Kamis, 17 April 2014

Wedding Story


Tahun 2014 adalah tahun di mana saya sering melakukan perjalanan jauh. Berpetualang dari satu daerah ke daerah lain, membawa seonggok daging yang bersarang dalam tubuh saya. Kelak, daging ini akan tumbuh dewasa dan menjadi sulung yang tangguh. Seperti yang pernah diramalkan Tuhan. Keluarga saya menggelar resepsi pernikahan tanggal 29 maret 2014. Di mana hubungan kami diresmikan di mata seluruh orang. Kali ini bukan pertemuan dan perayaan dua keluarga lagi, tapi seluruh orang yang merasa berkepentingan dan peduli terhadap kami.

Bulan maret sampai april, selepas ujian proposal, saya dan suami mengalami banyak perjalanan. Mulai dari Bandung-Cicalengka, Bandung-Cirebon, sampai Bandung-Karawang. Terlepas dari beberapa perjalanan ASAS untuk mengisi acara, yang cukup memakan tenaga dan waktu rehat kami. Selama beberapa kali hal tersebut terulang, laiknya sepasang kekasih yang berpetualang di tengah rentetan kesibukan. Well, kami tetap melakoninya dengan santai. 

Menikah muda? why not?

Tapi siapa sangka dulu saya pernah mengusung prinsip untuk tidak berpacaran sebelum selesai kuliah? Prinsip itu saya usung matang-matang ketika duduk di bangku menengah pertama. Hingga beberapa lawan jenis yang menggemari saya harus menunggu kalau-kalau suatu saat saya akan menebas prinsip itu. Dan.. doa mereka akhirnya terkabul. Prinsip itu kandas begitu saya memasuki sekolah menengah akhir. Ckck.

Dulu saya tergolong akademisi sekolah yang anti pacaran. Makanya sejak SD sampai SMP saya banyak sekali memiliki teman laki-laki dalam ikatan "kakak angkat - adik angkat" yang notabenenya mereka pernah menembak saya.

What's wrong? Sudah menjadi hal yang lumrah ungkapan kakak-beradik itu lahir di kehidupan kita. Berawal dari rasa ingin memiliki yang tak sampai, hingga akhirnya hanya berlabuh menjadi ikatan persaudaraan yang direkayasa. Itulah dunia kita.

Kembali ke obrolan awal, saya menetapkan untuk berani mengambil resiko menikah muda.

Why? “Untuk menghalalkan segalanya”

Saya dan suami akan terbebani masalah biaya hidup, modal, dan nafkah lahir maupun batin. Barangkali kelak keluarga kecil ini akan bertambah besar dengan kehadiran beberapa putra dan putri. Aamiin. Tapi kami sudah melakoninya dengan nyaman. Beban tetap ada, dan selalu kami pikirkan untuk mengatasinya selagi kami mampu. Semoga selamanya ikatan ini tidak menjadi beban yang terus dikhawatirkan orang-orang karena konon kami masih tergolong muda dan belum berpenghasilan tetap. Tapi, “setiap manusia memiliki rezekinya masing-masing”, ucap suami saya yang selalu bersemangat dan produktif.

Kami mempunyai sebuah ruang kecil yang padat. Sebuah ruang yang dulunya hanya ditinggali seorang lelaki, sekarang dipadati dengan kehadiran si perempuan. Ruangan ini tidak kecil, tapi tak luas juga, hanya berukuran sekitar 5x4 meter. Kami tetap menempatinya. Menata barang-barang dua penghuni yang beragam, juga perpustakaan pribadi masing-masing yang dirasa banyak memakan sudut dan pojokan.

Memindahkan seluruh barang "seserahan" keluarga mempelai laki-laki ke mempelai perempuan dari karawang ke cirebon, kemudian dari cirebon dibawa lagi ke bandung, rasanya seperti memindahkan rumah beserta isinya. Well, kami tetap strong kok melaluinya. Ya, tubuh kami belum renta, jiwa kami masih muda dan berkobar. Dan kami tergolong manusia-manusia yang pernah berkecimpung di bagian logistik sebuah organisasi kampus. Jadi hal semacam ini sudah sering kami lakukan sebelumnya.

***

Jumat (28/3) pukul 19.00 wib, keluarga dari karawang tiba di cirebon dengan selamat. Bermaksud untuk bermalam di cirebon agar ikut membantu mempersiapkan resepsi esok hari. 

Malamnya sekitar pukul 22.00 atau 23.00 wib, rombongan dari Komunitas Malaikat (Ciparay) yakni Kang Ahmad Faisal Imron (Afi) beserta Teh Lia (istri), ditemani makhluk liar bernama Chandra (aktor teater sekaligus penyair STSI) datang dan bermalam sejenak melepas lelah di rumah kami.

Sabtu (29/3) kami menyelenggarakan resepsi yang sederhana, seperti hubungan kami yang begitu sederhana dan dengan sangat sederhana larung dalam ikatan rumah tangga.

Pukul 07.30 wib keluarga kami dari CD Teater UPI (Jurdiksatrasia 2010) tiba di cirebon. Terdiri dari, Rio sang supir, Juwita si penyemangat supir, dan selir-selir lainnya seperti Dhika, Bang Willy Bob, Bang Marsten, Roby Aji, Uki, Latif beserta pasangan, Debi. Ke sembilan makhluk luar biasa ini datang dengan wajah agak mengantuk karena menghabiskan  pagi buta mereka dalam perjalanan eksotis yang mungkin sangat melelahkan. Pasti. Tampak dari kelahapan mereka ketika sampai di rumah hajat dan langsung disuguhi sarapan bergizi. Hehe.

Pukul 08.00 keluarga suami saya, dari sumedang, batu jaya, dan buah dua pun tiba. Rombongan itu datang dengan berbagai macam ekspresi, melihat cucu, keponakan sekaligus sepupu sulung mereka mengakhiri masa lajangnya dengan makhluk Cirebon yang selama ini hanya mereka kenal melalui media sosial. (-_-) Kehebohan keluarga ini pun berlanjut dengan sarapan bersama yang kami siapkan di mushola keluarga saya (samping rumah) yang sejak tahun lalu dipadati dengan taman bacaan masyarakat (Al-Falah), PAUD, juga Madrasah.

Sekitar pukul 10.00 wib, keluarga kami dari Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS UPI) pun menyusul. Tak kalah lelahnya dengan pujangga-pujangga CD Teater, mereka juga datang dengan perut yang siap diisi berbagai makanan dan selalu tersenyum, berusaha menyemangati acara kami. Mereka terdiri dari, Bang Juple alias Zulfa, penyair pemanen kentang - Bang Isal Syahreza, Willy Rasta si pengiring saya ketika bermusikalisasi, Ketua ASAS yang baru naik - Auf alias Maruf, Fahmi Suck sang supir tangguh, Rangga Gadoel yang kelak juga akan meminang gadis Cirebon yakni adik kelas saya di SMP, dan perempuan blesteran Jawa-Batak yang menggeluti sastra inggris bernama Dinda.

Ba’da Dzuhur, rombongan berikutnya dari Bandung pun hadir. Adik-adik tingkat kami di kampus yang tergabung dalam Hima Satrasia, mereka datang mengendarai sepeda motor. Wow… strong sekali kalian, Nak!

Beberapa saat kemudian rombongan dari Teater Lakon UPI pun tak kalah ambil bagian. Mereka tiba dengan selamat dan masih dalam kondisi utuh. Tentunya mereka datang dengan ciri khasnya yaitu “ngekting alias ngaktor, apa-apa serba di-teater-keun.” Hihi. Kembali, rombongan ini tak kalah lahap dengan Bandung-an lainnya.

Sekitar pukul 14.00  pasangan UKSK datang. Si ketua angkatan 2010, Kelvin atau sering disapa Mas Owo yang baru saja lengser dari jabatannya sebagai ketua UKSK, ditemani kekasihnya, perempuan cantik dari kelas linguistik 2010, Ita. Mereka sengaja datang menunggangi sepeda motor dari Bandung. Mereka tidak hanya datang berdua, beberapa saat kemudian menyusullah aktivis kampus lainnya yakni Kang Ketus alias Restu Nur Wahyudin dan Manarul Ikhsan si bang asem. Pantesan pengurus Hima sekarang strong-strong, wong’ seniornya aja lebih strong.  Singkatnya, mereka menjadi penamat kehadiran tamu-tamu dari Bandung sore itu.

Malamnya setelah resepsi berakhir, pukul 00.00 wib, ketika saya dan suami sudah mengarungi alam mimpi, tiba-tiba terdengar ketukan pintu berulang kali. Ternyata itu adalah kakak sulung saya, alumni FPOK UPI yang saat ini mengajar di SMAN 26 Bandung dan menjadi alasan saya untuk pulang ke Cicalengka. Tanpa bermaksud mengganggu ketenteraman kami yang tengah melepas lelah, ia datang memberitahu bahwa kami kedatangan tamu dari Bandung – lagi. (hah, jam berapa ini?)

Suami saya pun bergegas keluar kamar dan menemui tamu tengah malam itu. And then, tahukah kalian siapa tamu-tamu yang katanya dari Bandung itu? Yap, ternyata mereka adalah gerombolan kelas Dik.C, sebagian besar adalah teman saya di kelas Jurnalistik 2010. Mereka tak kalah hebat dengan rombongan sebelumnya. Malah terkesan lebih strong atau yang paling strong karena melakukan perjalanan - konvoi motor - dari siang hari pukul 14.00 wib sampai menyentuh malam yang lengang pukul 00.00 wib.

Akhirnya, dengan menu seadanya tapi masih segar untuk dimakan, mereka pun melahap hidangan yang kami suguhkan. Setelahnya, mereka rehat sejenak di tengah rumah, membaringkan tubuh mereka di atas karpet dan tumpukan bantal yang kami siapkan. Lalu, setengah jam kemudian, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke rumah salah satu rekan kelas mereka yang letaknya sekitar setengah jam dari rumah hajat. Wow.

Akhirnya, tamu seumuran kami dari luar Cirebon pun habis tepat di perpindahan hari sabtu ke minggu malam itu, terlepas dari silih bergantinya rekan-rekan TK, SD, SMP, SMA, maupun rekan-rekan masa kecil saya di madrasah dan juga pengajian Al-Falah, yang datang dengan ucapan serupa “Semoga Sa-Ma-Wa” kemudian mengabadikan beberapa foto bersama kami.

Finally, Terima kasih untuk kalian yang sudah hadir dan peduli pada acara kami.

Sebenarnya masih banyak yang ingin saya tumpahkan di sini. Tapi sekarang saya harus berbenah. Padahal, cerita berikutnya tentang perjalanan kami (saya dan suami) ketika berpetualang ke bandung dan karawang pasca resepsi belum saya ulas. Mungkin lain waktu ketika saya kembali senggang, dan ketika suami saya pulas merehatkan pikirannya setelah semalaman suntuk berkarya seperti sekarang ini, sesekali ia terbangun hanya untuk mengingatkan saya yang duduk keasyikan di depan laptop.

Jangan kebanyakan duduk sila, Bun.” ucapnya sambil tersenyum, lalu tertidur lagi.

Baiklah tuan-tuan dan nona-nona, saya rasa cukup untuk tulisan hari ini. Selebihnya saya hanya mengatakan bahwa kami bahagia dengan pernikahan kami yang tergolong muda ini. Tidak perlu khawatir dengan skenario berikutnya dari Tuhan, kami sudah lama berjaga-jaga. Cukup doa dan dukungan moril dari kalian agar kami bisa menjalani kehidupan ini dengan lebih baik lagi.

Kebahagian milik kita. Kata tokoh Rancho dalam film 3 Idiots juga, “all is well.”
So… just walking on.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar