Tahun 2014 adalah tahun di mana
saya sering melakukan perjalanan jauh. Berpetualang dari satu daerah ke daerah
lain, membawa seonggok daging yang bersarang dalam tubuh saya. Kelak, daging
ini akan tumbuh dewasa dan menjadi sulung yang tangguh. Seperti yang pernah
diramalkan Tuhan. Keluarga saya menggelar resepsi pernikahan tanggal 29 maret
2014. Di mana hubungan kami diresmikan di mata seluruh orang. Kali ini bukan
pertemuan dan perayaan dua keluarga lagi, tapi seluruh orang yang merasa
berkepentingan dan peduli terhadap kami.
Bulan maret sampai april,
selepas ujian proposal, saya dan suami mengalami banyak perjalanan. Mulai dari
Bandung-Cicalengka, Bandung-Cirebon, sampai Bandung-Karawang. Terlepas dari beberapa
perjalanan ASAS untuk mengisi acara, yang cukup memakan tenaga dan waktu rehat
kami. Selama beberapa kali hal tersebut terulang, laiknya sepasang kekasih yang
berpetualang di tengah rentetan kesibukan. Well, kami tetap melakoninya dengan
santai. 
Menikah muda? why not?
Tapi siapa sangka dulu saya
pernah mengusung prinsip untuk tidak berpacaran sebelum selesai kuliah? Prinsip
itu saya usung matang-matang ketika duduk di bangku menengah pertama. Hingga
beberapa lawan jenis yang menggemari saya harus menunggu kalau-kalau suatu saat
saya akan menebas prinsip itu. Dan.. doa mereka akhirnya terkabul. Prinsip itu
kandas begitu saya memasuki sekolah menengah akhir. Ckck.
Dulu saya tergolong akademisi
sekolah yang anti pacaran. Makanya sejak SD sampai SMP saya banyak sekali
memiliki teman laki-laki dalam ikatan "kakak angkat - adik angkat"
yang notabenenya mereka pernah menembak saya.
What's wrong? Sudah menjadi hal yang lumrah ungkapan kakak-beradik
itu lahir di kehidupan kita. Berawal dari rasa ingin memiliki yang tak sampai,
hingga akhirnya hanya berlabuh menjadi ikatan persaudaraan yang direkayasa.
Itulah dunia kita.
Kembali ke obrolan awal, saya
menetapkan untuk berani mengambil resiko menikah muda. 
Why? “Untuk menghalalkan segalanya”
Saya dan suami akan terbebani
masalah biaya hidup, modal, dan nafkah lahir maupun batin. Barangkali kelak
keluarga kecil ini akan bertambah besar dengan kehadiran beberapa putra dan
putri. Aamiin. Tapi kami sudah melakoninya dengan nyaman. Beban tetap ada, dan
selalu kami pikirkan untuk mengatasinya selagi kami mampu. Semoga selamanya
ikatan ini tidak menjadi beban yang terus dikhawatirkan orang-orang karena konon
kami masih tergolong muda dan belum berpenghasilan tetap. Tapi, “setiap manusia
memiliki rezekinya masing-masing”, ucap suami saya yang selalu bersemangat dan
produktif.
Kami mempunyai sebuah ruang
kecil yang padat. Sebuah ruang yang dulunya hanya ditinggali seorang lelaki,
sekarang dipadati dengan kehadiran si perempuan. Ruangan ini tidak kecil, tapi
tak luas juga, hanya berukuran sekitar 5x4 meter. Kami tetap menempatinya.
Menata barang-barang dua penghuni yang beragam, juga perpustakaan pribadi
masing-masing yang dirasa banyak memakan sudut dan pojokan.
Memindahkan seluruh barang
"seserahan" keluarga mempelai laki-laki ke mempelai perempuan dari
karawang ke cirebon, kemudian dari cirebon dibawa lagi ke bandung, rasanya
seperti memindahkan rumah beserta isinya. Well,
kami tetap strong kok melaluinya. Ya, tubuh kami belum renta, jiwa kami
masih muda dan berkobar. Dan kami tergolong manusia-manusia yang pernah
berkecimpung di bagian logistik sebuah organisasi kampus. Jadi hal semacam ini
sudah sering kami lakukan sebelumnya. 
***
Jumat (28/3) pukul 19.00 wib,
keluarga dari karawang tiba di cirebon dengan selamat. Bermaksud untuk bermalam
di cirebon agar ikut membantu mempersiapkan resepsi esok hari. 
Malamnya sekitar pukul 22.00
atau 23.00 wib, rombongan dari Komunitas Malaikat (Ciparay) yakni Kang Ahmad
Faisal Imron (Afi) beserta Teh Lia (istri), ditemani makhluk liar bernama
Chandra (aktor teater sekaligus penyair STSI) datang dan bermalam sejenak
melepas lelah di rumah kami. 
Sabtu (29/3) kami
menyelenggarakan resepsi yang sederhana, seperti hubungan kami yang begitu
sederhana dan dengan sangat sederhana larung dalam ikatan rumah tangga.
Pukul 07.30 wib keluarga kami
dari CD Teater UPI (Jurdiksatrasia 2010) tiba di cirebon. Terdiri dari, Rio
sang supir, Juwita si penyemangat supir, dan selir-selir lainnya seperti Dhika,
Bang Willy Bob, Bang Marsten, Roby Aji, Uki, Latif beserta pasangan, Debi. Ke
sembilan makhluk luar biasa ini datang dengan wajah agak mengantuk karena
menghabiskan  pagi buta mereka dalam perjalanan eksotis yang mungkin
sangat melelahkan. Pasti. Tampak dari kelahapan mereka ketika sampai di rumah
hajat dan langsung disuguhi sarapan bergizi. Hehe.
Pukul 08.00 keluarga suami saya,
dari sumedang, batu jaya, dan buah dua pun tiba. Rombongan itu datang dengan
berbagai macam ekspresi, melihat cucu, keponakan sekaligus sepupu sulung mereka
mengakhiri masa lajangnya dengan makhluk Cirebon yang selama ini hanya mereka kenal
melalui media sosial. (-_-) Kehebohan keluarga ini pun berlanjut dengan sarapan
bersama yang kami siapkan di mushola keluarga saya (samping rumah) yang sejak
tahun lalu dipadati dengan taman bacaan masyarakat (Al-Falah), PAUD, juga Madrasah.
Sekitar pukul 10.00 wib,
keluarga kami dari Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS UPI) pun menyusul. Tak
kalah lelahnya dengan pujangga-pujangga CD Teater, mereka juga datang dengan
perut yang siap diisi berbagai makanan dan selalu tersenyum, berusaha
menyemangati acara kami. Mereka terdiri dari, Bang Juple alias Zulfa, penyair pemanen
kentang - Bang Isal Syahreza, Willy Rasta si pengiring saya ketika
bermusikalisasi, Ketua ASAS yang baru naik - Auf alias Maruf, Fahmi Suck sang
supir tangguh, Rangga Gadoel yang kelak juga akan meminang gadis Cirebon yakni adik
kelas saya di SMP, dan perempuan blesteran Jawa-Batak yang menggeluti sastra
inggris bernama Dinda.
Ba’da Dzuhur, rombongan
berikutnya dari Bandung pun hadir. Adik-adik tingkat kami di kampus yang
tergabung dalam Hima Satrasia, mereka datang mengendarai sepeda motor. Wow… strong sekali kalian, Nak!
Beberapa saat kemudian rombongan
dari Teater Lakon UPI pun tak kalah ambil bagian. Mereka tiba dengan selamat
dan masih dalam kondisi utuh. Tentunya mereka datang dengan ciri khasnya yaitu “ngekting
alias ngaktor, apa-apa serba di-teater-keun.”
Hihi. Kembali, rombongan ini tak kalah lahap dengan Bandung-an lainnya.
Sekitar pukul 14.00  pasangan UKSK datang. Si ketua angkatan 2010,
Kelvin atau sering disapa Mas Owo yang baru saja lengser dari jabatannya
sebagai ketua UKSK, ditemani kekasihnya, perempuan cantik dari kelas linguistik
2010, Ita. Mereka sengaja datang menunggangi sepeda motor dari Bandung. Mereka
tidak hanya datang berdua, beberapa saat kemudian menyusullah aktivis kampus
lainnya yakni Kang Ketus alias Restu Nur Wahyudin dan Manarul Ikhsan si bang asem.
Pantesan pengurus Hima sekarang strong-strong,
wong’ seniornya aja lebih strong.  Singkatnya, mereka menjadi penamat kehadiran tamu-tamu
dari Bandung sore itu.
Malamnya setelah resepsi
berakhir, pukul 00.00 wib, ketika saya dan suami sudah mengarungi alam mimpi,
tiba-tiba terdengar ketukan pintu berulang kali. Ternyata itu adalah kakak
sulung saya, alumni FPOK UPI yang saat ini mengajar di SMAN 26 Bandung dan
menjadi alasan saya untuk pulang ke Cicalengka. Tanpa bermaksud mengganggu
ketenteraman kami yang tengah melepas lelah, ia datang memberitahu bahwa kami
kedatangan tamu dari Bandung – lagi. (hah, jam berapa ini?)
Suami saya pun bergegas keluar
kamar dan menemui tamu tengah malam itu. And
then, tahukah kalian siapa tamu-tamu yang katanya dari Bandung itu? Yap,
ternyata mereka adalah gerombolan kelas Dik.C, sebagian besar adalah teman saya
di kelas Jurnalistik 2010. Mereka tak kalah hebat dengan rombongan sebelumnya. Malah
terkesan lebih strong atau yang
paling strong karena melakukan
perjalanan - konvoi motor - dari siang hari pukul 14.00 wib sampai menyentuh
malam yang lengang pukul 00.00 wib. 
Akhirnya, dengan menu seadanya
tapi masih segar untuk dimakan, mereka pun melahap hidangan yang kami suguhkan.
Setelahnya, mereka rehat sejenak di tengah rumah, membaringkan tubuh mereka di
atas karpet dan tumpukan bantal yang kami siapkan. Lalu, setengah jam kemudian,
mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke rumah salah satu rekan kelas mereka
yang letaknya sekitar setengah jam dari rumah hajat. Wow.
Akhirnya, tamu seumuran kami dari
luar Cirebon pun habis tepat di perpindahan hari sabtu ke minggu malam itu,
terlepas dari silih bergantinya rekan-rekan TK, SD, SMP, SMA, maupun rekan-rekan
masa kecil saya di madrasah dan juga pengajian Al-Falah, yang datang dengan
ucapan serupa “Semoga Sa-Ma-Wa” kemudian mengabadikan beberapa foto bersama kami.
Finally, Terima kasih untuk kalian yang sudah hadir dan peduli pada
acara kami. 
Sebenarnya masih banyak yang
ingin saya tumpahkan di sini. Tapi sekarang saya harus berbenah. Padahal,
cerita berikutnya tentang perjalanan kami (saya dan suami) ketika berpetualang
ke bandung dan karawang pasca resepsi belum saya ulas. Mungkin lain waktu ketika
saya kembali senggang, dan ketika suami saya pulas merehatkan pikirannya setelah
semalaman suntuk berkarya seperti sekarang ini, sesekali ia terbangun hanya
untuk mengingatkan saya yang duduk keasyikan di depan laptop. 
“Jangan kebanyakan duduk sila, Bun.” ucapnya sambil tersenyum, lalu tertidur
lagi.
Baiklah tuan-tuan dan nona-nona,
saya rasa cukup untuk tulisan hari ini. Selebihnya saya hanya mengatakan bahwa
kami bahagia dengan pernikahan kami yang tergolong muda ini. Tidak perlu
khawatir dengan skenario berikutnya dari Tuhan, kami sudah lama berjaga-jaga.
Cukup doa dan dukungan moril dari kalian agar kami bisa menjalani kehidupan ini
dengan lebih baik lagi.
Kebahagian milik kita. Kata tokoh
Rancho dalam film 3 Idiots juga, “all is
well.”
So… just walking on.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar