Bulan-bulan
awal tahun lalu, saya menamatkan novel karya Ayu Utami berjudul Pengakuan Eks
Parasit Lajang. Seusai membacanya, mendadak gairah menulis saya berkobar. Layaknya
petasan yang melejit-lejit di langit irian, hari itu saya berniat membuat
sebuah cerita. Entah panjang berbentuk novel, atau mungkin sebatas cerita
pendek yang tidak terlalu penting. Tapi saat itu, kamus kata saya bertambah dan
mendadak meniru gaya penulisan Ayu Utami yang vulgar tapi “keren”. 
Hari
itu entah tanggal berapa, yang pasti saya merekamnya dalam pertemuan singkat
dengan seorang perempuan. Seseorang yang baru saya kenal di acara bedah buku
Alazhi Perawan Xin-Jiang, yang diadakan oleh Majelis Sastra Bandung (MSB) di
Gedung Indonesia Menggugat (GIM). Saat itulah kali pertama kami berkenalan dan
kebetulan dia berasal dari Cirebon juga. 
Beberapa
hari setelah itu, saya pulang kampung dan berniat menjumpai kawan baru saya
itu. Kami memutuskan bertemu di Gramedia yang ada di Grage Mall. Akhirnya setelah
sampai dan beberapa saat melihat-lihat buku bacaan di sana, terjadilah pertemuan
kedua. Nia, nama pendeknya, dari Gramedia mengajak saya berkunjung ke sebuah
kafe rempah-rempah yang letaknya tak jauh dari Grage. Namanya kafe Brana. 
Benar
saja, sesampainya di Brana, saya takjub dengan suasana kafe yang nyaman dan tak
nampak bahwa kafe itu ada di salah satu sudut kota Cirebon, karena suasananya
tak sepanas yang dibayangkan. Kafe itu disuguhi lukisan-lukisan abstrak dan
beberapa menyajikan tema kecirebonan. Kata Nia, baru beberapa hari sebelumnya
diadakan pameran Lukisan di kafe tersebut sehingga ada beberapa lukisan yang
masih menghuni di sana. 
Akhirnya
potret pertemuan di kafe itulah yang saya jadikan sebagai latar saya dalam
menulis Skenario Waktu. Tentunya dengan beberapa modifikasi yang saya buat
untuk mendukung alur ceritanya.
By the way,
terlepas dari pertemuan singkat dengan kawan baru saya bernama Nia dan kafe
rempah—rempah yang menghuni ingatan saya itu, sebenarnya saya ingin berbagi
beberapa penggalan cerita yang ditulis tahun lalu seusai menamatkan novel P.E.P.L
(singkat).
Beberapa
penggalan cerita akan saya bagi di sini. This
is it…
***
Kelak seorang lelaki akan lahir
dari rahimmu, rahim para iblis yang menyakitiku secara perlahan. Kelak seorang
perempuan akan lahir dari rahimmu, rahim para iblis yang merebut separuh
skenarioku. Kelak kutukan itu tumbuh menjadi dedaun yang rimbun, yang jika
dipetik bunganya, berdarah di dadamu. Kelak dan kelak, semua akan berbeda,
semua akan menjadi terbalik, seperti cermin kafe yang memotret lengkap seluruh
kesaksian matamu dan mataku.
***
Tujuh belas nol nol, waktu yang
kami pilih untuk menamatkan sejumput pertanyaan di kepala. Sebuah senja dengan
dua cangkir cokelat panas serta empat lonjor pisang bakar yang menambah
keasrian meja nomor 9. S memulai cerita dengan menyebut nama seseorang yang
kami incar. Ia adalah B, lelaki yang telah melukainya, kelak aku tahu ia
melukaiku juga.
***
“Perhatikan aku! kini kerudungmu
adalah kerudungku. Bajumu adalah bajuku. Rokmu adalah rokku. Kaos kakimu juga
merupa kaos kakiku. Atau… kau adalah aku? Ah, tidak! Tepatnya aku adalah kau. Ya,
aku adalah kau, S!”
***
Di mata S, aku melihat mataku
tengah menimbun gerimis. Di matanya pula, ada bibirku yang terkatup-katup. Di
matanya, ada tangan dan kakiku yang tak bisa diam dan terus bergoyang-goyang, padahal
tak ada musik yang mengalun. Di matanya, aku melihat gelisah yang ngungu pada
wajahku, mataku, bibirku, kupingku, dan dadaku.
“Kalau aku berpisah dengan B, apa
kau mau kembali padanya?” tanyaku. Ia hanya diam, lalu terisak. “Untuk apa,
memang kau rela dia meninggalkanmu?” jawabnya. 
Aku bertanya padamu, kau
mengutukiku dengan pertanyaan yang lebih menyesakkan nafasku. Sial!
“Kalau kau mau, aku akan memutuskan
B dan memintanya kembali padamu.” Hanya itu yang kuucap, S diam, setelahnya
senyap beberapa saat. Ia melihat wajahku, matanya menudingku, mengutuki
seseorang yang telah merampas sesuatu dalam hidupnya.
Ini adalah hal terbodoh yang pernah
aku lakukan, membiarkan seseorang memilih skenarionya melalui suguhan kata yang
aku ucapkan. Entah reaksi apa yang akan B sandingkan jika ia tahu bahwa
skenario hidupnya tengah aku obral seperti barang rongsokan
***
“Lalu apa yang harus aku lakukan?
setidaknya membuatmu merasa adil dalam masalah ini?” Sekali lagi aku bertanya.
Semua yang kuungkapkan pada S berbentuk pertanyaan, kelak aku tahu bahwa
pertanyaan itu akan mengutukkiku juga.
Nafasku dan S terengah-engah dalam
bingkai pertanyaan yang keluar dari mulut dan pikiran kami sendiri. Temperatur
di ruangan itu pun mulai mengubah hawa sejuk menjadi padang pasir yang gersang.
Kecemburuan mengepul hebat di ubun-ubun kami. Kafe itu semakin sesak. Kami
berebutan oksigen untuk bernafas, rasanya  penghuni ruang itu hampir seluruhnya terlumat
api. Sekujur tubuhnya berasap, apalagi ia –yang sedang bercermin di mataku.
***
Langit meremang, tampak lebih redup
dari sebelumnya. Aku tahu, Tuhan sedang mempermainkan skenario kami. Menimbang-nimbang
dengan tangannya, melempar-lempar ke tangan kanan dan kiri, lalu menggenggamnya
erat. Tuhan sedang mengatur cerita yang Ia buat, memperkirakan segala
sesuatunya agar tepat sasaran. Aku yakin Tuhan tengah menyimak percakapan kami
yang tak habis-habis ini. Hingga kami pun masih bungkam dalam ketidakpastian.
_
coming
soon _
Itulah
beberapa penggalan acak dari Skenario Waktu. Cerita ini belum selesai, lagipula
ada beberapa adegan yang perlu diperbaiki. Diksi yang digunakan pun masih
membutuhkan koreksi. 
Baiklah,
nanti…. ya… nanti setelah saya selesai melakukan penelitian skripsi, niat
penting saya adalah menamatkan cerita ini dan memberikan kejelasan pada para
tokohnya, akan dibawa ke mana cerita ini. Novelkah, cerpenkah, atau hanya
tulisan biasa yang selamanya mengendap di dalam laptop? Entahlah, kita liat
beberapa bulan ke depan. 
***Sudah malam, Intan bobo.***
Sleep tight…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar