Setahun sudah kami menjalin hubungan.
Di kalangan teman-teman dekat kami, aku dan mas Arnot sudah terkenal seperti
pasangan suami istri. Acapkali kesepian, aku memutuskan untuk ikut bermalam di
tempat mas Arnot tinggal. Bahkan hubungan kami pun sudah sesuai dengan anggapan
teman-teman kami itu. Entah ada alasan apa, aku berani menyerahkan jiwa ragaku
pada mas Arnot seutuhnya. Mengapa aku mesti ragu? Mas Arnot sudah menyerahkan
segala waktunya untukku. Ia sudah menyusun rencana ke depan untuk menikahiku
dan kamipun sudah banyak berangan-angan ketika kami memiliki banyak anak kelak.
“Nanti
kalau sudah menikah, kamu harus ikut Mas ya. Kita bangun rumah yang sederhana
saja, tak usah kaya, yang penting berkecukupan untuk makan sehari-hari. Mas
punya saudara seorang pemilik kampus ternama di sana, nanti kamu ajukan diri
untuk melamar pekerjaan di sana. Mas juga ingin melanjutkan S2 supaya bisa jadi
dosen di kampus itu.” perkataan tersebut selalu kusimpan dalam memoar
otakku, berharap kelak semua itu akan terjadi sesuai rencana. Ya, itulah ucapan
yang meyakinkan hatiku untuk tetap menjaga hati mas Arnot hingga kelak ia akan
melamarku di hadapan ayah dan ibu.
Seandainya aku mengenal mas Arnot
sejak awal aku masuk kuliah, mungkin itu akan lebih mengasyikkan dan menambah
minat bacaanku sejak awal. Tapi tak apa, setahun yang lalupun adalah waktu yang
sangat berharga bagi kami. Mas Arnot sangat mencintaiku, begitupun aku
kepadanya.
Hubungan kami begitu baik, hingga suatu
pagi turunlah kerikil-kerikil tajam di tengah laju kasih kami. Kerikil-kerikil
itu tidak hanya menyandung langkah kaki kami, mereka juga membuat jari dan
kuku-kuku kami terluka hingga berdarah. Ya, mereka melumat habis langkah kami
dan menghapuskan sepenggal jejak yang telah kami buat setahun ke belakang di
atas aspal.
“Grrr..
grr.. grr..”
pukul lima nol nol, tepatnya senin pagi, ada sebuah pesan yang
masuk ke handphone-ku. Entah dari
siapa, tapi suara getarannya mengagetkanku yang baru saja selesai sembahyang.
Kubuka pesan itu, dari sebuah nomor yang asing bagiku.
“butterfly
in my stomach.”
Aku kaget karena tiba-tiba nomor
misterius itu mengirimiku pesan yang demikian adanya. Aku membalas pesan itu, berusaha
mencari tahu siapa pemilik nomor misterius itu. Tapi sialnya pulsaku habis, dan
pesannya gagal kubalas. Akhirnya mau tidak mau, kuacuhkan saja pesan itu. 
Pukul enam nol nol sampai lagi satu
pesan ke dalam hp-ku.
“minta
nomor Kak Arnot, penting!”
Aku semakin bingung dan penasaran
dengan nomor asing itu. Tapi karena hp-ku sedang tak berpulsa, maka lagi-lagi
tak kubalas pesan itu dan mengacuhkannya hingga aku akan ingat sendiri untuk
membalasnya nanti ketika sudah mengisi pulsa.
Entah dari
siapa pesan itu dikirim, tapi aku amat gagap untuk menerka-nerka siapa pemilik
nomor itu. Akhirnya pagi itupun berlalu dengan sebuah nomor misterius beserta
pesan anehnya yang kuacuhkan dalam inbox
hp-ku.
 
Siangnya pukul sepuluh nol nol, aku
ke kampus untuk mengecek nilai UAS karena dua minggu yang lalu kampusku baru
saja mengadakan ujian akhir semester. Sampai di kampus aku  langsung menuju papan pengumuman di depan jurusanku
dan di sana kudapati nilai-nilai yang sangat memuaskan. Aku berasal dari
mahasiswa yang mendapat bantuan dana pendidikan lewat jalur beasiswa dari
pemerintah dan Depdiknas, karena itu ketika ujian tiba aku berusaha semaksimal
mungkin untuk mendapatkan hasil yang terbaik agar beasiswaku bisa tetap
mengalir dan tidak diberhentikan karena nilai yang buruk. Aku menghela nafas
kelegaan untuk hasil nilai semester itu. Tiba-tiba dari belakang kediamanku
berdiri, aku langsung dikagetkan dengan sentuhan tangan seseorang di pundakku.
Sontak wajahku berpaling dari papan nilai, dan..
“Mas Arnot..” aku sumringah lalu
mencium telapak tangan kanannya, bak seorang istri yang berbakti pada suami. 
Aku bahagia bisa menjumpainya hari
itu. Entahlah, rasanya aku ingin banyak berbagi cerita dengan mas Arnot. Betapa
tidak, semenjak jumat sore yang lalu hingga hari minggu ia pergi meninggalkanku
untuk menghadiri reuni SMA-nya di luar kota. Aku cukup kesepian selama tiga
malam itu. Ya, karena memang selayaknya, di mana ada Mas Arnot maka di situlah
akupun hadir. Hanya saja untuk urusan yang satu ini, aku tak sempat ikut
bersamanya lantaran aku tak mau mengganggu temu kangennya bersama kawan-kawan
SMA-nya itu.
“bagaimana nilainya? Sudah keluar semua?”
tanya Mas Arnot.
“alhamdulillah mas, semua mata kuliah
lulus dengan nilai memuaskan.” Aku mengangkat jempolku tanda keberhasilan. Mas Arnot
pun tersenyum dan mengajakku ke taman kampus untuk berbagi cerita dan memanen
rindu yang sudah melumut. Padahal baru tiga hari kami tak bersua, tapi rasanya
kami begitu rindu satu sama lain.
Pernah suatu ketika Rena beranggapan
bahwa aku harus berhati-hati atas kebiasaanku bertemu setiap hari dengan Mas
Arnot, karena ia berpikir jika suatu saat nanti bisa saja aku akan bosan dan
jenuh bertatap muka terus menerus dengan Mas Arnot. Tapi bagiku, kekhawatiran
sahabatku itu memanglah wajar.
“jangankan engkau Re, aku dan Mas
Arnot pun selalu waspada terhadap rasa jenuh itu yang bisa saja datang secara
tiba-tiba.” Ucapku.
Ya, itulah yang selalu Rena ingatkan
padaku. Aku mengerti maksudnya, tak lain tak bukan, karena dia ingin hubunganku
dengan Mas Arnot bisa langgeng selamanya.
Di taman kampus, Mas Arnot memulai
cerita dengan mendeskripsikan perjalanannya menuju Surabaya, tempat
kelahirannya. Ia begitu senang ketika menceritakan obrolannya yang konyol
dengan teman-teman SMA-nya di sana. Beberapa saat setelah itu, aku mulai
penasaran dengan sebuah pertanyaan yang sudah kusiapkan sebelumnya. Aku adalah sosok
wanita pecemburu, mungkin karena aku terlalu takut kehilangan sosok Mas Arnot
dalam hidupku. Ini bukan soal waktu yang menjerumuskanku ke dalam pelukan Mas Arnot,
tapi karena aku percaya pada prinsip hidupnya yang konsisten itu. Namun jika
ada yang bertanya mengapa aku bisa jatuh cinta pada Mas Arnot, maka aku akan
langsung menjelma cermin yang bisu dan tidak berucap sedikitpun, karena sampai
saat ini aku tak tahu mengapa aku bisa jatuh hati pada Mas Arnot dan
mempertahankan hubungan kami selama itu. 
“Di sana Mas bertemu dengan Laras
tidak?” tanyaku menyela ceritanya. Mas Arnot mulai mengerutkan dahi. Laras
adalah mantan kekasih Mas Arnot ketika SMA. Aku agak cemburu padanya. Aku
mengenal nama Laras melalui Mas Arnot sendiri, karena ketika pertama
berhubungan dengannya, aku langsung menggali informasi mengenai semua mantan
kekasihnya.
“Tidak.” Jawabnya singkat. Aku yakin
Mas Arnot menyimpan sebuah cerita tentangnya. Aku yakin, tapi ia begitu mudah
mengatakan tidak. Aku belum memercayainya dan terus bertanya.
“Yakin? Padahalkan itu reuni besar,
masa iya Laras tidak datang Mas?” aku mulai mendesak.
“Sudah bukan menjadi urusanku lagi,
Sayang.” Mas Arnot menggenggam erat tanganku dan tersenyum penuh keyakinan
seolah berusaha menunjukan bahwa ia telah berkata sejujurnya. Aku mengunci
bibirku dan menganggukan kepala tanda percaya.
Akhirnya percakapan
itupun berakhir dengan baik, tak ada kecurigaan lagi dalam benakku. Kamipun
memutuskan untuk pulang dan melepas rindu di tempat tinggal Mas Arnot. Sudah
tiba saatnya untuk memanen rindu bersama Mas Arnot.
 
Tiga hari kemudian, aku dikejutkan
dengan sebuah retweet dari seorang
wanita yang kukenal, Laras, mantan kekasih Mas Arnot. Melalui twitter ia
berusaha menyapaku, dan tertulislah di sana :
“I’m not Fine. Please read my blog - Butterfly
in my stomach RT @fridafey: Hy Van, long time no see. Not to bad, what about U?
RT @larasvanya: hy @fridafey how’re U?”
Kata-kata itu? ingatanku kembali ke
beberapa hari yang lalu. Sebuah pesan dari nomor misterius yang juga
mengirimiku kalimat seperti itu. “butterfly
in my stomach” dan dilanjut dengan meminta nomor Mas Arnot. Ya, aku ingat.
Aku masih menyimpan pesan itu di inbox. Tanpa pikir panjang, aku buka kembali
inbox handphone-ku dan kudapati
kalimat yang serupa sesuai dengan retweet dari Laras. Sontak aku langsung
berkesimpulan bahwa pemilik nomor misterius itu adalah Laras. Ya, Laras!
Seorang mantan kekasih Mas Arnot yang awalnya tidak terlalu kucemburui, namun
kini ia menjelma musuh bagiku, menjelma parasit bagi ketenangan hubunganku
dengan Mas Arnot. 
Sejurus waktu, tersulut seonggok api
di batinku. Ya, jiwaku seolah terpanggang oleh api yang berkobar itu. Cemburu?
Mungkin, kini ia benar-benar menjajah jiwaku seperti orang yang sedang
kerasukan setan, aku tak dapat kendalikan emosi dan terkaan-terkaan pahitku
tentang mereka, Mas Arnot dan Laras.
“apa yang Laras inginkan dengan
meminta nomor Mas Arnot? Apakah ada yang mereka sembunyikan? Apa mungkin mereka
bertemu saat reunian SMA itu berlangsung, lalu apa yang terjadi setelah itu?
Apa, apa, apa?”
Puluhan pertanyaan bercabang di
kepalaku. Aku tak ingin merasakan cemburu yang berlebihan atau terkaan pahit
yang bisa meruntuhkan hatiku, namun kenyataan bahwa Laras muncul dalam hubungan
kami itu sangatlah kubenci. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi.
Malam itu, aku langsung membuka
laptop dan menuju situs blog milik Laras. Sungguh menyakitkan, aku menemukan
seberkas jejak bahwa mereka telah bertemu di reunian SMA itu. Ya, Laras yang
juga gemar menulis seperti Mas Arnot, ia menuangkan peristiwa reunian itu ke
dalam sebuah cerita hangat tentang pertemuannya dengan seorang lelaki masa
lampaunya. Aku yakin benar, lelaki yang ada dalam cerita itu adalah Mas Arnot –
lelakiku. Di sana terpampang jelas tentang pertemuan singkat mereka. Bahkan
dengan mudah aku bisa menebak siapa tokoh nyata dalam cerita tersebut. Ya, tokoh
perempuan adalah Laras, dan tokoh lelaki itu adalah Mas Arnot. Betapa tidak,
Laras begitu detail menjelaskan tentang ciri-ciri fisik Mas Arnot.
Rasanya mual ketika aku melihat wajahnya lagi. Rambut gondrongnya itu
kini telah dibabat habis. Entahlah siapa wanita yang berhasil membujuknya untuk
memangkas rambut gondrongnya dulu. Tapi seolah ada yang ingin aku muntahkan
dari dalam perut, aku mual berpapasan dengannya, seperti ada kupu-kupu yang
menggerayangi isi perutku lalu ingin memuntahkan sesuatu di hadapannya.
“Apa maksud
dari tulisan itu? kupu-kupu dalam perutnya? Apa yang dia maksudkan?” aku mulai
mengira-ngira. Pikiranku mulai meracau tegang. Keringat dingin membasahi
tubuhku. Mata ini tak bisa terpejam padahal waktu sudah menunjukkan suasana pagi.
Aku tidak mengantuk karena pikiran pahit mulai melumat habis otakku. Aku
memiliki anggapan bahwa kupu-kupu yang ia maksud dalam perutnya itu adalah..
adalah sesuatu yang telah terjadi pada mereka! TIDAK! Aku takut, aku lemah,
tubuhku layu dalam sekejap. Aku lemas tanpa energi sedikitpun bagai bunga-bunga
di malam hari. Kucoba tenangkan diri, mataku tertuju pada jam dinding yang
bertengger di kamar kost-ku. Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Akhirnya kucoba
menghela nafas pelan-pelan dan memejamkan mata secara perlahan agar pikiran
buruk itu tidak berlarian terus menerus di otakku.
 
Esoknya, minggu pagi. Pukul enam nol
nol aku sudah bangun dan berkemas menuju tempat kost Mas Arnot. Aku yang sudah
bangun sejak pukul lima pagi, juga menyiapkan sarapan yang kusimpan dalam kotak
makan. Aku memasak sendiri untuk disantap bersama dengan Mas Arnot di
tempatnya. Ya, niatku telah matang. Aku akan menemui Mas Arnot pagi itu. Tak
lain adalah untuk melumpuhkan pikiran burukku bahwa anggapanku itu memang salah
dan tak pernah terjadi apa-apa pada Mas Arnot dan Laras.
Sepanjang perjalanan menuju tempat
Mas Arnot, hatiku merasa tak tenang. Aku gelisah, dan tubuhku hampiir layu.
Namun kucoba kuatkan langkah hingga sampai di kediamannya.
“Tok, tok, tok, tok.” 
“assalamuallaikum Mas” ucapku
menyapanya yang terlihat baru bangun tidur itu.
“waalaikumsalam. Sayang? Kok tumben
datang ke sini tanpa kasih kabar lebih dulu?” Mas Arnot mengerutkan dahi.
“iya, surprise saja Mas.” Tangkisku
singkat.
Kami pun duduk di atas kasur kecil
yang ada di kosan Mas Arnot. Aku mengeluarkan sarapan ke atas meja yang
terletak tepat di samping kanan kasur itu. Mas Arnot tersenyum dan memelukku
erat. Aku hanya membalas senyumnya lirih. Pagi itu, aku tak langsung menyulut
api pada persuaan kami, karena aku pikir itu masih terlalu pagi untuk
dibicarakan. Akhirnya sambil menyantap sarapan, aku mencoba untuk melarikan
obrolanku pada perjalanan Mas Arnot menuju tempat reunian SMA-nya. Aku berharap
perlahan semua itu akan terbongkar. Aku memutar-mutar pokok pembicaraan
terlebih dahulu sebelum menuju titik permasalahan. Mas Arnot, lelaki yang
selalu jujur menurutku itu pun mengikuti obrolan yang aku suguhkan. Hingga
sarapan kamipun selesai, dan aku mulai memberanikan diri untuk bertanya.