Selasa, 09 Desember 2014

Bicara Tentang Hati

22y 3m - usia saya saat membuat tulisan ini. (red : now).

11.38 pm

Pernah ada yang berkata, "Saya nggak cemburu, tapi saya cuma pengen ngeliat dia hancur."
Begini. Selama duapuluhduatahun menjadi manusia mellow di dunia ini, saya rasa Ia sudah mengalami masa-masa cemburu atau tidak menerima kenyataan yang terjadi. Simpelnya, "jika kau sudah rela melepaskan seseorang dari hatimu, kau tak akan membencinya karena alasan apapun." 

Kenyataan yang saya dapat tak begitu. Ia pernah mengoceh pada saya bahwa dirinya sudah memaafkan lelaki itu, but not act. Maksud saya, saat bercerita seperti itu, Ia masih memblokir facebooknya, menghapus nomor teleponnya, bahkan mengubur segala sesuatu yang bisa menghubungkan ingatannya dengan lelaki itu. Ia selalu berkata, sudah tak ada rasa. Tapi segala kebencian itu memunculkan anggapan bahwa Ia masih mencintainya. Bukankah jika sudah tak mencintai dan tak peduli lagi, Ia tak harus membencinya terus-menerus? Dan suatu saat secara tiba-tiba Ia menghubungi saya, menghantui segala aktivitas saya di dunia maya hingga terbawa pada dunia nyata. Ia sempat mengirim pesan, meminta nomor telepon lelaki itu dan berjanji akan bersikap baik. Bodohnya, saya malah merespon.

And then, kesalahan yang terjadi pada masa lalu kalian akhirnya berimbas pada saya. Selama hampir dua tahun melabuhkan hati pada seorang lelaki, saya dihantui rasa bersalah yang tak terkira akutnya. Persis - mirip skenario Tuhan ketika saya duduk di bangku SMA. Feeling guilty zaman putih abu-abu, lagi-lagi terjadi di masa-masa kuliah. Ah, bosan.

Barangkali saya pernah berniat memutuskan hubungan kami dan meminta lelaki itu untuk kembali pada perempuan yang telah berargumen bahwa dia tak pernah cemburu. Let's think about us. Tapi niat ini berkali-kali digagalkan oleh permintaan maaf yang beribu harunya dari lelaki itu. Akhirnya kami yang memutuskan untuk meninggalkan jejak dari skenario Tuhan. Saya dan lelaki itu menghapus segala hal yang menjadi penghubung kami menuju si perempuan. Baiklah, dari sini, stalker atau kepo itu bermunculan secara tiba-tiba.

Sms masuk, mention di twitter tanpa ada kegiatan follow-mem-follow, komen-komen di blog, tumblr, sampai pada ask.fm sekalipun. Peristiwa ini berlangsung selama hampir dua tahun. Sambil berkisah-kasih karena asmara, saya menahan rasa takut dan curiga berlebihan pada lelaki itu karena ulah si perempuan. Hal tersebut akhirnya saya anggap sebagai bumbu asam-manis sampai pahit dalam kisah percintaan seseorang di dunia ini. Always... possitive thinking.

Well, sekarang kami sudah hidup bersama. Lalu dengan tergesa Ia menghapus segala amarah yang mungkin telah bersarang bahkan melumut di kepalanya. Ia membuka blokiran facebook lelaki itu. Ia membiarkan tubuhnya kembali diguyur masa lalu, sambil belajar melepaskan dengan cara yang tepat. Kenyataan tersebut saya terima dengan pikiran limbung, kalau-kalau suatu saat Ia meminta pertanggungjawaban lelaki itu. Akhirnya saya berimajinasi. Jika memang tak ada jalan keluar, keputusannya adalah berpisah dan meninggalkan. Saya belum suka dengan kata "poligami". Barangkali banyak wanita yang sepaham dengan saya. 

Tapi tenang, itu hanya imajinasi saya dalam cerpen (hehe). Tidak mungkin kami berpisah, kami kan bercita-cita punya banyak anak. Tidak mungkin juga berpoligami. Satu saja sudah kelimpuhan mengurusnya - ujar lelaki itu. Sekarang, saya sudah menghapus pertemanan facebook dengan perempuan itu, sejak Ia berkata bahwa dirinya telah benar-benar "ikhlas". Percaya tidak percaya, saya hanya bisa mengamini dan berdoa.

Semoga segera berlabuh wahai hati yang masih mengembara di laut lepas. Kembalilah pada tubuh yang telah dijanjikan Tuhan untuk menimbun rusukmu dalam-dalam. Segeralah berbakti padanya, tanpa menengok lagi ke belakang -kepada kami yang sudah lama melepas kenangan. []


12.17 am
berterimakasihlah karena sudah saya doakan. (^_^)9

Never Expired

"I believe that happiness never expired."

