Minggu, 16 Maret 2014

About “Skenario Waktu”


Bulan-bulan awal tahun lalu, saya menamatkan novel karya Ayu Utami berjudul Pengakuan Eks Parasit Lajang. Seusai membacanya, mendadak gairah menulis saya berkobar. Layaknya petasan yang melejit-lejit di langit irian, hari itu saya berniat membuat sebuah cerita. Entah panjang berbentuk novel, atau mungkin sebatas cerita pendek yang tidak terlalu penting. Tapi saat itu, kamus kata saya bertambah dan mendadak meniru gaya penulisan Ayu Utami yang vulgar tapi “keren”.

Hari itu entah tanggal berapa, yang pasti saya merekamnya dalam pertemuan singkat dengan seorang perempuan. Seseorang yang baru saya kenal di acara bedah buku Alazhi Perawan Xin-Jiang, yang diadakan oleh Majelis Sastra Bandung (MSB) di Gedung Indonesia Menggugat (GIM). Saat itulah kali pertama kami berkenalan dan kebetulan dia berasal dari Cirebon juga.

Beberapa hari setelah itu, saya pulang kampung dan berniat menjumpai kawan baru saya itu. Kami memutuskan bertemu di Gramedia yang ada di Grage Mall. Akhirnya setelah sampai dan beberapa saat melihat-lihat buku bacaan di sana, terjadilah pertemuan kedua. Nia, nama pendeknya, dari Gramedia mengajak saya berkunjung ke sebuah kafe rempah-rempah yang letaknya tak jauh dari Grage. Namanya kafe Brana.

Benar saja, sesampainya di Brana, saya takjub dengan suasana kafe yang nyaman dan tak nampak bahwa kafe itu ada di salah satu sudut kota Cirebon, karena suasananya tak sepanas yang dibayangkan. Kafe itu disuguhi lukisan-lukisan abstrak dan beberapa menyajikan tema kecirebonan. Kata Nia, baru beberapa hari sebelumnya diadakan pameran Lukisan di kafe tersebut sehingga ada beberapa lukisan yang masih menghuni di sana.

Akhirnya potret pertemuan di kafe itulah yang saya jadikan sebagai latar saya dalam menulis Skenario Waktu. Tentunya dengan beberapa modifikasi yang saya buat untuk mendukung alur ceritanya.

By the way, terlepas dari pertemuan singkat dengan kawan baru saya bernama Nia dan kafe rempah—rempah yang menghuni ingatan saya itu, sebenarnya saya ingin berbagi beberapa penggalan cerita yang ditulis tahun lalu seusai menamatkan novel P.E.P.L (singkat).

Beberapa penggalan cerita akan saya bagi di sini. This is it…

***
Kelak seorang lelaki akan lahir dari rahimmu, rahim para iblis yang menyakitiku secara perlahan. Kelak seorang perempuan akan lahir dari rahimmu, rahim para iblis yang merebut separuh skenarioku. Kelak kutukan itu tumbuh menjadi dedaun yang rimbun, yang jika dipetik bunganya, berdarah di dadamu. Kelak dan kelak, semua akan berbeda, semua akan menjadi terbalik, seperti cermin kafe yang memotret lengkap seluruh kesaksian matamu dan mataku.

***
Tujuh belas nol nol, waktu yang kami pilih untuk menamatkan sejumput pertanyaan di kepala. Sebuah senja dengan dua cangkir cokelat panas serta empat lonjor pisang bakar yang menambah keasrian meja nomor 9. S memulai cerita dengan menyebut nama seseorang yang kami incar. Ia adalah B, lelaki yang telah melukainya, kelak aku tahu ia melukaiku juga.

***
“Perhatikan aku! kini kerudungmu adalah kerudungku. Bajumu adalah bajuku. Rokmu adalah rokku. Kaos kakimu juga merupa kaos kakiku. Atau… kau adalah aku? Ah, tidak! Tepatnya aku adalah kau. Ya, aku adalah kau, S!”

***
Di mata S, aku melihat mataku tengah menimbun gerimis. Di matanya pula, ada bibirku yang terkatup-katup. Di matanya, ada tangan dan kakiku yang tak bisa diam dan terus bergoyang-goyang, padahal tak ada musik yang mengalun. Di matanya, aku melihat gelisah yang ngungu pada wajahku, mataku, bibirku, kupingku, dan dadaku.
“Kalau aku berpisah dengan B, apa kau mau kembali padanya?” tanyaku. Ia hanya diam, lalu terisak. “Untuk apa, memang kau rela dia meninggalkanmu?” jawabnya.
Aku bertanya padamu, kau mengutukiku dengan pertanyaan yang lebih menyesakkan nafasku. Sial!
“Kalau kau mau, aku akan memutuskan B dan memintanya kembali padamu.” Hanya itu yang kuucap, S diam, setelahnya senyap beberapa saat. Ia melihat wajahku, matanya menudingku, mengutuki seseorang yang telah merampas sesuatu dalam hidupnya.
Ini adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan, membiarkan seseorang memilih skenarionya melalui suguhan kata yang aku ucapkan. Entah reaksi apa yang akan B sandingkan jika ia tahu bahwa skenario hidupnya tengah aku obral seperti barang rongsokan

***
“Lalu apa yang harus aku lakukan? setidaknya membuatmu merasa adil dalam masalah ini?” Sekali lagi aku bertanya. Semua yang kuungkapkan pada S berbentuk pertanyaan, kelak aku tahu bahwa pertanyaan itu akan mengutukkiku juga.
Nafasku dan S terengah-engah dalam bingkai pertanyaan yang keluar dari mulut dan pikiran kami sendiri. Temperatur di ruangan itu pun mulai mengubah hawa sejuk menjadi padang pasir yang gersang. Kecemburuan mengepul hebat di ubun-ubun kami. Kafe itu semakin sesak. Kami berebutan oksigen untuk bernafas, rasanya  penghuni ruang itu hampir seluruhnya terlumat api. Sekujur tubuhnya berasap, apalagi ia –yang sedang bercermin di mataku.

***
Langit meremang, tampak lebih redup dari sebelumnya. Aku tahu, Tuhan sedang mempermainkan skenario kami. Menimbang-nimbang dengan tangannya, melempar-lempar ke tangan kanan dan kiri, lalu menggenggamnya erat. Tuhan sedang mengatur cerita yang Ia buat, memperkirakan segala sesuatunya agar tepat sasaran. Aku yakin Tuhan tengah menyimak percakapan kami yang tak habis-habis ini. Hingga kami pun masih bungkam dalam ketidakpastian.

_ coming soon _

Itulah beberapa penggalan acak dari Skenario Waktu. Cerita ini belum selesai, lagipula ada beberapa adegan yang perlu diperbaiki. Diksi yang digunakan pun masih membutuhkan koreksi.
Baiklah, nanti…. ya… nanti setelah saya selesai melakukan penelitian skripsi, niat penting saya adalah menamatkan cerita ini dan memberikan kejelasan pada para tokohnya, akan dibawa ke mana cerita ini. Novelkah, cerpenkah, atau hanya tulisan biasa yang selamanya mengendap di dalam laptop? Entahlah, kita liat beberapa bulan ke depan. 

***Sudah malam, Intan bobo.***

Sleep tight…!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar