Kamis, 17 April 2014

3 Puisi Berlabuh di Harian Indopos Jakarta (Sabtu, 5/4/2014)



Mengiris Bawang


Ibu pernah mengajari aku mengiris bawang
lapis demi lapis
membuatku basah dan kesepian.

Ibu pernah berkata,
“bawang bisa menyembunyikan kesakitan,
tanpa perlu memaksanya hilang.”

seandainya ibu tahu,
sepi tak pernah bisa diiris apalagi dibagi.
seperti bawang-bawang itu, gemar melucuti mataku.

akhir-akhir ini aku gemar mengiris bawang
setiap irisan adalah hujan yang berkeroyokan
menggugurkan kegelisahan
menimangnya menjelma lautan.

seandainya ibu tahu
mengiris bawang seperti menghimpun luka,
barangkali di ruang belakang
ia akan berhenti mengiris bawang dan merasa tak kesepian.


2013.




Menjahit Ayah
  : Bu

kau ajari aku menjahit baju
helai demi helai
seperti menginginkan senyum
dari bibirmu yang ranum.

sesekali kau memintaku menjahit kenangan,
seperti menyusun adegan lalu pada sebundel pakaian,
kau ajari aku menjahit sepersatu sobekan
membordilnya dengan kecupan.

kemarin kau gemar menjahit luka.
beberapa lubang di setiap pakaian,
kau jahit jadi kebahagiaan.

kini, di hadapan tubuhku
kau ajari aku menjahit masa lalu,
menutupnya dengan kain baru,
seperti menjahit ingatan lama, agar tak rusak di kepala.

kau kembali menjahit pakaian
helai demi helai
kembali menginginkan kebahagiaan
dari sakit yang ditinggalkan.


2013.




Mengunjungi Makam
  : Bah

kau tak pernah tahu
berapa lama tubuhmu rebah dalam pusara
seperti kereta kencana tanpa stasiun,
rohmu berkelindan menyusuri belukar awan.

sudah kali kedua aku menitipkan rindu pada gundukan tanahmu,
bungabunga basah adalah doa yang mengaliri denyutmu
mendegupkan nadi yang telah mati
menjawab ketukan pintu yang ganjil di malam hari.

sesekali wajahmu menggelayut di kerlip mataku,
sesudut senyum berbinar pada kelopak kamboja yang memayungimu,
hujan turun serempak menebus dosadosamu.

Bah, betapa Tuhan sudah rindu memelukmu,
sebelum skenario itu hilang
kau lebih dulu menyusun adegan perpisahan
pada sepotong malam yang melarutkan nyeri dadamu. 

kita tahu, nasib tak bisa dipesan
lalu seseorang datang mengantarkannya
serupa makanan cepat saji yang ada di korankoran.

sebab nasib lebih dulu tiba,
sebelum kenangan subur di mana-mana.


2013.



  
Penulis :
Intan Pertiwi, lahir di Cirebon 12 September 1992. Beberapa puisinya tergabung dalam antologi bersama. Saat ini aktif bergiat dalam Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI Bandung. 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar