Mengiris Bawang
Ibu
pernah mengajari aku mengiris bawang
lapis
demi lapis
membuatku
basah dan kesepian.
Ibu
pernah berkata,
“bawang
bisa menyembunyikan kesakitan,
tanpa
perlu memaksanya hilang.”
seandainya
ibu tahu,
sepi
tak pernah bisa diiris apalagi dibagi.
seperti
bawang-bawang itu, gemar melucuti mataku.
akhir-akhir
ini aku gemar mengiris bawang
setiap
irisan adalah hujan yang berkeroyokan
menggugurkan
kegelisahan
menimangnya
menjelma lautan.
seandainya
ibu tahu
mengiris
bawang seperti menghimpun luka,
barangkali
di ruang belakang
ia
akan berhenti mengiris bawang dan merasa tak kesepian.
2013.
Menjahit Ayah
  : Bu
kau
ajari aku menjahit baju
helai demi helai
seperti menginginkan senyum
dari bibirmu yang ranum.
sesekali kau memintaku menjahit kenangan,
helai demi helai
seperti menginginkan senyum
dari bibirmu yang ranum.
sesekali kau memintaku menjahit kenangan,
seperti
menyusun adegan lalu pada sebundel pakaian,
kau ajari aku menjahit sepersatu sobekan
membordilnya dengan kecupan.
kemarin kau gemar menjahit luka.
beberapa lubang di setiap pakaian,
kau ajari aku menjahit sepersatu sobekan
membordilnya dengan kecupan.
kemarin kau gemar menjahit luka.
beberapa lubang di setiap pakaian,
kau
jahit jadi kebahagiaan.
kini, di hadapan tubuhku
kini, di hadapan tubuhku
kau
ajari aku menjahit masa lalu, 
menutupnya
dengan kain baru, 
seperti
menjahit ingatan lama, agar tak rusak di kepala.
kau kembali menjahit pakaian
helai demi helai
kembali menginginkan kebahagiaan
dari sakit yang ditinggalkan.
kau kembali menjahit pakaian
helai demi helai
kembali menginginkan kebahagiaan
dari sakit yang ditinggalkan.
2013.
Mengunjungi
Makam
  : Bah
kau tak pernah tahu
berapa lama tubuhmu rebah dalam pusara
seperti kereta kencana tanpa stasiun,
rohmu berkelindan menyusuri belukar awan.
sudah kali kedua aku menitipkan rindu pada gundukan tanahmu,
bungabunga basah adalah doa yang mengaliri denyutmu
mendegupkan nadi yang telah mati
menjawab ketukan pintu yang ganjil di malam hari.
sesekali wajahmu menggelayut di kerlip mataku,
sesudut senyum berbinar pada kelopak kamboja yang memayungimu,
hujan turun serempak menebus dosadosamu.
Bah, betapa Tuhan sudah rindu memelukmu,
sebelum skenario itu hilang
kau lebih dulu menyusun adegan perpisahan
pada sepotong malam yang melarutkan nyeri dadamu.
kau tak pernah tahu
berapa lama tubuhmu rebah dalam pusara
seperti kereta kencana tanpa stasiun,
rohmu berkelindan menyusuri belukar awan.
sudah kali kedua aku menitipkan rindu pada gundukan tanahmu,
bungabunga basah adalah doa yang mengaliri denyutmu
mendegupkan nadi yang telah mati
menjawab ketukan pintu yang ganjil di malam hari.
sesekali wajahmu menggelayut di kerlip mataku,
sesudut senyum berbinar pada kelopak kamboja yang memayungimu,
hujan turun serempak menebus dosadosamu.
Bah, betapa Tuhan sudah rindu memelukmu,
sebelum skenario itu hilang
kau lebih dulu menyusun adegan perpisahan
pada sepotong malam yang melarutkan nyeri dadamu.
kita
tahu, nasib tak bisa dipesan
lalu
seseorang datang mengantarkannya
serupa
makanan cepat saji yang ada di korankoran.
sebab
nasib lebih dulu tiba,
sebelum
kenangan subur di mana-mana.
2013.
Penulis :
Intan
Pertiwi, lahir di Cirebon 12 September 1992. Beberapa puisinya tergabung dalam
antologi bersama. Saat ini aktif bergiat dalam Arena Studi Apresiasi Sastra
(ASAS) UPI Bandung. 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar