Kamis, 13 September 2012

enam angsa mencari cinta

oleh
- Intan Pertiwi -






aku tak pernah menyangka bahwa cinta akan begini jadinya.
serupa kawanan burung yang berpisah mencari mangsa dan bersua lagi pada waktu senja.

aku jatuh cinta, seperti bocah SD yang menemukan cinta monyet-nya.
kali ini aku merasakan itu lagi. sesuatu yang sudah terkubur kian lama dalam jiwa.

"aku mencintaimu, berulang kali dan terulang lagi - kini."


sudah lewat setahun persahabatan dengan lima ekor angsa putih (sebutan karibku) itu terjalin - kelompok bermain dan  belajar di kelas. saat ini kami sudah menduduki semester tiga. persahabatan kami begitu erat karena letak kursi kelas yang selalu menyodorkan ruang sempit, sehingga kami dipertemukan dalam satu jajar kursi acapkali perkuliahan berlangsung. itu di luar dugaan dan rencana kami, tapi mungkin adalah rencana Tuhan yang membiarkan kami duduk berdampingan lagi.

aku dan Nauril seorang wanita cantik yang kutemukan tergeletak (kayak barang, haha - maaf, bukan itu) ketika awal masuk perkuliahan dan mengajakku berbincang juga duduk berdekatan sebagai salam pengawal persahabatan. kami berdua adalah orang tercantik di kelompok ini. kelompok yang menurutku cerminan negara Indonesia. "bhinneka tunggal ika" (berbeda-beda tapi tetap satu jua).

Nauril adalah wanita modis - setelan wanita karir. ya, seorang wanita yang tampak dewasa sebelum waktunya. tapi itulah Nauril yang selalu berpakaian serba satu warna dari ujung kaki hingga kepala. this is her style. - dan kami memakluminya.

empat lainnya adalah lelaki so keren dengan unic style masing-masing.

Satyo, lelaki berperawakan ideal namun tidak terlalu tinggi - bukan pendek pula. (Sedang-lah). ia adalah lelaki pertama yang kuangkat sebagai abangku di kelompok ini. ia biasa mengenakan kemeja rapi lengkap dengan sepatu pantofel bak seorang Lurah, sehingga tak ayal aku menganggapnya seperti kakakku sendiri karena penampilannya yang tampak dewasa itu. namun, ia adalah lelaki tergalau di kelompok ini. kehidupannya seputar cinta, perjalanan, dan rasa sakit. itulah dia. abangku yang juga dicintai oleh sahabatku - Nauril.

kehidupan tak selamanya menjanjikan cinta sejati, begitulah yang dialami oleh sahabatku berikutnya. Yanuar, seorang lelaki berperawakan agak gemuk dengan tinggi badan standar mahasiswa Indonesia (SMI). Ia adalah lelaki kedua yang kutemukan tergopoh-gopoh mencari keadilan. ya, seorang lelaki yang amat mencintai musik dan cinta sejatinya. Yanu adalah seorang pemusik yang cukup handal, selalu berhasil dalam bidang musik yang digelutinya, namun selalu gagal dalam mencari tulang rusuknya. (heeem -,-) *miris

ada kalanya, sesekali kita tidak terlalu monoton atau terpaku dengan tugas-tugas yang diberikan oleh pengajar kita di kelas. ya, sesekali bolehlah kita berbelok ke hiburan yang lebih menarik daripada tugas kuliah. sama seperti Randu. lelaki yang begitu monoton karena hidupnya yang terlalu sesuai jalur. padahal dengan begitu ia takkan mendapatkan pengalaman yang menarik. Randu adalah lelaki yang paling rajin dalam hal belajar, apalagi untuk mengadili tugas-tugas kampus. ia layaknya jam wekker kami - alarmnya berbunyi untuk mengingatkan kami akan tugas-tugas kampus dan mengembalikan kami ke jalan yang benar - lurus.
lelaki religius yang pintar, namun gagal dalam hal cinta. entahlah, Tuhan mempertemukan kami dalam keadaan single - tak bertuan - tak berpenghuni. sehingga dalam otak dan hati kami hanya terpatri nama kelompok "enam ekor angsa gagal dicinta" *lebih miris dari kemirisan pertama yang kusebutkan di awal.

terakhir..

lelaki ini.

siapa dia?

lelaki yang pertama kali membuat degup hati Nauril dan aku menjadi berolahraga acapkali bertemu dan mendapat senyum hangat darinya. 

Adam. 

"perfect"  - menurutku tapi tidak diiyakan oleh Nauril.

heem.. lelaki bernampilan modis, style anak band namun rajin beribadah pada Tuhannya.
waaaah..amazing!

Adam adalah lelaki berikutnya yang berlabuh di kelompok miris ini. entah mengapa ia berani mempertaruhkan ketampanannya dengan bergabung ke kelompok ini. (hahaha)
ia lelaki yang sangat baik , namun wajahnya terlihat cuek dan jutek. kecuali jika kita sudah menyapanya, ia akan balik menyapa dan menjadi orang yang mengasyikkan. ia mencintai musik, sama seperti yang dicintai oleh Yanuar. kehidupannya seputar musik, cinta, dan rasa 'gengsi'.

aku tak pernah menyangka bahwa anggapan pertamaku tentang Adam yang begitu perfect itu ternyata ditangkis oleh rasa gengsinya yang tinggi - menurutku (lagi). 

kegengsian ini muncul bukan karena derajat, harta, kekayaan, atau apapun yang berujung pada pikiran jahat seseorang.
melainkan karena "cinta"

CINTA yang mengembalikanku pada ingatan tentangnya, tentang persahabatan erat kami, tentang rasa gengsi yang muncul karena saling menutup hati.

CINTA yang bermula ketika "janji sahabat" itu disenandungkan dalam liuk gerak kami sehari-hari.

CINTA yang berujung pada keacuhan dalam persahabatan karena telah ditemukan oleh pemiliknya.

Inilah,
sepenggal cinta yang aku suguhkan dalam bentuk persahabatan.
cinta yang takkan pernah mati, karena hanya kami yang mematikannya selain Tuhan.




- bersambung -






Minggu, 09 September 2012

Memutar Ingatan


Seputar kebimbangan saya memilih jurusan - dulu - selepas SMA.


Tes pertama PMDK UPI ---- > Pendidikan Seni Musik
(tes keterampilan pada jalur ini tidaklah mudah. saya harus menempuh beberapa tahap tes yaitu tes main gitar sambil nyanyi, olah vocal, ritme piano, dan tempo tepuk tangan)
komentar dosen-juri :
- "kenapa enggak ikutan Indonesian Idol?"
- "semoga kita bertemu lagi di kelas."
Wowwww amazinggggg :D
Hasil : tidak lolos (-_____-)
(why?) berbanding terbalik sama komentar jurinya. -hufff (pasti UUD - ujung-ujungnya karena duit)


Tes kedua SNMPTN --- > IPC
karena saya berasal dari jurusan IPA yang menunjuk dua pilihan program studi Bahasa, maka saya tergolong kelompok IPC.
pilihan pertama - Pendidikan Fisika - UPI
pilihan kedua - Pendidikan Bahasa Inggris - UNTIRTA
pilihan ketiga - Pendidikan Bahasa Indonesia - UPI
Hasil : tidak tahu.
(saya belum cek hasilnya karena ternyata sebelum pengumuman hasil SNMPTN, saya mendapat kabar bahwa saya lolos nontest PTN lewat jalur Beasiswa di UPI dan resmi masuk Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia)

hahaha, agak simpang siur sih. Bingung, kaget, sedih, tapi ya cukup senenglah, dan perasaan lainnya itu bercampur aduk jadi penyakit katarsis di pikiran dan hati saya.
heeeem...
-yeah..
akhirnya saat ini saya resmi bertengger di jurusan yang menjadi pilihan pertama saya pada jalur beasiswa UPI tersebut... terima kasih :')



Never Late to Learn :-*
- IntanPertiwi -

Sabtu, 08 September 2012

isn't important, Guys

02.30 
layar di depan penglihatanku tak segera enyah dari pandangan. kami bertatap empatmata dari pukul dua puluh satu nol nol, dan kini masih bertatapan hingga mengecup degup jam yang mulai menyarak mimpi. 

"sudah pagi ternyata"
(alarm handphone yang lupa aku ubah sebagai pembangun waktu sahur ketika bulan ramadhan sebulan lalu ternyata berbunyi - membuyarkan imajinasi)

02.55
aku menulis ocehan ini. entah sebagai curhatan semata atau apapun itu.
tapi aku menulisnya karena.. 

-rasa gelisah-.

pukul dua empat puluh tadi aku membuka sebuah situs yang menayangkan cerita atau pengalaman hidup banyak orang. dan tenyata aku menemukan cerita hidup-mu. 
terlepas dari kau adalah seorang penulis amatir ataupun tidak, tapi yang pasti saat ini hubungan kita sedang tak baik. tapi maaf jika aku meneruskan membaca seputar pengalaman yang kau tuliskan di situs tersebut. 

kini aku semakin mengerti tentang orang-orang yang menjadi teman dekatmu itu - (teman seseorang yang spesial dalam hidupku pula). aku mengerti tentang muasal kau bertemu dengannya, dia, dia, dan juga dia. banyak, tapi tak ingin kusebutkan secara terang-terangan seperti yang selalu kau verbalkan dalam situsmu.

cinta, 
datang dari arah manapun, begitu juga dengan kisahmu dan kisahnya.
aku selalu iri denganmu yang memiliki kelebihan dalam hal menulis atau mungkin bacaanmu yang sudah jauh di atasku. 
sementara aku?
aku- seberkas kertas usang yang menanti keajaiban untuk dikecup oleh tinta warna warni dan menjadikannya hiasan termahal dalam sebuah gallery.
tapi tidak- aku tak sepertimu yang dengan mudah bisa mendapatkannya karena kemahiranmu meramu kata pada lembaranmu.
aku masih seorang pemula yang tersiksa, dan belum mampu menyuguhkan buah karya pada orang yang kucinta.

kembali ke pembicaraan awal, bahwa aku menemukan tulisan seputar pengalaman hidupmu.
ya, aku menemukannya. dan di sana tidak ada sama sekali nama orang yang ingin aku 'iyakan'.
yang ada hanya nama beberapa orang yang kurasa tak penting dalam hidupku.
tapi aku sangat menanti tulisan itu.
tulsan yang berisi seputar pengalaman kau dan Dia-orang yang kumaksud.

- ternyata aku tak menemukannya, dan kau sengaja tak menulisnya di sana- entah karena kebencian yang menjadikannya tak penting lagi di pikiranmu, atau karena kau sudah memiliki situs baru untuk menampung tulisanmu tentangnya.-

aku tak tahu bagaimana muasal kau bertemu dengan Dia, padahal di cerita yang kau tulis itu berlatar erat dengan kehidupannya. ya, pengalaman hidup yang sama dan di tempat yang hampir serupa. tapi tak kujumpai sosoknya dalam tulisanmu.

ke mana Dia saat itu?

lantas, bagaimana kalian bertemu dan menjalin hati? padahal tak kutemukan persuaan itu dalam tulisanmu.

tapi mungkin..
hanya kau,
Dia- (orang yang kumaksud),
dan 
DIA-(Tuhan)
yang tahu tentang semua itu.

selamanya ini hanya akan menjadi rahasia kalian,dan aku takkan mendapatkan ruang untuk mengetahuinya.

Impossible.. Yes, I know.

Cerpen or Cerbung? tunggu saja!


PATOS

oleh Intan Pertiwi




Dua tahun yang lalu, senyum itu masih terasa hambar. Sedang percakapan adalah pengantar perkenalan, dan perjumpaan adalah sesuatu yang wajar.

Beranjak ke setahun yang lalu, senyum itu mulai mengikat. Sedang percakapan adalah pengantar kasih sayang, dan perjumpaan adalah pengobat rindu yang menyayat.


Dan kini, senyum ibarat pemandangan langit sore. Sedang percakapan ibarat nyanyian burung yang pulang ke kandang biangnya. Sementara perjumpaan, adalah kecupan malam pada sang senja.


Aku mulai mengemas cerita masa silam ke dalam sebuah kardus bekas mie instan yang telah usang. Kutata di pojokan kamar. Aku juga mengemas buku-buku bacaan yang telah selesai dan bosan untukku baca ke dalam sebuah rak sepatu yang sudah tak berpenghuni lagi. Aku tata semua itu di samping kardus kenangangku. Nampak begitu lengkap mengenai sepenggal memoar kasihku.



Sudah hampir setahun aku menjalin kasih dengan orang yang kusayangi. Mas Arnot. Ia adalah sosok pria yang begitu dewasa dan penasehat ulung. Ia mampu menyadarkan kekanak-kanakanku, juga membenahi pikiran-pikiran yang rancu dalam otakku. Aku begitu kagum dan menyanjunginya. Kadang, temanku Rena berkata bahwa kami semisal pasangan yang sudah menikah. Satu sama lain selalu membutuhkan. Ya, betapa tidak. Setiap usai aku berlatih teater, aku selalu mencari alasan untuk dapat menjumpai Mas Arnot, pergi ke tempatnya, atau sekedar beristirahat sejenak bersamanya sambil menunggu saat latihan teater tiba. Entahlah, aku seperti seorang itik yang selalu butuh induknya ke manapun aku pergi.

Mas Arnot. Ia dua tahun di atasku. Mengambil cabang kuliah yang sama, namun berbeda angkatan. Ia amat gemar membaca dan menulis, sementara aku lebih suka berteater.

Setahun sudah kami menjalin hubungan. Di kalangan teman-teman dekat kami, aku dan mas Arnot sudah terkenal seperti pasangan suami istri. Acapkali kesepian, aku memutuskan untuk ikut bermalam di tempat mas Arnot tinggal. Bahkan hubungan kami pun sudah sesuai dengan anggapan teman-teman kami itu. Entah ada alasan apa, aku berani menyerahkan jiwa ragaku pada mas Arnot seutuhnya. Mengapa aku mesti ragu? Mas Arnot sudah menyerahkan segala waktunya untukku. Ia sudah menyusun rencana ke depan untuk menikahiku dan kamipun sudah banyak berangan-angan ketika kami memiliki banyak anak kelak.

Nanti kalau sudah menikah, kamu harus ikut Mas ya. Kita bangun rumah yang sederhana saja, tak usah kaya, yang penting berkecukupan untuk makan sehari-hari. Mas punya saudara seorang pemilik kampus ternama di sana, nanti kamu ajukan diri untuk melamar pekerjaan di sana. Mas juga ingin melanjutkan S2 supaya bisa jadi dosen di kampus itu.” perkataan tersebut selalu kusimpan dalam memoar otakku, berharap kelak semua itu akan terjadi sesuai rencana. Ya, itulah ucapan yang meyakinkan hatiku untuk tetap menjaga hati mas Arnot hingga kelak ia akan melamarku di hadapan ayah dan ibu.

Seandainya aku mengenal mas Arnot sejak awal aku masuk kuliah, mungkin itu akan lebih mengasyikkan dan menambah minat bacaanku sejak awal. Tapi tak apa, setahun yang lalupun adalah waktu yang sangat berharga bagi kami. Mas Arnot sangat mencintaiku, begitupun aku kepadanya.

Hubungan kami begitu baik, hingga suatu pagi turunlah kerikil-kerikil tajam di tengah laju kasih kami. Kerikil-kerikil itu tidak hanya menyandung langkah kaki kami, mereka juga membuat jari dan kuku-kuku kami terluka hingga berdarah. Ya, mereka melumat habis langkah kami dan menghapuskan sepenggal jejak yang telah kami buat setahun ke belakang di atas aspal.

Grrr.. grr.. grr..

pukul lima nol nol, tepatnya senin pagi, ada sebuah pesan yang masuk ke handphone-ku. Entah dari siapa, tapi suara getarannya mengagetkanku yang baru saja selesai sembahyang. Kubuka pesan itu, dari sebuah nomor yang asing bagiku.

butterfly in my stomach.”

Aku kaget karena tiba-tiba nomor misterius itu mengirimiku pesan yang demikian adanya. Aku membalas pesan itu, berusaha mencari tahu siapa pemilik nomor misterius itu. Tapi sialnya pulsaku habis, dan pesannya gagal kubalas. Akhirnya mau tidak mau, kuacuhkan saja pesan itu.

Pukul enam nol nol sampai lagi satu pesan ke dalam hp-ku.

minta nomor Kak Arnot, penting!

Aku semakin bingung dan penasaran dengan nomor asing itu. Tapi karena hp-ku sedang tak berpulsa, maka lagi-lagi tak kubalas pesan itu dan mengacuhkannya hingga aku akan ingat sendiri untuk membalasnya nanti ketika sudah mengisi pulsa.
Entah dari siapa pesan itu dikirim, tapi aku amat gagap untuk menerka-nerka siapa pemilik nomor itu. Akhirnya pagi itupun berlalu dengan sebuah nomor misterius beserta pesan anehnya yang kuacuhkan dalam inbox hp-ku.

Siangnya pukul sepuluh nol nol, aku ke kampus untuk mengecek nilai UAS karena dua minggu yang lalu kampusku baru saja mengadakan ujian akhir semester. Sampai di kampus aku  langsung menuju papan pengumuman di depan jurusanku dan di sana kudapati nilai-nilai yang sangat memuaskan. Aku berasal dari mahasiswa yang mendapat bantuan dana pendidikan lewat jalur beasiswa dari pemerintah dan Depdiknas, karena itu ketika ujian tiba aku berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang terbaik agar beasiswaku bisa tetap mengalir dan tidak diberhentikan karena nilai yang buruk. Aku menghela nafas kelegaan untuk hasil nilai semester itu. Tiba-tiba dari belakang kediamanku berdiri, aku langsung dikagetkan dengan sentuhan tangan seseorang di pundakku. Sontak wajahku berpaling dari papan nilai, dan..

“Mas Arnot..” aku sumringah lalu mencium telapak tangan kanannya, bak seorang istri yang berbakti pada suami.

Aku bahagia bisa menjumpainya hari itu. Entahlah, rasanya aku ingin banyak berbagi cerita dengan mas Arnot. Betapa tidak, semenjak jumat sore yang lalu hingga hari minggu ia pergi meninggalkanku untuk menghadiri reuni SMA-nya di luar kota. Aku cukup kesepian selama tiga malam itu. Ya, karena memang selayaknya, di mana ada Mas Arnot maka di situlah akupun hadir. Hanya saja untuk urusan yang satu ini, aku tak sempat ikut bersamanya lantaran aku tak mau mengganggu temu kangennya bersama kawan-kawan SMA-nya itu.

“bagaimana nilainya? Sudah keluar semua?” tanya Mas Arnot.
“alhamdulillah mas, semua mata kuliah lulus dengan nilai memuaskan.” Aku mengangkat jempolku tanda keberhasilan. Mas Arnot pun tersenyum dan mengajakku ke taman kampus untuk berbagi cerita dan memanen rindu yang sudah melumut. Padahal baru tiga hari kami tak bersua, tapi rasanya kami begitu rindu satu sama lain.

Pernah suatu ketika Rena beranggapan bahwa aku harus berhati-hati atas kebiasaanku bertemu setiap hari dengan Mas Arnot, karena ia berpikir jika suatu saat nanti bisa saja aku akan bosan dan jenuh bertatap muka terus menerus dengan Mas Arnot. Tapi bagiku, kekhawatiran sahabatku itu memanglah wajar.

“jangankan engkau Re, aku dan Mas Arnot pun selalu waspada terhadap rasa jenuh itu yang bisa saja datang secara tiba-tiba.” Ucapku.

Ya, itulah yang selalu Rena ingatkan padaku. Aku mengerti maksudnya, tak lain tak bukan, karena dia ingin hubunganku dengan Mas Arnot bisa langgeng selamanya.

Di taman kampus, Mas Arnot memulai cerita dengan mendeskripsikan perjalanannya menuju Surabaya, tempat kelahirannya. Ia begitu senang ketika menceritakan obrolannya yang konyol dengan teman-teman SMA-nya di sana. Beberapa saat setelah itu, aku mulai penasaran dengan sebuah pertanyaan yang sudah kusiapkan sebelumnya. Aku adalah sosok wanita pecemburu, mungkin karena aku terlalu takut kehilangan sosok Mas Arnot dalam hidupku. Ini bukan soal waktu yang menjerumuskanku ke dalam pelukan Mas Arnot, tapi karena aku percaya pada prinsip hidupnya yang konsisten itu. Namun jika ada yang bertanya mengapa aku bisa jatuh cinta pada Mas Arnot, maka aku akan langsung menjelma cermin yang bisu dan tidak berucap sedikitpun, karena sampai saat ini aku tak tahu mengapa aku bisa jatuh hati pada Mas Arnot dan mempertahankan hubungan kami selama itu.

“Di sana Mas bertemu dengan Laras tidak?” tanyaku menyela ceritanya. Mas Arnot mulai mengerutkan dahi. Laras adalah mantan kekasih Mas Arnot ketika SMA. Aku agak cemburu padanya. Aku mengenal nama Laras melalui Mas Arnot sendiri, karena ketika pertama berhubungan dengannya, aku langsung menggali informasi mengenai semua mantan kekasihnya.

“Tidak.” Jawabnya singkat. Aku yakin Mas Arnot menyimpan sebuah cerita tentangnya. Aku yakin, tapi ia begitu mudah mengatakan tidak. Aku belum memercayainya dan terus bertanya.

“Yakin? Padahalkan itu reuni besar, masa iya Laras tidak datang Mas?” aku mulai mendesak.

“Sudah bukan menjadi urusanku lagi, Sayang.” Mas Arnot menggenggam erat tanganku dan tersenyum penuh keyakinan seolah berusaha menunjukan bahwa ia telah berkata sejujurnya. Aku mengunci bibirku dan menganggukan kepala tanda percaya.

Akhirnya percakapan itupun berakhir dengan baik, tak ada kecurigaan lagi dalam benakku. Kamipun memutuskan untuk pulang dan melepas rindu di tempat tinggal Mas Arnot. Sudah tiba saatnya untuk memanen rindu bersama Mas Arnot.

Tiga hari kemudian, aku dikejutkan dengan sebuah retweet dari seorang wanita yang kukenal, Laras, mantan kekasih Mas Arnot. Melalui twitter ia berusaha menyapaku, dan tertulislah di sana :

I’m not Fine. Please read my blog - Butterfly in my stomach RT @fridafey: Hy Van, long time no see. Not to bad, what about U? RT @larasvanya: hy @fridafey how’re U?”

Kata-kata itu? ingatanku kembali ke beberapa hari yang lalu. Sebuah pesan dari nomor misterius yang juga mengirimiku kalimat seperti itu. “butterfly in my stomach” dan dilanjut dengan meminta nomor Mas Arnot. Ya, aku ingat. Aku masih menyimpan pesan itu di inbox. Tanpa pikir panjang, aku buka kembali inbox handphone-ku dan kudapati kalimat yang serupa sesuai dengan retweet dari Laras. Sontak aku langsung berkesimpulan bahwa pemilik nomor misterius itu adalah Laras. Ya, Laras! Seorang mantan kekasih Mas Arnot yang awalnya tidak terlalu kucemburui, namun kini ia menjelma musuh bagiku, menjelma parasit bagi ketenangan hubunganku dengan Mas Arnot.

Sejurus waktu, tersulut seonggok api di batinku. Ya, jiwaku seolah terpanggang oleh api yang berkobar itu. Cemburu? Mungkin, kini ia benar-benar menjajah jiwaku seperti orang yang sedang kerasukan setan, aku tak dapat kendalikan emosi dan terkaan-terkaan pahitku tentang mereka, Mas Arnot dan Laras.

“apa yang Laras inginkan dengan meminta nomor Mas Arnot? Apakah ada yang mereka sembunyikan? Apa mungkin mereka bertemu saat reunian SMA itu berlangsung, lalu apa yang terjadi setelah itu? Apa, apa, apa?”

Puluhan pertanyaan bercabang di kepalaku. Aku tak ingin merasakan cemburu yang berlebihan atau terkaan pahit yang bisa meruntuhkan hatiku, namun kenyataan bahwa Laras muncul dalam hubungan kami itu sangatlah kubenci. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi.

Malam itu, aku langsung membuka laptop dan menuju situs blog milik Laras. Sungguh menyakitkan, aku menemukan seberkas jejak bahwa mereka telah bertemu di reunian SMA itu. Ya, Laras yang juga gemar menulis seperti Mas Arnot, ia menuangkan peristiwa reunian itu ke dalam sebuah cerita hangat tentang pertemuannya dengan seorang lelaki masa lampaunya. Aku yakin benar, lelaki yang ada dalam cerita itu adalah Mas Arnot – lelakiku. Di sana terpampang jelas tentang pertemuan singkat mereka. Bahkan dengan mudah aku bisa menebak siapa tokoh nyata dalam cerita tersebut. Ya, tokoh perempuan adalah Laras, dan tokoh lelaki itu adalah Mas Arnot. Betapa tidak, Laras begitu detail menjelaskan tentang ciri-ciri fisik Mas Arnot.

Rasanya mual ketika aku melihat wajahnya lagi. Rambut gondrongnya itu kini telah dibabat habis. Entahlah siapa wanita yang berhasil membujuknya untuk memangkas rambut gondrongnya dulu. Tapi seolah ada yang ingin aku muntahkan dari dalam perut, aku mual berpapasan dengannya, seperti ada kupu-kupu yang menggerayangi isi perutku lalu ingin memuntahkan sesuatu di hadapannya.

“Apa maksud dari tulisan itu? kupu-kupu dalam perutnya? Apa yang dia maksudkan?” aku mulai mengira-ngira. Pikiranku mulai meracau tegang. Keringat dingin membasahi tubuhku. Mata ini tak bisa terpejam padahal waktu sudah menunjukkan suasana pagi. Aku tidak mengantuk karena pikiran pahit mulai melumat habis otakku. Aku memiliki anggapan bahwa kupu-kupu yang ia maksud dalam perutnya itu adalah.. adalah sesuatu yang telah terjadi pada mereka! TIDAK! Aku takut, aku lemah, tubuhku layu dalam sekejap. Aku lemas tanpa energi sedikitpun bagai bunga-bunga di malam hari. Kucoba tenangkan diri, mataku tertuju pada jam dinding yang bertengger di kamar kost-ku. Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Akhirnya kucoba menghela nafas pelan-pelan dan memejamkan mata secara perlahan agar pikiran buruk itu tidak berlarian terus menerus di otakku.

Esoknya, minggu pagi. Pukul enam nol nol aku sudah bangun dan berkemas menuju tempat kost Mas Arnot. Aku yang sudah bangun sejak pukul lima pagi, juga menyiapkan sarapan yang kusimpan dalam kotak makan. Aku memasak sendiri untuk disantap bersama dengan Mas Arnot di tempatnya. Ya, niatku telah matang. Aku akan menemui Mas Arnot pagi itu. Tak lain adalah untuk melumpuhkan pikiran burukku bahwa anggapanku itu memang salah dan tak pernah terjadi apa-apa pada Mas Arnot dan Laras.
Sepanjang perjalanan menuju tempat Mas Arnot, hatiku merasa tak tenang. Aku gelisah, dan tubuhku hampiir layu. Namun kucoba kuatkan langkah hingga sampai di kediamannya.

“Tok, tok, tok, tok.”
“assalamuallaikum Mas” ucapku menyapanya yang terlihat baru bangun tidur itu.
“waalaikumsalam. Sayang? Kok tumben datang ke sini tanpa kasih kabar lebih dulu?” Mas Arnot mengerutkan dahi.
“iya, surprise saja Mas.” Tangkisku singkat.

Kami pun duduk di atas kasur kecil yang ada di kosan Mas Arnot. Aku mengeluarkan sarapan ke atas meja yang terletak tepat di samping kanan kasur itu. Mas Arnot tersenyum dan memelukku erat. Aku hanya membalas senyumnya lirih. Pagi itu, aku tak langsung menyulut api pada persuaan kami, karena aku pikir itu masih terlalu pagi untuk dibicarakan. Akhirnya sambil menyantap sarapan, aku mencoba untuk melarikan obrolanku pada perjalanan Mas Arnot menuju tempat reunian SMA-nya. Aku berharap perlahan semua itu akan terbongkar. Aku memutar-mutar pokok pembicaraan terlebih dahulu sebelum menuju titik permasalahan. Mas Arnot, lelaki yang selalu jujur menurutku itu pun mengikuti obrolan yang aku suguhkan. Hingga sarapan kamipun selesai, dan aku mulai memberanikan diri untuk bertanya.



*****

-bersambung-

(masih memutar-mutar memoar di otak untuk meneruskannya atau justru mem-blacklist cerita ini dari blog. Tunggu saja.. )

nb :: maaf jika ada kesamaan nama, karakteristik tokoh, atau hal lainnya yang berhubungan dengan anda,. cerita ini dibuat hanya untuk kepuasan hati semata, nothing else. -hiburan semata- yeah :)

Selasa, 04 September 2012

Jim Morrison and Our Morris






Awalnya roda dua kami bukanlah sejenis ini. setelah beberapa hari kami berpacaran, akhirnya kami memutuskan untuk menyulap roda dua kami menjadi lebih antik dan klasik. dan terpilihlah jenis roda dua tersebut - "vespa"

aku tak  asing dengan kendaraan ini, karena kebetulan keluargaku di rumah juga memiliki kendaraan sejenis ini, dan aku tidak perlu malu untuk menungganginya bersama lelakiku.

vespa berwarna merah yang merekah itu kami namai "Morris"
entahlah, lelakiku yang mengajukannya lalu aku sangat menyetujuinya.

kau tahu?
awal yang terbesit di pikiranku ketika mendengar kata "Morris"?
yaa..
jika anda penggemar salah satu orang ternama yang menutup usianya di Paris-Perancis ini pasti anda langsung bisa menerkanya dengan gesit.




adalah JAMES DOUGLAS MORRISON
salasatu tokoh favorit lelakiku.
dan kini, akupun mengidolakannya karena nama ini sudah tak asing lagi di telingaku bahkan dalam kehidupan kami. -sebutlah vespa kami "Morris" maka ia akan mengantarkanmu dengan cepat dan tepat ke manapun kamu tuju- (lebay) ^_^

data lengkap Morrison akhirnya saya temukan di wikipedia. Berikut ::


atau, inilah salasatu alasan lelakiku mengaguminya 


aku tak pernah bertanya pada lelakiku apakah ini benar atau tidak, tapi kurasa ini benar. yaaa... semoga memang ini alasannya mengapa lelakiku menamai vespa kami dengan sebutan "Morris", dan semoga ketika lelakiku membaca celotehan usang ini, ia hanya akan tersenyum - menganggukkan kepala - lalu memberikan dua acungan jempol. (I hope)

(^,^)

kau tahu (lagi)?
siapakah wanita tersabar di dunia ini?

-menurutku dan lelakiku ::
"wanita tersabar di dunia ini adalah wanita yang berpacaran dengan seorang pengendara (pemilik) vespa"

-mengapa demikian?
hahahaha...
ini adalah pengalaman.

ketika bepergian atau mungkin berkeliling kota melepas penat dengan menunggangi vespa, bisa saja di tengah jalan vespa itu mogok sehingga body-nya harus digoyang-goyang terlebih dahulu. (lelakiku memberitahu bahwa hal tersebut dilakukan agar oli di dalamnya tersebar merata ke seluruh penjuru mesin)
ATAU
ketika selesai memberi minum vespa di pom bensin, kita harus sabar menunggu karena vespa tidak akan puas dengan meminum bensin saja, vespa harus diisi oli. yaaa, oli yang tadi digoyang-goyang itu loh.
mau dipercaya atau tidak, seorang pacar pengguna vespa harus sabar menanggapinya, karena begitulah adanya 'vespa'- yeah :p

selamat bagi anda yang memacari seorang pengguna vespa karena kesabaran anda akan diuji, dan jika berhasil maka anda adalah orang tersabar di dunia ini - I think that's right. :D

jaga hati (-ku)
jaga pacar (-ku)
jaga kendaraan (our morris)

take it easy :D

Journalism Class

"Dengan Anda memilih konsentrasi pada cabang Jurnalistik maka mau tak mau Anda harus RAJIN MEMBACA dan MENULIS" :)

"Sip. I'm ready Sir."

Hari pertamaku di kelas Jurnalistik yang ternyata berisikan para calon jurnalis itupun menjadi kelas terasyik yang pernah kumasuki - menurutku. Ya, jika di cabang lain akan kujumpai kejenuhan karena teman-teman yang serupa dengan mata kuliah biasanya, lain hal dengan penghuni kelas ini. 
Aku senang - sekali, beberapa kali, semoga selamanya.
Tidak menyesal mengambil konsentrasi pada cabang ini. Ya, karena aku mengambil Prodi Pendidikan, maka aku hanya memiliki dua opsi. Kelas BIPA (Bahasa Indonesia Pengajaran Asing).. atau... Jurnalistik.
And finally, aku memilihmu 'Wahai Dewa Jurnalistik' yeah...

Sebenarnya amat membingungkan. Apalagi kelas BIPA saat ini cukup menggiurkan semua orang karena suatu ketika dari kelas itu muncullah guru bahasa indonesia yang akan diminta mengajar ke luar negeri.
Memang sangat menggiurkan. Tapi apa daya. Aku terlanjur cinta 'menulis'. Sejak zaman-zamannya TK dan SD, aku menyiapkan satu buku khusus bersampul putih polos yang di dalamnya terdapat ukiran-ukiran tanganku. Imajinasi kanak-kanak yang sangat kaya dan padat, namun tidak kudapatkan seutuhnya saat ini karena telah terkontaminasi oleh gaya hidup 'Modernitas'. Aku rindu masa itu. Masa-masa aku giat menulis diary-ku setiap malam sebelum tidur. Menceritakan berbagai pengalamanku di hari tersebut. Mulai dari soal cinta, persahabatan, prestasi dan pendidikan, juga tentang keluarga yang tak jarang selalu menjadi bahan utama tulisanku. (karena aku masih anak-anak , hanya mengenal cinta 'monyet' jadi kutulis saja perihal keluarga besarku)

Kini, aku siap menjadi seorang Jurnalis.
Terlepas dari basic-ku sebagai seorang pengajar kelak, entah itu guru atau bahkan dosen (amin).

"Jadilah Guru sekaligus Penulis!" ucap Pak Dadang, dosen bahasa jurnalistik

 Go go go semangat !!! *ala Han Jie Eun*