Senin, 31 Maret 2014

Yang Lalu Biarlah Berlalu, Kita Abadi.

Saya tak pernah tahu, alasan apa yang melatarbelakangi perempuan itu mengirimi banyak batu terjal ke dalam hubungan kami. Sejak masa-masa pendekatan saya dan suami, sampai setelah menggelar resepsi pernikahan, ia mengirim lagi bencana yang sama. Entah karena ia masih dendam terhadap kesetiaan kami berdua, atau ia masih menyukai lelaki yang meminang saya ini. Di depan ia tampak baik-baik saja, tapi di belakang, ia menampar saya perlahan-lahan.
Suami saya pernah mengatakan bahwa ia sudah tak peduli dengan masa lalu kami, baik masa laluku maupun masa lalu dirinya, sambil mengecup kening dan kedua pipiku mesra. Ia mengingatkanku untuk mengabaikan perilaku-perilaku yang ditunjukan perempuan itu, karena ucapan dan tulisannya hanya memperkeruh keharmonisan kami, menyulut kemarahan kami dan saya kembali menjadi tidak dewasa ketika cemburu.
Tapi sekarang saya paham apa yang suami saya katakan. Tiap orang memiliki masa lalu, entah suka ataupun duka, tapi jangan pernah membangunkannya lagi, karena bisa menghambat masa depan kita. Saya mengerti, suami saya sudah melupakan perempuan itu sejak kami resmi berpacaran, hanya saya sajalah yang terus mengorek-ngorek isi masa lalu mereka sehingga saya sendiri yang akan jatuh sakit atau tersulut api karena sikap keingintahuan saya yang berlebihan.
Suami sayapun pernah berkata, ia amat cemburu dengan masa lalu saya yang hampir mirip dengan masa lalunya. Tapi ia tak pernah melakukan tindakan-tindakan yang bisa memicu rasa sakitnya karena mengetahui segala bentuk kisah masa lalu saya. Itulah sikap yang ia tunjukan, ia tak pernah ingin tahu dengan masa lalu saya, karena ia tak ingin sakit atau bahkan membuat hubungan kami jadi tak baik. Ia pecemburu, tapi berusaha “cuek” menanggapinya, itulah yang ia lakukan sehingga hubungan kami tetap harmonis tanpa beban masa lalu.
Kami mengerti, Tuhan mempersatukan kami dengan salah satu alasan untuk saling melengkapi. Kami bahagia dengan alur yang Tuhan sajikan saat ini terhadap kami. Tinggal bagaimana kami bisa mempertahankan keharmonisan rumah tangga ini dengan sesekali mengacuhkan hal-hal yang berpotensi menyulut amarah kami. 
Masa lalu biarlah menjadi debu, perlahan tersapu waktu. [*]


Senin, 24 Maret 2014

Suatu Hari

Hari itu (jumat, 21 maret 2014) Wishu mengajak saya menemaninya nonton teater. Katanya ada tugas pengganti presensi kajian drama, yaitu membuat resensi pertunjukan Kereta Kencana. Sebagai sebagai sebagainya dia, yaaa saya harus ikut untuk menyemangati tugasnya, lagipula butuh refreshing setelah lelah membuat LPJ Bendahara ASAS. Akhirnya siang itu sebelum nonton teater, datang seseorang berambut gondrong ke kosan Wishu. Dengan jeans bolong-bolong di lutut dan sepatu khas rock and roll-nya, dia naik ke tangga dan berhadapan langsung dengan saya. Agak terkejut saya menebak-nebak penampilannya. And then.. what the jreng to the jreng... ternyata dia adalah Jambrong. Kalau tulisan alaynya maybe begini >>
"Zambronkz atau Zambronx" hehe. *pernah alay*
Yap, nama aslinya Anjar Rahman, teman satu pesantren dengan suami saya yang berasal dari UIN itu datang mengunjungi kami. Memang sebelumnya sudah janji bertemu dengan Wishu untuk melepas rindu (halah), tapi kebetulan berbarengan dengan hari menonton teater, jadi Wishu mengajaknya juga untuk ikut bersama kami.
Karena mengejar jam malam untuk menonton, maka siang sampai sore itu kami habiskan untuk berbincang-bincang di kosan. Setelah mencurahkan berbagai kenangan di ruang itu sampai-sampai energi dan kotak tertawa di tubuh kami habis, kami pun memutuskan untuk merevilnya dengan makan bakso wader. (bakso favorit mahasiswa UPI).
Sore itu tepat ba'da ashar kami makan bakso di sana. Beberapa menit makan dan tak melepas gurauan-gurauan iseng kami, akhirnya percakapan Wishu dan Anjar sampai pada niat mereka untuk menghubungi satu rekan pesantren mereka lagi yang juga berkuliah di UPI. Dia adalah....what the jreng to the jreng... "Cimeng or Cimenk or Cimenx." ( whatever ~_~ ).
Baru saja Anjar berniat mengirimi Cimeng alias Fajar sms, ternyata doi yang dituju sudah lebih dulu membaca pikiran kami dari jauh. Handphone Wishu berdering, hadir sebuah pesan dari nomor baru yang tak ia kenali. And then setelah dibuka, terbacalah sebuah kalimat,

"Di mana bel? Cimeng."

Guys, kalian luar biasa!
Insting dan intuisi sabahatnya kuat banget, kalau kata Keenan di Film Perahu Kertas sih,, "tadi lupa matiin radarnya." so... rencana semakin matang deh.
Kami pun mengajak Fajar menonton teater juga, dan kebetulan dia bersedia ikut dengan kami.
Pukul setengah 6 kami bertemu Fajar di kosan Wishu. Akhirnya semua sudah berkumpul dan ba’da maghrib kami menuju kampus untuk menemui adik tingkat kami yang mengoordinir tiket pertunjukan itu. Setelah membeli empat tiket, kami pun bersiap go to gedung kesenian Rumentang Siang (kata dosennya, pertunjukan Kereta Kencana ada di tempat itu).
Dengan bermodalkan kepedean untuk berangkat lebih dini, padalah teaternya baru open get pukul 19.30, kami pun berangkat berempat menunggangi 3 sepeda motor. Tentunya saya dengan suami, sementara Anjar dan Fajar membawa bebeknya masing-masing. Setelah melahap perjalanan cukup jauh, kami pun sampai di rumsi (singkat).
Melihat arloji masih berputar di angka 7, dan penghuni di depan gedung rumsi masih tampak limit, hanya ada dua orang satpam dan beberapa remaja yang berlalu lalang di sana, akhirnya kami pun memutuskan untuk ngopdar (alias ngopi darat) terlebih dahulu. Setelah keluar dari parkiran rumsi dan berjalan menyusuri Baranang Siang yang lengang, akhirnya kami pun menemukan sebuah tempat untuk ngopdar. Wishu memesan empek-empek telor dan kopi hitam *mendadak pengen nyanyi*, Anjar memesan empek-empek bakso, Fajar memesan white kopi, sementara saya si perempuan penikmat kopi yang mulai terjangkit maagh beberapa bulan lalu memutuskan untuk memesan jus alpukat *cari aman* padahal saya ngiler ngeliat orang-orang minum kopi. Oh God… GWS for me! -_-
Menunggu waktu setengah jam ternyata tak begitu lama karena kami menghadirkan obrolan yang padat di sana. Setelah 30 menit berlalu, kami pun memutuskan untuk menuju rumsi kembali, tentu dengan alarm kata-kata yang saya lontarkan, jika tidak, obrolan itu akan berlangsung lebih lama lagi dan kami akan lupa bahwa di tangan kami ada 4 tiket nonton teater yang harus segera dihadiri.
Dari kejauhan, tampak parkiran rumsi masih belum penuh kendaraan. Kami pun bergegas masuk ke dalam gerbang. Ternyata benar, suasana serupa masih terlihat di sana. Gedung rumsi yang masih lengang tak banyak penghuni maupun orang yang memarkirkan kendaraannya. Hal itupun membuat kami penasaran, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 19.30 wib, tapi suasana di rumsi tampak seperti tak ada kegiatan pertunjukan. Wishu pun menghampiri satpam dan lekas menanyakan pertunjukan Kereta Kencana yang diperintah oleh dosennya itu. Dengan agak bingung, satpam menjawab, “malam ini tidak ada pertunjukan, dikira aa-aa dan teteh ini mau latihan teater, jadi markir motor di sini.”
What the ziiiiiing…
Akhirnya Fajar pun unjuk gigi, “di tiketnya sih, pertunjukannya di IFI.”
Tangan saya langsung menghambur ke dalam tas dan merogohi isinya untuk menemukan tiket saya. Penasaran, saya pun langsung membaca tiket itu. Daaaan, benar saja! Ternyata pertunjukannya bukan di gedung rumsi melainkan di IFI depan BEC.
Oh God (again)…!
Kami berempat langsung tancap gas dan meninggalkan rumsi juga satpam yang mungkin terkekeh melihat tingkah konyol kami karena salah alamat. Entah Cimeng atau Jambrong, tiba-tiba seorang dari mereka menyeletuk, “akhirnya kita salah alamat juga kaya Ayu Tingting.” ~ngggg…
Waktu menunjukan pukul 19.35, saya sudah tak sabar melihat kereta api yang melintas dua kali di hadapan kami. Rasanya ingin loncat melewati rel itu, tapi apa daya, badan sudah lemas dan tak berselera karena niatan kami untuk menjadi penonton paling depan Kereta Kencana akhirnya tertunda gara-gara Ayu Tingting itu, eeeh salah alamat maksudnya. Ckck. Sementara Wishu di perjalanan segenting itu masih sempat berceletuk kesal karena dosennya yang salah memberi informasi tempat pertunjukan, terlepas dari kami yang tidak membaca tiketnya sejak awal membeli dan si adik tingkat yang sudah “terlalu” memercayai kami tahu tempat pertunjukan teater tersebut berlangsung.
Sampai di IFI pukul 19.40, kami bergegas menuju pintu masuk. Untunglah masih ada beberapa orang yang nampaknya sama seperti kami, ketinggalan pertunjukan. Di sana sudah berjaga seorang aa-aa (halah) menghalangi kami masuk, ternyata doi ingin berbagi aturan lebih dulu. Kata aa-aa penjaga itu, kuota kursi di dalam sudah penuh, kalaupun kita ingin tetap masuk, harus duduk di bawah (lantai) dengan jalan jongkok atau jalan kodok agar penonton lain yang sudah stay dari tadi, juga pertunjukan Kereta Kencana yang sudah dimulai itu tidak terganggu karena kehadiran kami yang telat. ~wokeee
Demi tugas lelaki saya, dan demi almarhum Opah WS Rendra, akhirnya kami pun terpaksa menuruti aturan tersebut. Tapi, setelah masuk ke dalam gedung, saya menemukan sebuah kursi kosong dan Wishu menyuruh saya untuk duduk di sana, sementara tiga kerabat yang sedari tadi bersama saya termasuk Wishu, berjalan merunduk menuju lantai bagian depan untuk duduk dan menonton di sana. Dengan pedenya saya langsung duduk di kursi kosong itu. Tiba-tiba seorang perempuan setengah baya di samping kursi saya langsung menegur, “maaf sudah ada orangnya di sini.” ~_~
Akhirnya saya berdiri, bingung, dan malu jika harus berjalan ke dapan sendirian sambil berjongkok. Tidak mungkin juga saya berteriak memanggil Wishu yang sudah sibuk menyiapkan catatannya. Saya pun masih berdiri kebingungan. Lalu dari belakang, seorang perempuan cantik berambut pirang mencolek saya,
What the jreng to the jreng… Ternyata dia adalah Hana..  (penyelamat), rekan seangkatan saya di jatuk (jabang tutuka) teater lakon. Doi menawarkan untuk berbagi kursinya dengan saya. Akhirnya tanpa pikir panjang langsung saja saya terima, kebetulan tubuh kami cukup irit untuk duduk berdua di satu kursi.
Setelah beberapa menit menikmati pertunjukan Kereta Kencana yang keren itu, saya pun mulai merasa pegal. Maklum, sebetulnya saya dilarang duduk sembarangan oleh dokter karena akan berpengaruh pada kondisi Junior. Tapi karena terpaksa dan tak ada pilihan, saya pun harus bertahan beberapa menit duduk seadanya. Jika boleh memilih, harusnya saya rela berjalan jongkok untuk bisa duduk lesehan di depan bersama suami dan dua rekan kami. Tapi yaa begitulah, pertunjukan sudah setengah jalan. Saya pun semakin resah dengan posisi duduk saya.
Beberapa menit kemudian, Tuhan mendengar doa saya. Dia menulis skenario seseorang yang duduk di kursi atas untuk hengkang dari tempatnya. Dan Tuhan menggiring mata saya untuk melihat perpindahan itu. Akhirnya dengan segelintir ancang-ancang yang sudah disiapkan ketika melihat gerak-gerik perpindahan orang itu, saya pun langsung berdiri, berjalan dan melambai pada Hana yang masih duduk di kursi tadi. Saya langsung melahap kursi kosong yang baru saja disediakan Tuhan. Dia mengerti antusias saya untuk mengapresiasi pertunjukan itu. Thanks to Allah :-*
Pertunjukan Kereta Kencana adalah pertunjukan yang dilakoni oleh Studiklub Teater Bandung (STB). Ketika menyaksikan pertunjukan itu, ingatan saya langsung berputar, berlari ke beberapa pertunjukan sebelumnya yang pernah saya tonton. Yap, ternyata saya ingat sesuatu…

“Masih adakah cinta di antara kita?”

Yuhu, sebuah pertunjukan alit dari teater koma karya Nano Riantiarno yang pernah diperankan oleh dirinya dan istrinya. Mendadak saya ingat pertunjukan itu, karena suara dan acting para aktor sangat mirip dengan gaya pengucapan aktor-aktor teater koma. *keren!
Ini beberapa foto pertunjukan Kereta Kencana di IFI Bandung :





Sedangkan berikut ini beberapa foto pertunjukan Tanda Cinta - Teater Koma per-fragmen yang saya ambil dari videonya di laptop. Hehehe.







Menonton teater adalah sebuah hiburan tersendiri bagi saya dan Wishu. Kebiasaan ini kami tularkan pada Anjar dan Fajar dengan mengajak mereka berpetualang hanya untuk menonton sebuah naskah keren karya WS Rendra dipentaskan. Akhirnya, di tengah pertunjukan Kereta Kencana itu, imajinasi saya bermain. Saya mengandaikan kehidupan indah bersama suami saya kelak. Ketika tak ada lagi yang bisa kami andalkan untuk membahagiakan kami di luar sana, kami berdua pun siap untuk saling menghibur, saling mengisi dan melengkapi.
Sikap seseorang tak bisa dinilai dari luarnya saja, tapi bagaimana ia bisa membawa dirinya menjadi bermanfaat bagi orang lain. Seperti Ia yang selalu membuat saya tertawa dan bahagia, sekalipun jalan yang kami ambil curam dan terjal, tapi bersamanya, saya merasa nyaman dan terjaga. Sederhana saja. Karena bahagia memang sederhana. Seperti kesederhanaan yang ia ajarkan pada saya.
Berjumpa dengan kawan lama, berbagi kisah, menghasilkan gelak tawa yang jarang terjadi, dan memiliki insting juga intuisi sebagai seseorang yang berarti bagi hidup orang lain. Kami sudah melaluinya hari ini.
Seusai menonton pertunjukan teater, kami pun berpisah lebih dulu dengan Cimeng karena dia harus menjemput seseorang, ujarnya. Akhirnya saya, Wishu dan Jambrong yang mulai kelaparan karena petualangan hebat malam itu, bersiap untuk dinner. Kami menuju tempat makan Jengkol Sufi yang letaknya di Dago. Tapi tenang, saya tidak memesan jengkol, hanya menemani kedua pecinta jengkol itu. Saya memilih menu lain yang lebih aman bagi nafas, eeeh, penampilan saya (uwow) -,-
And finally , momen makan malam itulah yang menjadi penutup pertemuan bersama rekan Wishu. Kami berpisah dengan Jambrong di tempat itu setelah menghabiskan banyak obrolan dan juga makanan. Saya dan Wishu kembali ke daerah atas (setiabudhi), sementara Anjar (si Jambrong) berlawanan arah dengan kami (caheum).
I remember… the way you look at me, yes I remember. –Mocca.
Lantas apa yang menjadi gagasan atau ide pokok dari tulisan ini?
Teater? Sahabat? Cinta? Ayu Tingting? Eeeh… Atau…?
Entahlah, saya hanya ingin berbagi kisah dan menggabungkannya dalam arsip Kisah Berkesan di Blog ini. Apapun inti ceritanya, saya bisa mengambil banyak kenangan yang diawetkan dalam Peramu Kata.
Perjalanan kami masih panjang, saya masih ingin menulis, terlepas dari harus menulis skripsi atau melakukan perlakuan penelitian di sekolah dan menulis hasilnya. Saya lelah, tapi ingin menulis, jadi ini saja yang saya tulis. Sekadar berbagi sebelum akhirnya saya benar-benar sibuk dengan berbagai macam urusan Junior.
Saya akhiri dengan penggalan lagu ini,
Love was made for me and you…

Tertanda, yang tersayang :

Wishu Muhamad
ASAS Junior
Yahlamu Syahla’
Zhafran Muzhaffar

^_^

Kamis, 20 Maret 2014

Kepada S


kau tak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku.
menjadi perempuan yang selalu kau usik dalam kenangan.

kau tak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku
menjadi rumah yang selalu didatangi masa lalu

kelak, ketika kau tak sendiri
bersiaplah menjadi aku :
tuan rumah
bagi segala resah yang ditimbun pemiliknya.

kelak, ketika kau menemukan ia
bersiaplah menerima segalanya
sebuah petaka atau penghantar duka

bagi silam yang melahap usia.

Minggu, 16 Maret 2014

About “Skenario Waktu”


Bulan-bulan awal tahun lalu, saya menamatkan novel karya Ayu Utami berjudul Pengakuan Eks Parasit Lajang. Seusai membacanya, mendadak gairah menulis saya berkobar. Layaknya petasan yang melejit-lejit di langit irian, hari itu saya berniat membuat sebuah cerita. Entah panjang berbentuk novel, atau mungkin sebatas cerita pendek yang tidak terlalu penting. Tapi saat itu, kamus kata saya bertambah dan mendadak meniru gaya penulisan Ayu Utami yang vulgar tapi “keren”.

Hari itu entah tanggal berapa, yang pasti saya merekamnya dalam pertemuan singkat dengan seorang perempuan. Seseorang yang baru saya kenal di acara bedah buku Alazhi Perawan Xin-Jiang, yang diadakan oleh Majelis Sastra Bandung (MSB) di Gedung Indonesia Menggugat (GIM). Saat itulah kali pertama kami berkenalan dan kebetulan dia berasal dari Cirebon juga.

Beberapa hari setelah itu, saya pulang kampung dan berniat menjumpai kawan baru saya itu. Kami memutuskan bertemu di Gramedia yang ada di Grage Mall. Akhirnya setelah sampai dan beberapa saat melihat-lihat buku bacaan di sana, terjadilah pertemuan kedua. Nia, nama pendeknya, dari Gramedia mengajak saya berkunjung ke sebuah kafe rempah-rempah yang letaknya tak jauh dari Grage. Namanya kafe Brana.

Benar saja, sesampainya di Brana, saya takjub dengan suasana kafe yang nyaman dan tak nampak bahwa kafe itu ada di salah satu sudut kota Cirebon, karena suasananya tak sepanas yang dibayangkan. Kafe itu disuguhi lukisan-lukisan abstrak dan beberapa menyajikan tema kecirebonan. Kata Nia, baru beberapa hari sebelumnya diadakan pameran Lukisan di kafe tersebut sehingga ada beberapa lukisan yang masih menghuni di sana.

Akhirnya potret pertemuan di kafe itulah yang saya jadikan sebagai latar saya dalam menulis Skenario Waktu. Tentunya dengan beberapa modifikasi yang saya buat untuk mendukung alur ceritanya.

By the way, terlepas dari pertemuan singkat dengan kawan baru saya bernama Nia dan kafe rempah—rempah yang menghuni ingatan saya itu, sebenarnya saya ingin berbagi beberapa penggalan cerita yang ditulis tahun lalu seusai menamatkan novel P.E.P.L (singkat).

Beberapa penggalan cerita akan saya bagi di sini. This is it…

***
Kelak seorang lelaki akan lahir dari rahimmu, rahim para iblis yang menyakitiku secara perlahan. Kelak seorang perempuan akan lahir dari rahimmu, rahim para iblis yang merebut separuh skenarioku. Kelak kutukan itu tumbuh menjadi dedaun yang rimbun, yang jika dipetik bunganya, berdarah di dadamu. Kelak dan kelak, semua akan berbeda, semua akan menjadi terbalik, seperti cermin kafe yang memotret lengkap seluruh kesaksian matamu dan mataku.

***
Tujuh belas nol nol, waktu yang kami pilih untuk menamatkan sejumput pertanyaan di kepala. Sebuah senja dengan dua cangkir cokelat panas serta empat lonjor pisang bakar yang menambah keasrian meja nomor 9. S memulai cerita dengan menyebut nama seseorang yang kami incar. Ia adalah B, lelaki yang telah melukainya, kelak aku tahu ia melukaiku juga.

***
“Perhatikan aku! kini kerudungmu adalah kerudungku. Bajumu adalah bajuku. Rokmu adalah rokku. Kaos kakimu juga merupa kaos kakiku. Atau… kau adalah aku? Ah, tidak! Tepatnya aku adalah kau. Ya, aku adalah kau, S!”

***
Di mata S, aku melihat mataku tengah menimbun gerimis. Di matanya pula, ada bibirku yang terkatup-katup. Di matanya, ada tangan dan kakiku yang tak bisa diam dan terus bergoyang-goyang, padahal tak ada musik yang mengalun. Di matanya, aku melihat gelisah yang ngungu pada wajahku, mataku, bibirku, kupingku, dan dadaku.
“Kalau aku berpisah dengan B, apa kau mau kembali padanya?” tanyaku. Ia hanya diam, lalu terisak. “Untuk apa, memang kau rela dia meninggalkanmu?” jawabnya.
Aku bertanya padamu, kau mengutukiku dengan pertanyaan yang lebih menyesakkan nafasku. Sial!
“Kalau kau mau, aku akan memutuskan B dan memintanya kembali padamu.” Hanya itu yang kuucap, S diam, setelahnya senyap beberapa saat. Ia melihat wajahku, matanya menudingku, mengutuki seseorang yang telah merampas sesuatu dalam hidupnya.
Ini adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan, membiarkan seseorang memilih skenarionya melalui suguhan kata yang aku ucapkan. Entah reaksi apa yang akan B sandingkan jika ia tahu bahwa skenario hidupnya tengah aku obral seperti barang rongsokan

***
“Lalu apa yang harus aku lakukan? setidaknya membuatmu merasa adil dalam masalah ini?” Sekali lagi aku bertanya. Semua yang kuungkapkan pada S berbentuk pertanyaan, kelak aku tahu bahwa pertanyaan itu akan mengutukkiku juga.
Nafasku dan S terengah-engah dalam bingkai pertanyaan yang keluar dari mulut dan pikiran kami sendiri. Temperatur di ruangan itu pun mulai mengubah hawa sejuk menjadi padang pasir yang gersang. Kecemburuan mengepul hebat di ubun-ubun kami. Kafe itu semakin sesak. Kami berebutan oksigen untuk bernafas, rasanya  penghuni ruang itu hampir seluruhnya terlumat api. Sekujur tubuhnya berasap, apalagi ia –yang sedang bercermin di mataku.

***
Langit meremang, tampak lebih redup dari sebelumnya. Aku tahu, Tuhan sedang mempermainkan skenario kami. Menimbang-nimbang dengan tangannya, melempar-lempar ke tangan kanan dan kiri, lalu menggenggamnya erat. Tuhan sedang mengatur cerita yang Ia buat, memperkirakan segala sesuatunya agar tepat sasaran. Aku yakin Tuhan tengah menyimak percakapan kami yang tak habis-habis ini. Hingga kami pun masih bungkam dalam ketidakpastian.

_ coming soon _

Itulah beberapa penggalan acak dari Skenario Waktu. Cerita ini belum selesai, lagipula ada beberapa adegan yang perlu diperbaiki. Diksi yang digunakan pun masih membutuhkan koreksi.
Baiklah, nanti…. ya… nanti setelah saya selesai melakukan penelitian skripsi, niat penting saya adalah menamatkan cerita ini dan memberikan kejelasan pada para tokohnya, akan dibawa ke mana cerita ini. Novelkah, cerpenkah, atau hanya tulisan biasa yang selamanya mengendap di dalam laptop? Entahlah, kita liat beberapa bulan ke depan. 

***Sudah malam, Intan bobo.***

Sleep tight…!