Sabtu, 08 September 2012

Cerpen or Cerbung? tunggu saja!


PATOS

oleh Intan Pertiwi




Dua tahun yang lalu, senyum itu masih terasa hambar. Sedang percakapan adalah pengantar perkenalan, dan perjumpaan adalah sesuatu yang wajar.

Beranjak ke setahun yang lalu, senyum itu mulai mengikat. Sedang percakapan adalah pengantar kasih sayang, dan perjumpaan adalah pengobat rindu yang menyayat.


Dan kini, senyum ibarat pemandangan langit sore. Sedang percakapan ibarat nyanyian burung yang pulang ke kandang biangnya. Sementara perjumpaan, adalah kecupan malam pada sang senja.


Aku mulai mengemas cerita masa silam ke dalam sebuah kardus bekas mie instan yang telah usang. Kutata di pojokan kamar. Aku juga mengemas buku-buku bacaan yang telah selesai dan bosan untukku baca ke dalam sebuah rak sepatu yang sudah tak berpenghuni lagi. Aku tata semua itu di samping kardus kenangangku. Nampak begitu lengkap mengenai sepenggal memoar kasihku.



Sudah hampir setahun aku menjalin kasih dengan orang yang kusayangi. Mas Arnot. Ia adalah sosok pria yang begitu dewasa dan penasehat ulung. Ia mampu menyadarkan kekanak-kanakanku, juga membenahi pikiran-pikiran yang rancu dalam otakku. Aku begitu kagum dan menyanjunginya. Kadang, temanku Rena berkata bahwa kami semisal pasangan yang sudah menikah. Satu sama lain selalu membutuhkan. Ya, betapa tidak. Setiap usai aku berlatih teater, aku selalu mencari alasan untuk dapat menjumpai Mas Arnot, pergi ke tempatnya, atau sekedar beristirahat sejenak bersamanya sambil menunggu saat latihan teater tiba. Entahlah, aku seperti seorang itik yang selalu butuh induknya ke manapun aku pergi.

Mas Arnot. Ia dua tahun di atasku. Mengambil cabang kuliah yang sama, namun berbeda angkatan. Ia amat gemar membaca dan menulis, sementara aku lebih suka berteater.

Setahun sudah kami menjalin hubungan. Di kalangan teman-teman dekat kami, aku dan mas Arnot sudah terkenal seperti pasangan suami istri. Acapkali kesepian, aku memutuskan untuk ikut bermalam di tempat mas Arnot tinggal. Bahkan hubungan kami pun sudah sesuai dengan anggapan teman-teman kami itu. Entah ada alasan apa, aku berani menyerahkan jiwa ragaku pada mas Arnot seutuhnya. Mengapa aku mesti ragu? Mas Arnot sudah menyerahkan segala waktunya untukku. Ia sudah menyusun rencana ke depan untuk menikahiku dan kamipun sudah banyak berangan-angan ketika kami memiliki banyak anak kelak.

Nanti kalau sudah menikah, kamu harus ikut Mas ya. Kita bangun rumah yang sederhana saja, tak usah kaya, yang penting berkecukupan untuk makan sehari-hari. Mas punya saudara seorang pemilik kampus ternama di sana, nanti kamu ajukan diri untuk melamar pekerjaan di sana. Mas juga ingin melanjutkan S2 supaya bisa jadi dosen di kampus itu.” perkataan tersebut selalu kusimpan dalam memoar otakku, berharap kelak semua itu akan terjadi sesuai rencana. Ya, itulah ucapan yang meyakinkan hatiku untuk tetap menjaga hati mas Arnot hingga kelak ia akan melamarku di hadapan ayah dan ibu.

Seandainya aku mengenal mas Arnot sejak awal aku masuk kuliah, mungkin itu akan lebih mengasyikkan dan menambah minat bacaanku sejak awal. Tapi tak apa, setahun yang lalupun adalah waktu yang sangat berharga bagi kami. Mas Arnot sangat mencintaiku, begitupun aku kepadanya.

Hubungan kami begitu baik, hingga suatu pagi turunlah kerikil-kerikil tajam di tengah laju kasih kami. Kerikil-kerikil itu tidak hanya menyandung langkah kaki kami, mereka juga membuat jari dan kuku-kuku kami terluka hingga berdarah. Ya, mereka melumat habis langkah kami dan menghapuskan sepenggal jejak yang telah kami buat setahun ke belakang di atas aspal.

Grrr.. grr.. grr..

pukul lima nol nol, tepatnya senin pagi, ada sebuah pesan yang masuk ke handphone-ku. Entah dari siapa, tapi suara getarannya mengagetkanku yang baru saja selesai sembahyang. Kubuka pesan itu, dari sebuah nomor yang asing bagiku.

butterfly in my stomach.”

Aku kaget karena tiba-tiba nomor misterius itu mengirimiku pesan yang demikian adanya. Aku membalas pesan itu, berusaha mencari tahu siapa pemilik nomor misterius itu. Tapi sialnya pulsaku habis, dan pesannya gagal kubalas. Akhirnya mau tidak mau, kuacuhkan saja pesan itu.

Pukul enam nol nol sampai lagi satu pesan ke dalam hp-ku.

minta nomor Kak Arnot, penting!

Aku semakin bingung dan penasaran dengan nomor asing itu. Tapi karena hp-ku sedang tak berpulsa, maka lagi-lagi tak kubalas pesan itu dan mengacuhkannya hingga aku akan ingat sendiri untuk membalasnya nanti ketika sudah mengisi pulsa.
Entah dari siapa pesan itu dikirim, tapi aku amat gagap untuk menerka-nerka siapa pemilik nomor itu. Akhirnya pagi itupun berlalu dengan sebuah nomor misterius beserta pesan anehnya yang kuacuhkan dalam inbox hp-ku.

Siangnya pukul sepuluh nol nol, aku ke kampus untuk mengecek nilai UAS karena dua minggu yang lalu kampusku baru saja mengadakan ujian akhir semester. Sampai di kampus aku  langsung menuju papan pengumuman di depan jurusanku dan di sana kudapati nilai-nilai yang sangat memuaskan. Aku berasal dari mahasiswa yang mendapat bantuan dana pendidikan lewat jalur beasiswa dari pemerintah dan Depdiknas, karena itu ketika ujian tiba aku berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang terbaik agar beasiswaku bisa tetap mengalir dan tidak diberhentikan karena nilai yang buruk. Aku menghela nafas kelegaan untuk hasil nilai semester itu. Tiba-tiba dari belakang kediamanku berdiri, aku langsung dikagetkan dengan sentuhan tangan seseorang di pundakku. Sontak wajahku berpaling dari papan nilai, dan..

“Mas Arnot..” aku sumringah lalu mencium telapak tangan kanannya, bak seorang istri yang berbakti pada suami.

Aku bahagia bisa menjumpainya hari itu. Entahlah, rasanya aku ingin banyak berbagi cerita dengan mas Arnot. Betapa tidak, semenjak jumat sore yang lalu hingga hari minggu ia pergi meninggalkanku untuk menghadiri reuni SMA-nya di luar kota. Aku cukup kesepian selama tiga malam itu. Ya, karena memang selayaknya, di mana ada Mas Arnot maka di situlah akupun hadir. Hanya saja untuk urusan yang satu ini, aku tak sempat ikut bersamanya lantaran aku tak mau mengganggu temu kangennya bersama kawan-kawan SMA-nya itu.

“bagaimana nilainya? Sudah keluar semua?” tanya Mas Arnot.
“alhamdulillah mas, semua mata kuliah lulus dengan nilai memuaskan.” Aku mengangkat jempolku tanda keberhasilan. Mas Arnot pun tersenyum dan mengajakku ke taman kampus untuk berbagi cerita dan memanen rindu yang sudah melumut. Padahal baru tiga hari kami tak bersua, tapi rasanya kami begitu rindu satu sama lain.

Pernah suatu ketika Rena beranggapan bahwa aku harus berhati-hati atas kebiasaanku bertemu setiap hari dengan Mas Arnot, karena ia berpikir jika suatu saat nanti bisa saja aku akan bosan dan jenuh bertatap muka terus menerus dengan Mas Arnot. Tapi bagiku, kekhawatiran sahabatku itu memanglah wajar.

“jangankan engkau Re, aku dan Mas Arnot pun selalu waspada terhadap rasa jenuh itu yang bisa saja datang secara tiba-tiba.” Ucapku.

Ya, itulah yang selalu Rena ingatkan padaku. Aku mengerti maksudnya, tak lain tak bukan, karena dia ingin hubunganku dengan Mas Arnot bisa langgeng selamanya.

Di taman kampus, Mas Arnot memulai cerita dengan mendeskripsikan perjalanannya menuju Surabaya, tempat kelahirannya. Ia begitu senang ketika menceritakan obrolannya yang konyol dengan teman-teman SMA-nya di sana. Beberapa saat setelah itu, aku mulai penasaran dengan sebuah pertanyaan yang sudah kusiapkan sebelumnya. Aku adalah sosok wanita pecemburu, mungkin karena aku terlalu takut kehilangan sosok Mas Arnot dalam hidupku. Ini bukan soal waktu yang menjerumuskanku ke dalam pelukan Mas Arnot, tapi karena aku percaya pada prinsip hidupnya yang konsisten itu. Namun jika ada yang bertanya mengapa aku bisa jatuh cinta pada Mas Arnot, maka aku akan langsung menjelma cermin yang bisu dan tidak berucap sedikitpun, karena sampai saat ini aku tak tahu mengapa aku bisa jatuh hati pada Mas Arnot dan mempertahankan hubungan kami selama itu.

“Di sana Mas bertemu dengan Laras tidak?” tanyaku menyela ceritanya. Mas Arnot mulai mengerutkan dahi. Laras adalah mantan kekasih Mas Arnot ketika SMA. Aku agak cemburu padanya. Aku mengenal nama Laras melalui Mas Arnot sendiri, karena ketika pertama berhubungan dengannya, aku langsung menggali informasi mengenai semua mantan kekasihnya.

“Tidak.” Jawabnya singkat. Aku yakin Mas Arnot menyimpan sebuah cerita tentangnya. Aku yakin, tapi ia begitu mudah mengatakan tidak. Aku belum memercayainya dan terus bertanya.

“Yakin? Padahalkan itu reuni besar, masa iya Laras tidak datang Mas?” aku mulai mendesak.

“Sudah bukan menjadi urusanku lagi, Sayang.” Mas Arnot menggenggam erat tanganku dan tersenyum penuh keyakinan seolah berusaha menunjukan bahwa ia telah berkata sejujurnya. Aku mengunci bibirku dan menganggukan kepala tanda percaya.

Akhirnya percakapan itupun berakhir dengan baik, tak ada kecurigaan lagi dalam benakku. Kamipun memutuskan untuk pulang dan melepas rindu di tempat tinggal Mas Arnot. Sudah tiba saatnya untuk memanen rindu bersama Mas Arnot.

Tiga hari kemudian, aku dikejutkan dengan sebuah retweet dari seorang wanita yang kukenal, Laras, mantan kekasih Mas Arnot. Melalui twitter ia berusaha menyapaku, dan tertulislah di sana :

I’m not Fine. Please read my blog - Butterfly in my stomach RT @fridafey: Hy Van, long time no see. Not to bad, what about U? RT @larasvanya: hy @fridafey how’re U?”

Kata-kata itu? ingatanku kembali ke beberapa hari yang lalu. Sebuah pesan dari nomor misterius yang juga mengirimiku kalimat seperti itu. “butterfly in my stomach” dan dilanjut dengan meminta nomor Mas Arnot. Ya, aku ingat. Aku masih menyimpan pesan itu di inbox. Tanpa pikir panjang, aku buka kembali inbox handphone-ku dan kudapati kalimat yang serupa sesuai dengan retweet dari Laras. Sontak aku langsung berkesimpulan bahwa pemilik nomor misterius itu adalah Laras. Ya, Laras! Seorang mantan kekasih Mas Arnot yang awalnya tidak terlalu kucemburui, namun kini ia menjelma musuh bagiku, menjelma parasit bagi ketenangan hubunganku dengan Mas Arnot.

Sejurus waktu, tersulut seonggok api di batinku. Ya, jiwaku seolah terpanggang oleh api yang berkobar itu. Cemburu? Mungkin, kini ia benar-benar menjajah jiwaku seperti orang yang sedang kerasukan setan, aku tak dapat kendalikan emosi dan terkaan-terkaan pahitku tentang mereka, Mas Arnot dan Laras.

“apa yang Laras inginkan dengan meminta nomor Mas Arnot? Apakah ada yang mereka sembunyikan? Apa mungkin mereka bertemu saat reunian SMA itu berlangsung, lalu apa yang terjadi setelah itu? Apa, apa, apa?”

Puluhan pertanyaan bercabang di kepalaku. Aku tak ingin merasakan cemburu yang berlebihan atau terkaan pahit yang bisa meruntuhkan hatiku, namun kenyataan bahwa Laras muncul dalam hubungan kami itu sangatlah kubenci. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi.

Malam itu, aku langsung membuka laptop dan menuju situs blog milik Laras. Sungguh menyakitkan, aku menemukan seberkas jejak bahwa mereka telah bertemu di reunian SMA itu. Ya, Laras yang juga gemar menulis seperti Mas Arnot, ia menuangkan peristiwa reunian itu ke dalam sebuah cerita hangat tentang pertemuannya dengan seorang lelaki masa lampaunya. Aku yakin benar, lelaki yang ada dalam cerita itu adalah Mas Arnot – lelakiku. Di sana terpampang jelas tentang pertemuan singkat mereka. Bahkan dengan mudah aku bisa menebak siapa tokoh nyata dalam cerita tersebut. Ya, tokoh perempuan adalah Laras, dan tokoh lelaki itu adalah Mas Arnot. Betapa tidak, Laras begitu detail menjelaskan tentang ciri-ciri fisik Mas Arnot.

Rasanya mual ketika aku melihat wajahnya lagi. Rambut gondrongnya itu kini telah dibabat habis. Entahlah siapa wanita yang berhasil membujuknya untuk memangkas rambut gondrongnya dulu. Tapi seolah ada yang ingin aku muntahkan dari dalam perut, aku mual berpapasan dengannya, seperti ada kupu-kupu yang menggerayangi isi perutku lalu ingin memuntahkan sesuatu di hadapannya.

“Apa maksud dari tulisan itu? kupu-kupu dalam perutnya? Apa yang dia maksudkan?” aku mulai mengira-ngira. Pikiranku mulai meracau tegang. Keringat dingin membasahi tubuhku. Mata ini tak bisa terpejam padahal waktu sudah menunjukkan suasana pagi. Aku tidak mengantuk karena pikiran pahit mulai melumat habis otakku. Aku memiliki anggapan bahwa kupu-kupu yang ia maksud dalam perutnya itu adalah.. adalah sesuatu yang telah terjadi pada mereka! TIDAK! Aku takut, aku lemah, tubuhku layu dalam sekejap. Aku lemas tanpa energi sedikitpun bagai bunga-bunga di malam hari. Kucoba tenangkan diri, mataku tertuju pada jam dinding yang bertengger di kamar kost-ku. Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Akhirnya kucoba menghela nafas pelan-pelan dan memejamkan mata secara perlahan agar pikiran buruk itu tidak berlarian terus menerus di otakku.

Esoknya, minggu pagi. Pukul enam nol nol aku sudah bangun dan berkemas menuju tempat kost Mas Arnot. Aku yang sudah bangun sejak pukul lima pagi, juga menyiapkan sarapan yang kusimpan dalam kotak makan. Aku memasak sendiri untuk disantap bersama dengan Mas Arnot di tempatnya. Ya, niatku telah matang. Aku akan menemui Mas Arnot pagi itu. Tak lain adalah untuk melumpuhkan pikiran burukku bahwa anggapanku itu memang salah dan tak pernah terjadi apa-apa pada Mas Arnot dan Laras.
Sepanjang perjalanan menuju tempat Mas Arnot, hatiku merasa tak tenang. Aku gelisah, dan tubuhku hampiir layu. Namun kucoba kuatkan langkah hingga sampai di kediamannya.

“Tok, tok, tok, tok.”
“assalamuallaikum Mas” ucapku menyapanya yang terlihat baru bangun tidur itu.
“waalaikumsalam. Sayang? Kok tumben datang ke sini tanpa kasih kabar lebih dulu?” Mas Arnot mengerutkan dahi.
“iya, surprise saja Mas.” Tangkisku singkat.

Kami pun duduk di atas kasur kecil yang ada di kosan Mas Arnot. Aku mengeluarkan sarapan ke atas meja yang terletak tepat di samping kanan kasur itu. Mas Arnot tersenyum dan memelukku erat. Aku hanya membalas senyumnya lirih. Pagi itu, aku tak langsung menyulut api pada persuaan kami, karena aku pikir itu masih terlalu pagi untuk dibicarakan. Akhirnya sambil menyantap sarapan, aku mencoba untuk melarikan obrolanku pada perjalanan Mas Arnot menuju tempat reunian SMA-nya. Aku berharap perlahan semua itu akan terbongkar. Aku memutar-mutar pokok pembicaraan terlebih dahulu sebelum menuju titik permasalahan. Mas Arnot, lelaki yang selalu jujur menurutku itu pun mengikuti obrolan yang aku suguhkan. Hingga sarapan kamipun selesai, dan aku mulai memberanikan diri untuk bertanya.



*****

-bersambung-

(masih memutar-mutar memoar di otak untuk meneruskannya atau justru mem-blacklist cerita ini dari blog. Tunggu saja.. )

nb :: maaf jika ada kesamaan nama, karakteristik tokoh, atau hal lainnya yang berhubungan dengan anda,. cerita ini dibuat hanya untuk kepuasan hati semata, nothing else. -hiburan semata- yeah :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar