Kamis, 24 April 2014

KRISIS LAGU ANAK



oleh Intan Pertiwi

Seiring perkembangan zaman, berkembang pula pola pikir dan tingkah laku manusia di muka bumi. Sama halnya dengan anak-anak. Dengan notabene pikiran yang polos dan serba ikut-ikutan, akhirnya anak-anaklah yang menjadi korban terbesar bagi perkembangan zaman di dunia. Bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, perilaku anak yang mulai mendewasakan diri sebelum waktunya, yang akhirnya berimbas pada hilangnya masa kanak-kanak mereka.
Berbicara ihwal masa kanak-kanak. Dulu, sebelum segerombolan lagu luar negeri beserta boyband dan girlbandnya menghiasi dunia permusikan Indonesia, lagu anak-anak semisal abang tukang baso, naik-naik ke puncak gunung, dan balonku, masih sering berkumandang di mana-mana termasuk di radio maupun televisi yang menjadi media elektronik terfavorit di negeri ini setelah telepon genggam. Berkembangnya teknologi dan fesyen di dunia menjadikan anak-anak kehilangan jati dirinya sejak kecil. Pada tahun 2000-an masa kanak-kanak di dunia sangat ditunjang oleh hiburan-hiburan seni dengan anak-anak sebagai subjeknya. Kita bisa mengingat beberapa tahun ke belakang, banyak artis cilik yang mengembangkan bakatnya di bidang tarik suara dan ekting sesuai porsi usia mereka. Nama-nama seperti Sherina, Marsyanda, Tasya, Tina Toon, Bondan, Derby, dan lain sebagainya pasti tak asing lagi bagi kita yang hidup di era itu. Kini mereka semua sudah menginjak usia dewasa dan pantaslah jika mendapat peran atau lagu sesuai porsi usia mereka saat ini.
Jika melihat tiga tahun ke belakang, ketika k-pop sedang marak-maraknya digencarkan dalam siaran televisi Indonesia, nama-nama pengganti artis-artis cilik di atas pun bermunculan. Herannya, mereka yang sekarang menjad artis cilik tidak berada pada porsi usia mereka, baik itu mengenai pemilihan lagu atau pun perannya dalam ftv-ftv. Mereka justru dituntut mengikuti zaman yang nyatanya cenderung 'ke korea-koreaan'.
Anak-anak di zaman sekarang sulit menerima lagu yang layak untuk usia mereka. Terbukti dengan adanya sinetron-sinetron di tv yang menayangkan kisah cinta anak SMP dengan backsound lagu orang dewasa, seolah menjadi hal yang dibanggakan dan digemari kebanyakan anak-anak negeri kita. Jauh menilik permasalahan tersebut, kita akan dihadapkan pada hilangnya identitas usia kanak-kanak. Jika lagu anak-anak sudah jarang ditemukan di negara kita ini atau bahkan hilang, artinya bangsa kita tengah dilanda krisis, tepatnya krisis lagu anak.
Krisis dalam KBBI merupakan keadaan yang berbahaya, menderita sakit (parah sekali), keadaan yang genting, suram dan menjadi situasi berbahaya. Jika dihadapkan pada eksistensi lagu anak saat ini, maka layak kita sebut sebagai masa krisis, di mana eksistensi lagu anak mulai tergeserkan oleh adanya lagu-lagu orang dewasa yang cenderung memiliki banyak diksi cinta kepada lawan jenis dan dinyanyikan oleh mereka yang usianya masih 'seumur jagung'. Sekaitan dengan itu, muncullah istilah “dewasa sebelum waktunya”. Istilah tersebut secara gamblang merujuk pada anak-anak yang meninggalkan porsi usianya.
Kehilangan identitas tampaknya sudah terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia, baik kampung maupun kota. Hampir seluruh anak-anak sudah terjajah pikiran dan gaya hidupnya oleh pengaruh budaya asing. K-pop merupakan budaya orang korea yang merambah ke Indonesia melalui boyband dan girlband di dunia permusikan. Inilah yang menjadi sumbu terjadinya krisis lagu anak di Indonesia. Lantas, siapakah yang seharusnya melestarikan eksistensi lagu anak-anak demi tercapainya masa kanak-kanak yang sesungguhnya? Siapa lagi kalau bukan kita sebagai warga Indonesia.
Salah satu cara agar lagu anak-anak tetap eksis di Indonesia adalah dengan menghadirkannya pada ajang lomba menyanyi yang mulai bermunculan di televisi untuk usia anak-anak. Dari sanalah, kita bisa mengenal dan mengingat kembali jenis lagu yang pantas dan layak untuk usia anak-anak. Dengan begitu, anak-anak akan sadar usia dan tetap melestarikan lagu anak-anak sesuai masanya. []


*tulisan ini dibuat pada tahun 2013 lalu ketika mengontrak mata kuliah penulisan opini dan editorial di kelas jurnalistik, bersamaan dengan esai yang dimuat Harian Inilah Koran berjudul "Perempuan dan Objek (Karya) Sastra". Tulisan ini sekadar memenuhi tugas akhir semester. Semoga bermanfaat dan tidak disalahgunakan! ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar