ya, aku mau tidur!"

klik! Telepon terputus, wanita itu melempar ponselnya ke ranjang. Ia berdiri di hadapan cermin dan mengamati tubuhnya sendiri. Ia kembali ke ranjang dan berbaring. Perlahan, sayap-sayup detak jam mulai menguasai ruangan. Wanita itu menutup mata dan akhirnya tertidur sepanjang malam.

****

Pukul 4 sore, di sebuah foodcourt salah satu mall terbesar di Bandung. Seorang lelaki bercelana jeans dengan sobekan rapi di kedua lututnya, rambut kribo menguasai kepala, juga sebuah kacamata yang membantu mengurangi silindrisnya. Lelaki itu masih duduk di salah satu meja makan. Ia menatap sekeliling, mencari seseorang yang barangkali sudah membuat janji dengannya.

Dari kejauhan, tampak seorang perempuan berlari menuju ke arahnya. Perempuan dengan kerudung cokelat menutupi dada, kaos polos berwarna putih dan celana tunik longgar berwarna cokelat. Berhenti berlari, ia mulai berjalan tergesa menghampiri kediaman lelaki itu. Tak menunggu lama, lelaki itu melempar senyum yang langsung dibalas oleh perempuan berkerudung coklat.

"sudah lama ya?" tanya perempuan berkerudung sambil meraih kursi untuk duduk.
"lumayan," jawab lelaki itu singkat.
"eh, sudah pesan makanan?"
"belum, aku nunggu kamu. Mau pesan apa?" lelaki itu menyodorkan buku menu yang sedari tadi tergeletak di atas meja.
Perempuan berkerudung meraihnya. Tampak sedikit berpikir, ia membaca pindai menu makanan yang terpampang.

"Sirloin dan jus mangga, right?" tanya lelaki itu tiba-tiba.
Perempuan berkerudung mengangkat wajahnya. Matanya sedikit memicing, "kamu masih ingat?" tanyanya tertawa. Lelaki itu mengangguk mantap.

"kamu pasti mau pesan yang double-kan?" tebak perempuan berkerudung. Lelaki itu tertawa dan menggeleng cepat, "kali ini aku mau pesan yang single saja."

Dipanggilnya seorang pelayan. Mereka memesan dua sirloin, jus mangga dan kopi hitam. Pelayan mencatat dan bergegas pergi menyiapkan pesanan.

"istrimu apa kabar?" perempuan berkerudung mengawali percakapan.

Sedikit berpikir dengan memainkan bola mata, "baik," ujarnya dibarengi anggukan kepala.

Perempuan berkerudung mengangguk juga. Ia mulai mengeluarkan sebuah buku yang sudah disiapkannya dari dalam ransel.

"kamu tahu nggak, berapa banyak riset yang aku lakukan buat ngumpulin semua data ini?" celetuknya.

"yang pasti kamu sudah berjuang keras," ujar lelaki itu menanggapi. Perempuan berkerudung mengangkat bahunya. Ia kembali sibuk membaca-baca buku catatannya.

"dari dulu kamu nggak pernah berubah ya," ucap perempuan berkerudung sambil sesekali melirikkan matanya ke arah lelaki itu.

"aku memang nggak pernah berubah. Aku kan bukan superhero," celetuknya yang langsung dibarengi tawa renyah perempuan berkerudung.

"jadi kapan aku bisa baca naskahmu?" tanya lelaki itu.

"Ini masih proses, Ray. Aku belum menemukan data akhir. Kamu harus sabar, karena aku mau bikin naskah yang isinya bukan cuma omong kosong penulis," ujarnya menjelaskan.

"oh, I see. Kamu nyindir aku kan?" tangan lelaki itu mulai bergerak menumpu dagunya sendiri di atas meja. Matanya menatap penuh persaingan pada perempuan di hadapannya.

"sebentar, aku nggak bilang kalau naskahmu itu isinya cuma omong kosong doang kan?" tanyanya santai.

"well, nggak langsung sih. Tapi no problem deh, toh yang berkomentar juga seorang penulis kawakan," jawab lelaki itu. Perempuan berkerudung tertawa dan kembali sibuk dengan buku catatannya.

"aku disuruh ketemu kamu di sini bukan cuma buat nonton kamu asik buka-buka buku catatanmu itu kan?" lanjutnya.

"what? Ya nggaklah. Tunggu sebentar, kali," jawab perempuan berkerudung.

Lelaki itu menyandarkan punggungnya ke kursi. Matanya kembali berlari ke sekeliling foodcourt.

Dari arah berlawanan, seorang pelayan datang membawa sebuah nampan berisi pesanan mereka. Setelah menatanya di atas meja dan memastikan pesanan itu benar, ia bergegas meninggalkan mereka menuju pemesan lainnya.

Perempuan berkerudung mulai melahap makanan di hadapannya. Ia memotong sirloin dengan pisau dan garpunya. Sementara lelaki itu sudah setengah bagian menghabiskan sirloinnya.

"Ray, kamu nggak buru-buru kan?" perempuan berkerudung bertanya ragu.
Lelaki itu mengangkat bahu, bibirnya tampak mengulum makanan. Tatapannya mengarah ke perempuan berkerudung, seolah bertanya, memangnya kenapa?

Perempuan itu kembali bicara, "aku masih butuh sharing sama kamu. Mungkin dua sampai tiga jam ke depan." Perempuan berkerudung berhenti menggerakkan garpu dan pisaunya, seolah ada keraguan dari perkataannya sendiri. Lelaki itu berhenti mengunyah dan menatap heran perempuan berkerudung.

"eh, kita bisa nonton film dulu kalau kamu mau, supaya nggak jenuh bahas naskah aku," timpal perempuan berkerudung disusul senyuman lelaki itu.

"ada film apa?"

"fast and farious 7. Atau kamu mau nonton filosofi kopi?" perempuan berkerudung memberi penawaran.

Lelaki itu lebih memilih film pertama. Perempuan berkerudung mengangguk setuju. Mereka segera menghabiskan sisa makanan di atas meja. Lelaki itu lebih dulu selesai menghabiskan makanannya. Ia menyeruput kopi di hadapannya.

"kenapa ya, perempuan itu kepo sekali?" ujarnya tiba-tiba.

Perempuan berkerudung terhenyak. "perempuan? siapa?" tanyanya lagi.

"ya, semua perempuan, mungkin," jawabnya singkat.

"I see. Istrimu kepo ya?" tanya perempuan berkerudung menahan tawa.

Lelaki itu mengangguk. "Aku jamin, kamu juga pasti kepo, iya kan?" tanya lelaki itu sedikit menggoda.

Perempuan berkerudung mengangguk mantap. Lelaki itu mulai tertarik dengan pembicaraan soal kepedulian yang berlebihan.

"ya, aku juga kepo kok. Kamu tau nggak kalau sampai sekarang aku masih sering ngintip facebook-nya Fat?" perempuan berkerudung mulai menertawakan dirinya sendiri.

Lelaki itu mengangguk, "Pasti!" jawabnya yakin, seolah ia sudah memprediksi hal itu.

"aku juga suka ngepoin kamu, Zad, Res, dan beberapa perempuan yang terlihat dekat dengan kalian." Perempuan berkerudung mulai bercerita tanpa rasa malu. Baginya, lelaki itu adalah buku harian kedua setelah catatannya.

"pasti begitu. Istriku juga begitu." Lelaki itu menggelengkan kepalanya, merasa geli dengan kondisi tersebut.

Perempuan berkerudung menghabiskan makanannya. Setelah menyeruput jus mangga dengan sedotan, ia kembali membuka buku catatannya.

"nah, aku masih bingung nih Ray." Perempuan itu beralih topik, ia menunjukan sebuah halaman dalam lembar catatannya.

"menurutmu, pekerjaan apa yang bisa bikin tingkat stres seorang perempuan itu memuncak?" tanya perempuan berkerudung.

"hem…" belum sempat menjawab, perempuan berkerudung sudah mendului,
"ibu rumah tangga!" ujarnya penuh keyakinan. Di kepalanya sudah tertanam beberapa riset pengalaman para IRT. Ia menjawab hal itu dengan mantap. Seolah dirinya sudah menampung seluruh keluhan para IRT di dunia.

"Kok bisa?" tanya lelaki itu.

"Aku belum nemu alasan pastinya sih, tapi risetku membuktikan hal itu memang benar." Perempuan berkerudung menunjukkan beberapa paragraph dari sebuah halaman di catatannya. Lelaki itu mulai membaca.

"kemarin aku ketemu Han. Kamu taulah dia itu psikolog yang kaya akan pengalaman. Pas aku tanya, memang jawaban dia ya gitu. Perempuan yang memiliki kadar stres tertinggi adalah seorang ibu rumah tangga. Kamu bisa baca penjelasan di halaman berikutnya."

Perempuan itu menyedot jus mangga, ia mengaduk-aduk isi gelasnya dengan sedotan kemudian kembali menyeruputnya.

Lelaki itu mengangguk paham. "Oh, aku ngerti sekarang," ujarnya pelan.

"kenapa?"

"iya, sejak menikah, kadar amarah istriku meningkat pesat. Kayak petasan yang menyambar-nyambar gitu." Lagi-lagi lelaki itu menganalogikan hal yang terkesan lucu.

"tuh kan, mungkin dia stres berat."

"karena ulahku? Atau karena kejenuhan dia sebagai ibu rumah tangga?" lelaki itu memicingkan mata.

"dari beberapa pengalaman yang aku dengar, kedua pilihan itu menjadi alasan yang paling booming di kalangan ibu-ibu."

"wow!" lelaki itu mengernyitkan dahi.

"sekarang kamu tinggal nyari ending yang seperti apa?" timpalnya kemudian.

"aku masih nyari benang merah yang bisa menjembatani terjadinya perceraian yang masuk akal. Atau mungkin pada kasus keluarga lainnya, mereka justru hidup bahagia karena sudah memaklumi sikap masing-masing seiring berjalannya kehidupan rumah tangga mereka," jawab perempuan berkerudung.

"memang setiap perceraian itu punya alasan yang masuk akal ya?" celetuk lelaki itu.

"why not?"

"aku rasa, setiap perceraian punya kadar amarah yang memuncak, sama kayak ledakan amarah seorang perempuan karena terlalu stres". Lelaki itu meneguk kopinya dan kembali berbicara.

"hem, maksudku, perceraian yang mereka ajukan terkesan nggak masuk akal karena alasan untuk berpisah sudah dikuasai oleh amarah yang membutakan cinta di antara keduanya." Lelaki itu mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya kemudian kembali berkomentar.

"Ketika bertengkar, kedua pasang insan cenderung dikuasai deretan kesalahan yang pernah dilakukan oleh pasangannya, mereka nggak menatap jauh ke hubungan percintaan mereka di awal pertemuan sampai memutuskan untuk naik ke pelaminan," jelasnya lagi.

Perempuan berkerudung mulai berpikir, "hem, baru kali ini aku mentok sama pendapat kamu. Maksudku, aku jadi ragu mau nulis ending yang seperti apa." Perempuan berkerudung tampak gusar memikirkan nasib tulisannya. Lelaki itu tersenyum menanggapi.

"ah, sudahlah, kita nonton dulu yuk," ajak lelaki itu.
Perempuan berkerudung masih menyandarkan berat tubuhnya di atas kursi

"ayo, kita cari udara sejuk dulu supaya bisa keluar dari zona buntu." Lelaki itu berusaha menyemangati. Perempuan berkerudung tersenyum lirih, membereskan buku catatan dan memasukkannya ke dalam ransel.

Mereka berjalan menuju kasir. Lelaki itu membayar semua makanan yang mereka pesan. Setelah selesai, mereka berjalan beriring ke luar foodcourt. Langkah mereka mengarah ke lift yang menuju ke lantai empat, tempat bioskop dalam mall tersebut berada.

*tobecontinued*

Minggu, 21 Juni 2015

Pilihan

Lelaki itu.
Ia orang pertama yang nyaris membuatku susah tidur, menangisi segala sesuatu yang sebabnya tak pernah kutahu. Ia gemar bernyanyi, bermain alat musik dan segala tetekbengek yang berkaitan dengan dunia seni. Barangkali cinta; mata yang terpejam dan tak melihat apa-apa selain tubuh dan wajahnya.

Mengakhiri penantian yang sia-sia. Aku berani mengambil langkah untuk menyudahi harapan itu. Kami menjalin hati, tapi selalu gagal mengikat nurani. Kami saling mencinta, tapi terbentur oleh raga yang tak bisa berkata-kata.

"Kenangan; ibarat novel terfavorit. Meski sudah tahu endingnya seperti apa, tapi aku selalu ingin membuka dan membacanya lagi."

Tapi rasa mempunyai masa kadaluarsa!

..hingga pada kehidupan berikutnya, aku menemukan ia dalam tubuh yang berbeda..

Ia lebih mudah bergaul dan senang melontarkan lelucon vulgar dalam imajinasinya. Ia lebih mudah berkatakata dan terlihat lebih dewasa. Tubuhnya lebih tinggi dengan lesung pipit di sebelah kiri. Rambutnya, perpaduan bentuk ikal dan kribo -mirip sepertimu. Suaranya agak berat dan terdengar renyah, nyanyiannya merdu -sama sepertimu.

Bukankah tak baik menyamakan jiwaragamu dalam tubuh orang lain?

Tapi aku benarbenar menemukan sebagian dirimu dalam dirinya. Aku menemukan katakata yang hilang dari mulutmu. Aku menemukan perasaan yang sama seperti kepadamu. Di dirinya, kesetiaan adalah hal yang utama -yang tak pernah kadaluarsa.

Aku melihat masadepan bergemilang indah bersamanya.

Namun tak ada engkau di sana!
Entah ke mana perginya.. Semakin hari, aku melihatnya sebagai sosok yang berbeda dan tak mirip siapa-siapa.

Mungkin cinta;
keberhasilanku memangkas habis masalalu -termasuk dirimu.

Pelaminan, 13-14-15 []

Sabtu, 20 Juni 2015

Selenade (2)

Jangan menyuruhku berhenti;
Mengingat sendisendi tubuhmu yang kaku
Atau sekadar berlelucon tentang kuku di jari kakimu yang bau

Kau selalu berkata,
sulit menemukan tempat untuk mengadu

Lantas aku menjelma rinai gigil yang ngilu
Kerna seseorang merampas malam dariku.
Atau hujan,
Barangkali gerimis yang tetap membasahkan
Seperti mengulang kesaksian mata dan kaki
Sorot dan langkah menuju tubuhmu yang lepas dari genggaman.

Kembali,
Atau zaman lebih dulu mati.

Jumat, 19 Juni 2015

Mimpi

mimpiitumembawakumenujumu;
menujuselseltubuhmu
menyisakanperasaanngilu.
apakahengkauyangtengahdirundurindu
atauakuyangkesulitanmelepasbayangbayang
disuatumalamperpisahansepasanginsan
sedangkitamiripduakububerlawanan
belajarmelepaskenangan.

June, 19. []

Rabu, 17 Juni 2015

Sahabat Kecil (Ipang)

...
Baru saja berakhir
Hujan di sore ini
Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya pelangi

Tak pernah terlewatkan
Dan tetap mengaguminya
Kesempatan seperti ini
Tak akan bisa dibeli

Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu

Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya

Melawan keterbatasan
Walau sedikit kemungkinan
Tak akan menyerah untuk hadapi
Hingga sedih tak mau datang lagi

Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu

Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya

Janganlah berganti
janganlah berganti
janganlah berganti
Tetaplah seperti ini

janganlah berganti
janganlah berganti
Tetaplah seperti ini
(end)

My immortal (Evanescence)

I'm so tired of being here
Suppressed by all my childish fears
And if you have to leave
I wish that you would just leave
Cause your presence still lingers here
And it won't leave me alone
These wounds won't seem to heal
This pain is just too real
There's just too much that time can not erase
When you cried, I'd wipe away all of your tears
When you'd scream, I'd fight away all of your fears
And I held your hand through all of these years
But you still have all of me
You used to captivate me by your resonating light
Now I'm bound by the life you left behind
Your face it haunts my once pleasant dreams
Your voice it chased away all the sanity in me
These wounds won't seem to heal
This pain is just too real
There's just too much that time can not erase
When you cried, I'd wipe away all of your tears
When you'd scream, I'd fight away all of your fears
And I held your hand through all of these years
But you still have all of me
I've tried so hard to tell myself that you're gone
But though you're still with me
I've been alone all along
When you cried, I'd wipe away all of your tears
When you'd scream, I'd fight away all of your fears
I held your hand through all of these years
But you still have...
All of me...
All... of me...
All... of me...
All... of me...

Senin, 15 Juni 2015

Hati

Hai... Puan.
Berapa hati yang telah retak oleh ulah dan sikapmu? Adakah kau tahu, jumlah itu sebanding dengan dosa yang kau perbuat karena membuat oranglain sakit?

Entahlah, Tuhan.
Saya tak pernah berani mematahkan hati seseorang, apalagi mereka. Barangkali rasa percaya diri yang tinggi membuat mereka berangsur patah dengan sendiri.

Mengapa setiap peristiwa baru, membuat saya bisa mematahkan hati beberapa orang lelaki?

Ah, Tuhan. Bahkan mukapun tampak biasabiasa saja, perilaku apalagi. Apakah ucapan saya yang lugu, atau justru terlalu mengandung ilmu? Saya terlahir dari sepasang manusia yang luar biasa, semua orang pun begitu saya kira. Jadi apa hebatnya? Toh semuanya sama saja.

Tapi beruntungnya, peristiwaperistiwa itu menambah imaji baru dalam kepala saya. Bermula ketika menjadi mahasiswa baru, berkecimpung di UKM, melakoni drama, jambore bahasa sastra, tour sastra, lego ergo scio, kkn, sampai pada ppl. Di luar kampus bahkan terjadi interaksi seperti itu -tak sengaja mematahkan hati lagi- ketika berkegiatan dengan komunitas lain.

How come?
Sampai ada beberapa rekan perempuan yang mengira saya "perempuan pecicilan" hinggap dari satu hati ke lain hati tanpa mau terikat.

Itulah sebabnya.
Kedekatan yang terjalin dengan lawanjenis; anggapan bahwa kami hanya berteman baik atau mungkin bersahabat, dipatahkan oleh sesama jenis.

Pada akhirnya keresahan itu larung dan berlabuh di satu nama.. -yang saat ini resmi memboyong hidupku.

Mengingat beberapa peristiwa dan mengawetkannya dalam bentuk katakata, hanya itu yang bisa dilakukan untuk membuatnya abadi.

Terlalu baku dan kaku menceritakan hal semacam ini. Lain kali saya akan menceritakan hal yang lebih berbobot lagi. Mungkin tentang pernikahan, proses kehamilan, proses melahirkan hingga proses merawat bayi dan berumahtangga. Ah, semuanya tumpah dalam kepala dan sulit lagi untuk dipungut kemudian dirangkai menjadi peristiwa yang berharga.

Atau mungkin saya akan bercerita tentang jabatan sebagai ibu negara (maksudnya, istri dari seorang ketua / seseorang yang pernah menjabati sebuah organisasi dan komunitas. Atau mungkin sebagai bendahara yang merupakan anggota perempuan satusatunya yang tersisa dari satu angkatan di organisasi dan komunitas tersebut?) Ya, banyak yang ingin diluapkan. Tapi saya tidak punya banyak waktu 'berkualitas' untuk menuliskannya. Ini pun hanya sebatas ocehan tak berbobot dan tak mengandung banyak wawasan. Hanya catatan kedua setelah memori otak saya yang mulai kadaluarsa kelak.

Baiklah, berapa banyak hati yang telah saya patahkan? Waaah, sombong sekali perempuan ini! (anggapan tersebut pasti ada). Ya, saya sudah meminta maaf pada beberapa orang, tapi mungkin masih ada yang belum terjamah oleh ingatan.

"Hati itu memilih, bukan dipilih. Jatuh cintalah pelanpelan, jangan sekaligus. Berat nanti.." (Pak Wayan dlm Perahu Kertas).

hatihati, Hati!
Hati, hatihati!

:')

Kamis, 11 Juni 2015

Jon dan Jane [#1]

Di beranda rumah Jane, Jon menikmati senja dengan semangkuk mie rebus rasa ayam bawang & sejumput cinta yang tertuang dalam sebotol sambal ekstra pedas.

Sembari bercakap-cakap membayangkan masa depan yang penuh rencana, Jane menuang sesendok kopi dan sedikit gula sesuai selera.

"Buatanmu istimewa," ujar Jon tibatiba.

Dituangnya didih air yang mengalir dari termos stainless ke dalam cangkir. Jane mengaduk-aduk kopi hingga larut lalu memberikannya pada Jon.

"Nanti pas resepsi, kita sekalian launching antologi puisi perkawinan ya," seru Jon sebelum bibirnya bersentuhan dengan bibir cangkir dan menyeruput kopi yang mengepul.

Jane tersenyum, pikirannya berlari menuju masa depan.

"Aku mau punya banyak anak," timpal Jon lagi.

Jane nyengir kuda, "Dua cukup".

Jon menggeleng, "minimal lima."

Jane mengernyitkan dahi, menatap heran sosok lelaki yang tak peduli pada aturan pemerintah.

"Kalau begitu, tiga saja." Lagi-lagi Jane bernegosiasi dengan calon suaminya itu.

"Kenapa cuma tiga?" Selera makan Jon terhenti, menunggu mempelai wanitanya memberi penjelasan yang tepat.

"Kalau kita punya tiga anak. Aku bisa mengusulkan tiga nama yang baik," ujar Jane penuh semangat.

"Siapa saja?" Jon mulai antusias merespon Jane.

"Anak pertama bernama Ilo, anak kedua bernama Vey dan anak ketiga bernama Ou." Jelas Jane, singkat.

"Artinya apa?" tanya Jon memicingkan mata.

"Pokoknya itu nama yang terbaik!" Jawab Jane sekenanya.

"Kok?" timpal Jon.

"Iya.. jika disatukan, ketiganya akan membentuk kalimat istimewa. Ilo-Vey-Ou yang berarti i love you!" Jane tertawa girang meski Jon baru menyadari setelah
tawa kekasihnya itu reda.

Percakapan terus berlanjut hingga matahari larut dalam perut bumi. Jane mengantar kekasihnya menuju vespa 66 yang terparkir di halaman rumah. Setelah
berpamitan dan memastikan tubuh lelakinya lenyap dari tikungan gang, Jane berjalan ke beranda rumah dan membereskan sisasisa jamuan yang nyaris habis.

Diambilnya cangkir Jon, mata sayu Jane mulai mengamati ke dalam cangkir. Ia tersenyum senang lalu mengeluarkan sebuah ponsel dari saku celananya. Ia mengetik sebuah pesan dan mengirimkannya pada Jon.

"Hei, tahu tidak?
Aku menemukan sesuatu!

.....

Ada cinta ketinggalan di dasar cangkir kopimu, Jon!" [] ♥

[catatan singkat sebelum tidur, sambil membayangkan deretan hari esok yang melambai-lambai, karena Jon akan segera sidang skripsi bulan ini! Eureka! Semoga kali ini serius..]