Ternyata tidak begitu. Entah apa yang tidak akan pernah kadaluarsa di dunia ini. Barangkali saya luput mengetahuinya. Tapi sebuah kepercayaan adalah motivasi tersendiri bagi saya. Jadi, saya harus percaya bahwa kebahagiaan kita tidak memiliki masa kadaluarsa.

Itu saja.

Rabu, 22 Oktober 2014

Tulisan Investigasi

Ketika Prostitusi Dilegalkan

Bandung termasuk salah satu kota yang konon disorot sebagai kawasan prostitusi tertinggi kedua setelah Surabaya. Beberapa tempat yang sudah tak asing lagi di mata masyarakatnya menjadi langganan para lelaki hidung belang yang sengaja datang dengan berbagai alasan. Salah satu tempat yang paling dikenal masyarakat Bandung sebagai tempat prostitusi bernama Saritem.
Pada masa penjajahan Belanda, nama Saritem tersohor sebagai tempat hiburan malam seperti diskotik dan karaoke. Menurut salah seorang pekerja, sebut saja Anggrek, tempat itu didirikan oleh seseorang berkebangsaan Belanda yang sengaja menjadikannya sebagai tempat hiburan orang-orang Belanda ketika masih menjajah Indonesia.  Dinamakan Saritem awalnya karena tempat tersebut terletak di jalan Saritem. Namun karena tempat itu menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat Bandung, maka tempat tersebut sempat ditutup.  Setelah resmi ditutup pada tahun 1998, didirikanlah sebuah pesantren di sana.
Seiring berjalannya waktu, tempat tersebut hadir kembali karena beberapa pekerja seks yang sengaja memunculkannya lantaran sulit mencari pekerjaan di bidang lain. Mereka sudah meyakini bahwa pekerjaan itulah yang mampu mereka lakukan dan bisa menghidupi mereka serta keluarganya. Menurut Anggrek, dipilihnya kembali kawasan itu sebagai tempat prostitusi karena letaknya yang strategis. Akhirnya sekitar tahun 2000, tempat tersebut hadir dengan sebutan lain. Tempat yang dekat dengan sebuah bangunan pesantren itupun kini disebut Gang Pesantren. Konon pengadaan tempat itu sudah mendapat izin dari pihak berwajib kota Bandung, sehingga pihak pesantren tidak berani menggugat keberadaannya. Namun tetap saja ada beberapa orang yang masih senang menyebutnya Saritem.
Anggrek menjelaskan bahwa tempat tersebut kini dikelola oleh orang-orang yang memang mengabdikan diri di sana dan berkaitan dengan kegiatan tersebut, di antaranya para pekerja seks, calo sebagai perantara pelanggan kepada pramunikmat, dan dokter yang sengaja dihadirkan untuk menangani kesehatan para pekerja seks serta pelanggannya. Anggrek juga menyebutkan siapa saja para pelanggan yang datang ke tempat itu. Kebanyakan pelanggannya adalah pekerja kantoran. Tak jarang para pegawai dinas juga mengunjungi tempat itu, sebutlah para polisi dan tentara militer. “Pegawai dinas tidak boleh berkunjung kalau sedang memakai baju dinas,” jelas Anggrek. Sebagian besar pelanggan mengaku berkunjung ke tempat tersebut untuk mencari kesenangan belaka, namun ada pula yang sengaja datang karena sedang stres dengan pekerjaan mereka dan masalah rumah tangganya.
Tempat yang sudah memiliki banyak pelanggan itu dibuka mulai pukul 12 siang sampai pukul 5 pagi dengan fasilitas yang cukup memadai, seperti kamar tidur yang bersih, kipas angin di setiap ruangan serta kamar mandi yang lengkap dengan shower.
Mereka memasang tarif yang beragam dan terjangkau, berkisar antara Rp 100.000,- sampai Rp 500.000,-. Tentu saja pelanggan yang berani membayar mahal yang akan memperoleh layanan terbaik. Pekerja seks yang berumur 25 tahun ke atas memasang tarif mulai dari Rp 100.000,-. Bagi mereka yang baru bekerja di tempat tersebut dipasang tarif Rp 150.000,- sebagai bahan tarif percobaan. Apabila pekerja baru itu mendapat banyak pelanggan, maka tarif yang dipasang pun dinaikkan, tergantung dari kesepakatan pekerja seks dan pelanggannya. Di tempat tersebut bekerja pula para janda muda yang memasang tarif Rp 200.000,-. Sementara para pekerja seks yang bertubuh bagus dan berparas cantik memiliki tarif tersendiri. Di antaranya, bagi mereka yang berusia sekitar 23 sampai 26 tahun memasang tarif Rp 250.000,- dan ada juga yang  berusia 19 sampai 25 tahun yang memasang tarif Rp 300.000,-. Sedangkan tarif termahal sebesar Rp 400.000 sampai Rp 500.000,- dipasang oleh para pekerja seks yang bertubuh bagus, berkulit putih, berparas cantik, dan biasanya mantan model.  Sampai saat ini, tempat tersebut masih ramai dikunjungi lelaki hidung belang yang ingin mencari kepuasan meskipun harus berani membayar mahal tarif yang dipasang.

Catatan :
Tulisan ini ditulis kisaran tahun 2012, untuk itu apabila Anda yang membacanya berada di tahun yang berbeda, mohon perhatikan perkembangan zaman dan aturan yang saat ini sedang berlaku di masyarakat kota kembang, sehingga kita bisa sama-sama memosisikan berita ini sesuai porsinya. Barangkali tahun ini sudah tidak dilegalkan dan atau lain-lainnya. Segala kemungkinan bisa saja terjadi seiring perkembangan zaman dan berjalannya waktu. Terima kasih.

NB :
(Tulisan ini diperoleh dari hasil wawancara salah seorang teman saya bersama seorang pegawai / pramunikmat di tempat tersebut yang kemudian saya transkip ke bentuk tulisan sebagai bahan investigasi sewaktu mengontrak mata kuliah di kelas Jurnalistik angkatan 2010).

Sabtu, 13 September 2014

Musik Pengiring Ketika Menulis

Sedari dulu sudah menggemari musik-musik instrumen film Full House.
Beberapa di antaranya :

Paradiso

 시 (Instrumental)

Too Late

Amazing Love

Selain itu, musik-musik di bawah ini juga berpengaruh loh (bagi saya). Terutama tulisan yang isinya seputar kenangan, kesedihan, masa silam, dan atau sejenisnya. Semacam metode sugesti-imajinasi jika dikaitkan dengan penelitian atau pembelajaran, sih. Ini hanya beberapa dari koleksi musik yang saya sukai. Sebetulnya masih banyak lagi musik-musik favorit untuk menulis. Sekadar berbagi, ya.. hanya beberapalah. Check it!

Stuff We Did

Historia De Un Amor

Kojo no tsuki

And then, masih banyak lagi.
Musikalisasi puisi misalnya? santapan wajib dong!
Karya-karya (puisi) eyang Sapardi Djoko Damono yang sudah banyak dimusikalisasi oleh para apresiator di dunia ini. Di antaranya:

Hatiku Selembar Daun - SDD

Hujan Bulan Juni

Aku Ingin  atau Aku Ingin (versi rekaman)

dan satu lagi yang terfavorit, tapi belum nemu di youtube. Judulnya "Di Restoran".
Kapan-kapan saya unggah ke soundcloud deh.

Setelahnya, saya akan gelisah karena suatu hal yang entah apa. Duet antara pikiran dan hati yang saling meronta, meminta untuk segera diluapkan. What it is? entahlah. Sesuatu yang mengganjal ~ sebuah kegelisahan pada akhirnya muncul tiba-tiba. Maka, “menulislah!”

Setiap orang memiliki perbedaan dalam menyulut ketertarikan serta kemampuannya terhadap menulis. Saya? gelisah dulu, baru menulis. Kegelisahan tidak hanya ditunggu kehadirannya. Kita juga bisa menciptakan kegelisahan itu sendiri. Caranya? cuma masing-masing dari kita yang tahu. Misal membaca, membuka-buka file lama (masa lalu), mendengarkan musik-musik mellow, nonton film drama-romantik, dan lain sebagainya. Ini hanya sebagian dari cara untuk mencipta kegelisahan. Pada akhirnya kitalah yang menjemputnya sendiri, berangkat dengan kendaraan apapun itu.

So… kapanpun kita bisa menulis dong meskipun tidak sedang gelisah?
Memang benar! Menulis itu gampang dan bisa dilakukan kapan saja.
Tapi... tulisan yang seperti apa dulu hasilnya?
Berkualitaskah? Nah! :)

*renungkan! ^_^

Selasa, 09 September 2014

*Favorite Quotes in Perahu Kertas Movie*




 “Gimana kita bisa terus jalan kalau tempat kita berpijak aja beda.”
“Kenangan itu cuma hantu di sudut pikir. Selama kita cuma diam dan nggak berbuat apa-apa, selamanya dia tetap jadi hantu. Nggak akan pernah jadi kenyataan.”
 “Carilah orang yang nggak perlu meminta apa-apa, tapi kamu mau memberikan segala-galanya.”
“Hati tidak pernah memilih. Hati dipilih. Karena hati tidak perlu memilih. Ia selalu tahu ke mana harus berlabuh.”
“Ada saatnya cinta harus dilepas, tidak digenggam dengan begitu erat. Bahwa ada saatnya kita tidak perlu berlari, tapi berhenti, melihat sekeliling. dan tersenyum.”
“Nyerah sama realistis itu beda tipis..”
“Apa yang orang bilang realistis, belum tentu sama apa yang kita pikirkan. ujung ujungnya kita juga tau kok, mana yang diri kita sebenarnya, mana yang bukan diri kita. Dan…kita juga tau apa yang kita pengen jalani.”
 “Tidak akan ada masa depan bila tidak ada masa lalu. Pengkhianat terbesar adalah harapan kosong. Kenyataan terpahit adalah kenyataan yang tak setinggi harapan itu.”
 “Karena bersamamu, aku tidak takut lagi jadi pemimpi.”
“Dalam hidup, kita harus memilih antara Mimpi dan Realita.”
there’s time where we need to survive and there’s time where we must surrender.”
 
 
 
(catatan : tulisan ini dari blog tetangga, namanya sama-sama Intan ^_^  ini sumbernya >> http://intansearth.blogspot.com/2012/10/perahu-kertas-movie_14.html )

Sabtu, 06 September 2014

finally....

Akhirnya kami melepasmu dengan segera,
setelah dua tahun terakhir kau menjadi benalu dalam hidup kami.
Akhirnya kami rela membiarkanmu terlunta-lunta menghadapi hidup yang rumit ini.

Terima kasih sudah menjadi bagian dari masa lalu kami.

Ya. Hidup di dunia begitu singkat.
Pergunakan waktumu tanpa kami, mulai sekarang.

Minggu, 31 Agustus 2014

Tulisan Penutup Bulan Agustus

Wow, sudah lama tidak mengisi blog kece ini. B-)

Tadi pagi saya buka-buka fb, tetiba nemu sebuah link yang dibagikan oleh salah satu senior saya di ASAS. Kenapa juga tetiba saya nulis di blog? ya kerna ini! kerna saya ingin membagikan link yang saya baca tersebut.

Sekadar berbagi motivasi, spesialnya buat laki saya yang kebetulan kuliah di jurusan sastra and you know what i mean? saya agak risih dengan orang-orang desa saya (lembur/kampung) yang mungkin enggak terlalu paham tentang sastra itu apa dan ngapain sih kuliah di jurusan tersebut, nanti kerjanya apa, dan.. blablabla blablabla. Barangkali mereka khawatir saya tidak ternafkahi dengan baik. What? saya perempuan yang mau berkarir kok nanti, jadi enggak apa-apa kalau laki saya kerjaannya di rumah, di sebuah ruang kerjanya yang penuh buku-buku laiknya perpustakaan, terus dia standby ngadepin laptop dengan segelas kopi hitam dan rokok kretek. Hihihi. (beberapa orang menganggap ini bukan sebuah pekerjaan? ckck).

Seperti yang pernah teman saya tulis dalam statusnya di fb,
"saya ingin memiliki suami yang tetap berpenghasilan, bukan berpenghasilan tetap."
(saya tidak mau menerjemahkan, silakan pahami baik-baik kata-kata tersebut!)

dan seperti yang pernah dikatakan oleh dosen linguistik saya di kampus,
"carilah laki-laki yang tetap bekerja, bukan bekerja tetap."

Nah...
sekaitan dengan itu, saya punya link yang tadi pagi dibagikan oleh kang Ubai di fb ASAS. 
Nih link-nya :


Setelah baca-baca itu link, saya jadi manggut-manggut sendiri. 
So, what's wrong? Saya sudah memprediksi kalau suatu saat bakal ada yang menganggap remeh jurusan ini. Tapi kembali lagi ke setiap manusianya sih. Kuliah di jurusan lain semisal kedokteran, hukum, matematika, dll, kalau manusia yang ngelakoninnya enggak serius dan enggak bener, tetep aja hasilnya bakal buruk. Jadi jangan salahkan jurusannya ya. 
(iyaaaa...)

Satu lagi buat penutup,  kalimat dari senior yang nyomblangin saya dan WM dulu :

"kata-kata lebih hebat daripada senjata." (hehe)

you know what i mean? yeah.. *sssttt...* ^_^

Sabtu, 19 Juli 2014

Kepada Ia

Jangan pernah mengecewakan keluargamu sendiri. 

Saya sudah, dan sedang tak baik dengan ia (seseorang yang masih kecewa terhadap saya). Kapan akan berlalu? entah. Saya malu untuk menghubunginya lebih dulu, padahal seharusnya tak begitu. Orang yang sejak kecil mengetahui perkembangan hidupmu, mendukung karirmu, memotivasi, membantu, melatih menghadapi kehidupan baru, ia sekarang terasa jauh. Jauh.... bahkan jauh untuk kudekap. Tak ada yang salah dengan pertengkaran kami. Ini adalah bentuk kasih sayangnya pada saya, begitupun sebaliknya. Saya rindu ia - yang masih menimbun kekecewaannya pada saya.

- Maafkan saya, Kak. Semoga lebaran kali ini bisa memusnahkan keegoisan kita masing-masing.

Jumat, 27 Juni 2014

Ours

Untuk apa saya menulis dan berceloteh di dalam blog ini? 
Kenapa tidak membeli buku harian saja seperti zaman sekolah dulu? 

Rasanya kaku menulisi kehidupan sekarang dalam sebuah buku harian, padahal itu adalah kegiatan yang lebih baik ketimbang menulisinya dalam media sosial. Padahal itu adalah kegiatan yang lebih rahasia, daripada mengumbar kehidupan untuk dibaca oleh banyak orang.

Lalu apa untungnya menulis keseharian saya di dalam blog atau media sosial lainnya yang jelas-jelas akan dibaca oleh semua orang?

Ask me something...

Saya menulis di blog ini untuk menarik benang merah antara masa depan dengan masa lalu. Saya tahu, banyak sekali  yang ingin kamu tahu tentang kehidupan kami di sini. Sekalipun berupa ocehan yang menyia-nyiakan waktu, tapi itu bisa menjadi titik acumu untuk menariknya dengan kehidupan-kehidupan yang telah lalu.

Jangan munafik, setiap tulisan yang saya tulis, adalah makananmu  untuk menyusun puzzle masa depan. Saya tak pernah yakin, apakah hal ini akan berhasil atau tidak. Saya baru akan berhenti, setelah kamu benar-benar melarungkan hidupmu pada seseorang kelak. Ketika kamu bahagia dengan orang yang benar-benar bisa menjadi pengganti kami dalam hidupmu. 

Maka biarkan saya terus berceloteh dalam blog ini, sekadar membuatmu merasa bahagia dan tersenyum picik melihat kehidupan kami yang monoton, atau mungkin membuatmu sedih dan gelisah karena mengetahui kehidupan kami yang sekarang jauh lebih baik dan menguntungkan.

Ya, saya akan terus menulis jika sedang gelisah dan memikirkan sesuatu yang aneh. Kecuali jika kamu bosan untuk mencari tahu tentang kami, atau jika kamu sudah berniat untuk tidak melarungkan hidupmu pada seseorang di luar kami selama-lamanya. 

Bisa saja saya berhenti menulisi kehidupan kami dalam blog ini, tapi saya khawatir pada hidupmu. Seolah masa depanmu ada di tangan kami. Seolah masa depanmu juga bergantung pada tingkah laku kami saat ini. Kami peduli terhadapmu, tapi mungkin tak akan lama.

Kami khawatir kalau-kalau kami yang lebih dulu bosan menunggu reaksimu di sana, menunggu kamu memberi kabar bahagia bahwa kamu sudah menemukan orang yang tepat.

Ah, sudahlah. Keputusan ada di tanganmu, sejak dulu saya selalu ingin menanyakan hal ini padamu..

"apa kamu menunggu sampai saya mati, baru kemudian kamu bisa tenang dan rela melarungkan hidupmu pada seseorang lain di luar kami?"


tentu, itu akan kamu jawab seketika dalam tulisanmu yang lain.
Maka biarkan saya tetap menulis, agar kamu bisa merangkai masa depanmu sekarang.
Saya tahu, kamu tidak pernah ingin merasa dikasihani oleh siapapun, tapi untuk masa depanmu yang melibatkan banyak masa lalu kami, saya rasa itu perlu.


Kamis, 19 Juni 2014

Celoteh

kapan terakhir kali kamu menulis puisi?
tepatnya sebulan lalu. Ketika saya benar-benar gelisah, lantas mendaratkannya dengan menulis. Tapi hasilnya kurang indah. Saya rehat menulis puisi sejak bulan itu, kebetulan karena saya ingin fokus pada tulisan lain yang lebih mempertaruhkan nyawa saya di kampus. Ya, si tuan S! - called skripsi. *heem*

kapan terakhir kali kamu menulis cerpen?
tepatnya dua bulan lalu. Ketika saya namai cerita itu sebagai "Cerpen Akhir April" dan melabuhkannya di blog ini. Saya menulisnya dengan tergesa-gesa karena takut kehilangan ide. Pikiran saya begitu padat bulan-bulan ini. Saya enggan membiarkan ide-ide itu mengawang, tanpa parasut untuk mendarat, atau pelampung untuk menepi. Saya ingin ide itu sampai pada tempatnya. Kau tahu, rayap dalam kepala saya hampir beranak pinak. Saya khawatir ia memakan seluruh ide terbaik dalam pikiran saya.

kapan terakhir kali kamu mengoceh di media sosial?
sampai detik ini pun saya masih mengoceh. Entah apa yang saya ocehkan. Rasanya ingin terus berceloteh tanpa ada telunjuk yang menuding bibir saya untuk diam. Sampai kau benar-benar membacanya!

kau? siapa 'kau'?
kau? barangkali adalah saya, bisa juga kamu yang sedang membaca, atau si orang ketiga dalam naskah ini yang entah di mana keberadaannya. Siapapun 'kau', saya ingin kau membacanya.

haaah... sudahlah. Saya mau melanjutkan celoteh ini dalam mimpi. Semoga besok masih ada pasokan ide dalam kepala untuk melanjutkan tulisan akhir saya di kampus.  

Good night!


Senin, 16 Juni 2014

Memorandum

Tiba-tiba saya rindu kedua orang tua, keluarga dan masa-masa terdahulu, sebelum empat tahun lalu saya mendaratkan diri di jurusan yang penuh dengan bacaan sepadat ini.

Tiba-tiba saya ingin bereinkarnasi menjadi siswa kelas 12. Melarungkan gairahnya pada jurusan yang tepat. Seni Musik, baru kemudian Bahasa. Tapi saya memperoleh Bahasa. Sudahlah, ini jalan saya. Barangkali kalau tidak larung ke Bahasa, saya tidak mungkin melanjutkan tulisan-tulisan klise semacam ini. Saya tetap senang, sekalipun passion nomor dua yang saya peroleh. 

Kalau begitu, saya telah bereinkarnasi menjadi bocah TK. Karena saat menduduki taman kanak-kanak itulah, gairah membaca saya mencapai puncaknya. Majalah Bobo, Ino, dan koran-koran yang berisi cerita anak-anak, selalu menjadi teman ketika makan dan sebelum tidur. Ya, meskipun pada kenyataannya gairah bernyanyi dan bermain musik itu sudah tertanam sejak saya bisa berbicara dan berceloteh menanyakan lagu-lagu yang mengalun dari suara merdu ibu. Tapi keduanya bersinergi dalam tubuh saya. Bidang bahasa yang paling saya suka adalah keterampilan membaca dan menulis. Setelah sejak kecil saya dijejali keterampilan menyimak dongeng yang diceritakan oleh ibu, lantas saya menjadi tertarik pada dunia musik ketika ibu menyisipi dongengan tersebut dengan lagu-lagu pendukungnya. Sejak saat itulah saya gemar membaca. Apalagi ibu selalu membawa buah tangan berupa majalah anak-anak dan kumpulan kisah islam untuk anak teladan. Dari sanalah, gairah menulis pun muncul. Menulis cerita diselingi menulis larik-larik lagu untuk mendukung cerita tersebut. Saya senang memiliki pengalaman seistimewa ini. Berkat ibu.

Saya rindu ibu. Rindu dongeng yang ia ceritakan. Rindu suara merdunya dalam bernyanyi untuk mendukung dongeng tersebut. Saya selalu merindukan ibu.

Untuk mengenang dan membayar kerinduan ini, saya berniat menerapkannya pada anak-anak saya kelak. Bercerita atau mendongeng diselingi lagu-lagu lama yang khas dari dongengan tersebut.

Jadilah pendongeng yang baik, ujar ibu.
Ya, Engkau adalah pendongeng sekaligus penyanyi terbaik dalam hidup saya.
Ibu adalah guru pertama yang saya kagumi di dunia ini.

Selalu, seperti peribahasa 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya'.
Saya ingin sepertimu, bu. Menjadi perempuan mulia, perempuan multitalenta, yang bisa menjadi apa saja  dan berguna bagi anak-anaknya.



_memorandum dari ibu_

Sabtu, 14 Juni 2014

Edisi Nonton Teater

Akhir bulan kemarin sampai awal bulan ini, di tengah kesibukan saya menggarap ujian dan laporan PPL *tepatnya minggu-minggu lalu*, demi nama ketenangan batin, akhirnya saya memutuskan untuk ikut nonton teater secara berturut-turut. Maksudnya? Akhir mei sampai awal juni adalah hari yang penuh dengan garapan teater. Mulai dari nonton teater di jurusan, yaitu pergelaran sastra dari mahasiswa angkatan 2012 berturut-turut. Pertunjukannya diadaptasi dari puisi karya penyair terkenal, artinya bentuk transformasi puisi ke dalam drama panggung. Kemudian, dua garapan CD Teater yaitu Burried Child dan Mengandung Tuhan. Lalu parahnya lagi, garapan ujian akhir jurusan teater di STSI yang pementasannya berturut-turut juga. *ppffft*

Pertunjukan pertama yang saya dan suami tonton di STSI berjudul Pintu Tertutup. Lalu ada satu hari di mana pertunjukannya hanya sebentar sekitar 20 menit tapi mengocek dompet sebesar 25ribu rupiah perorang sebagai perayaan hari lingkungan hidup sedunia. Pertunjukan tersebut dipersembahkan oleh Teater Payung Hitam STSI Bandung. Kemudian hari berikutnya kami menonton Anna und Martha Sektor Ketiga, lalu berlanjut ke selasar sunaryo menonton pertunjukan berjudul Semangkapati (hanya yang mendapat undangan yang diperbolehkan masuk). Beruntunglah kami punya rekan baik dari STSI, sehingga undanganpun didapat di tempat. ^_^

Selain itu, sebenarnya saya juga mendapat undangan khusus dari siswa SMA Negeri 2 Bandung, tempat saya praktik mengajar. Undangan pertunjukan drama musikal yang dipersembahkan oleh ekskul Rumah Seni di sekolah tersebut. Tapi sayangnya, saya tidak bisa hadir karena cuaca tidak mendukung saya untuk berangkat.

Rasanya puas, di tengah penyusunan Laporan PPL dan revisi bab 1 sampai 3 yang super 'jelimet' dengan dosen pembimbing, saya masih sempat nonton teater yang 'bejibun' itu. Saya merasa seperti bereinkarnasi menjadi mahasiswa tingkat satu yang gemar berapresiasi (lagi). Senangnya!

Di luar, saya dan suami nonton teater yang berturut-turut. Di dalam kamar, kami juga tetap nonton. Tapi nonton film hasil memungut dari laptop rekan-rekan kami. Hahaha. Sampai seorang rekan kami berniat untuk menjual satu softfile film seharga tiga ribu rupiah, saking banyaknya film yang doi koleksi, dan banyak juga para "movie freak" di dunia ini.

Edisi nonton teater cukup sekian. Setelah hari ini, kami tetap berburu tontonan lagi di luar sana. Tentunya tontonan yang pas dengan dompet kami, tapi kebetulan semua pertunjukan yang kami tonton di atas itu adalah pertunjukan gratis, kecuali beberapa yang memang sangat berharga. Yaaa, sebenarnya dalam berkesenian kita dilarang menimbang-nimbang untung rugi uang yang kita keluarkan. Demi harga sebuah kesenian, berapapun harusnya tidak jadi masalah, 'berkesenian kok setengah-setengah' begitulah!

Edisi nonton film akan saya posting di luar wacana ini, supaya lebih terklasifikasi. Hehe.
Baiklah,
salam sastra, salam seni dan budaya,
tetaplah menjadi apresiator jika karya kita ingin juga diapresiasi orang lain.


^_^

Jumat, 13 Juni 2014

Mother of Alien(s)

Apa sih? Geje deh!
Awalnya saya bingung menanggapi sebutan nama yang diusung-usung oleh beberapa rekan saya itu. Ya secara, mother of alien(s), kenapa coba harus itu?
Ternyata eh ternyata, saya baru paham setelah sang laki menjelaskan semua-muanya. Hahaha.

Sejak resmi menjadi pengurus arena studi apresiasi sastra dan juga cd teater rintisan angkatan 2010, saya resmi ditetapkan sebagai "moa" (singkat). Itu karena hanya sayalah satu-satunya betina yang tersisa di angkatan 2010 yang masih rela mengorbankan waktunya untuk berpetualang bersama orang-orang aneh semacam mereka (red: lelaki berinisial wm, wec, aap, rrd, mu, ra, zn, wrs, mt, lsl, iw, dan lain-lain yang tidak mungkin saya sebutkan lagi karena keburu stres memikirkannya).

Wajar sih saya mendapat julukan semacam ini. Bayangin, setiap kali orang-orang ini kumpul dan bepergian ke suatu tempat, pasti cuma saya betina satu-satunya yang ikut. Yaa meski kadang ada beberapa betina lain yang terpaksa ikut karena alasan pacarnya ikut, kepingin refreshing juga, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Tapi yang sering nongol dan menetap di kumpulan orang-orang aneh ini yaa saya. Iyaaaa, saya. *ala dodit*

Bepergian malam, menghabiskan bensin untuk menikmati kota yang lengang, menghabiskan sisa uang untuk membeli kuliner baru dan aneh, bermalam di rumah salah satu rekan kami karena kemalaman di jalan, menatap bintang dan bulan yang kadang-kadang kepikiran kenapa mereka begitu akrab kayak kami ini, dan lain-lain, lain-lain...

Baiklah, minggu ini saya resmi dilepas dari tempat PPL yaitu SMA Negeri 2 Bandung. Rasanya sumringah banget! why? soalnya saya enggak dapet gaji sih. Coba kalau PPL dapet gaji, kan lumayan ya selama 4 bulan itu mengabdikan diri untuk bertemu manusia-manusia baru dan mengajari mereka ilmu yang tak pernah habis-habis. *halah* Yaa.. kan jadi kurang motivasi kalau enggak ada duitnya. *matre* *bukan pahlawan tanpa tanda jasa* oke!

Back ke persoalan "moa", begitulah kisah mulanya saya dinobatkan menjadi ibu dari para alien yang berkeliaran di jurusan kami. Kenapa mereka disebut alien? ada banyak alasannya sih. Maybe karena mereka adalah orang-orang yang terisolasi dari kepedulian dosen yang anti-kritikan. Bisa juga karena mereka adalah orang-orang yang doyan diskusi tapi dosennya 'ogah' diajak diskusi atau berdebat. *sama aja*

Yang pasti mereka adalah orang-orang yang peduli dan suka berkesenian. Umumnya lebih ke-anti pembodohan dari dosen. Tergabung dalam cd teater dan jurusan saya. Jurdiksatrasia. Beberapa di antaranya adalah pengurus asas, dan sisanya adalah teman main saya di luar akademik. (red: sahabat suami saya).

Sebetulnya, saya cukup diuntungkan dengan kehadiran mereka dalam hidup saya yang begitu monoton ini. Karena ketika PPL, saya enggak jarang ketemu sama makhluk baru di sekolah yang sifat dan kelakuannya mirip mereka. So, saya enjoy ngadepinnya, saking udah seringnya ketemu orang-orang aneh kayak mereka -_-

Setelah 4 bulan sibuk mencerdaskan bangsa *PPL*, akhirnya saya kembali jadi Mother of Alien(s)!
Tepatnya di suatu malam yang membebaskan kami dari beban mengajar karena semuanya sudah selesai ujian. Kami ber-7 (yang ikut) memutuskan untuk merayakan ulang tahun abang wec di sebuah tempat yang tak asing bagi kebanyakan lelaki. Yap, "Beerman"! 

Apa? saya ke beerman? baru kali itu kok! saya yang berkerudung dan tengah berbadan dua ini ikutan ke tempat semacam itu? astaghfirulloh! *ngelus dada*

Iya, saya juga enggak nyangka mereka bakal melarungkan motornya di tempat itu. Tapi apa daya, menemani suami dan beberapa rekan alien menghilangkan penat karena kesibukan yang menumpuk sebagai mahasiswa tingkat akhir, mengharuskan saya untuk rela diajak kemana-mana dan kembali jadi "moa". Tapi kali itu saya bukan betina satu-satunya. Beruntung saudari 'y' ikut, jadi bukan cuma saya satu-satunya perempuan berkerudung di tempat semacam itu. Oh God, oh my parents, oh my children, forgive me please.. forgive your mother!  forgive my husband - your father, boy!

Kebetulan ada donatur tetap di antara kami yang membayar semuanya, sehingga itu jadi point plus saya bersedia ikut dengan mereka. Mumpung gratis! Terus di sana saya ikutan minum? Iyalah ikutan minum! Eeeh tapi tenang, bukan minuman yang aneh-aneh kayak mereka. Seperti biasa, supaya bisa menghilangkan penat dan tetap sehat, saya memutuskan untuk memesan eskrim dan jus alpukat. Enough.
 
Btw, lama-lama saya baca ulang semua tulisan di blog ini isinya ocehan enggak penting semua. Saya lupa kalau udah jadi ibu rumah tangga. Tapi no problem, jadi IRT yang tetap gaul sama sosmed, apa salahnya. *ngelus poni*

Well, banyak banget yang pengen saya tulis dalam blog ini. Terutama pas saya dan suami pindahan kosan. Kunjungan demi kunjungan tak pernah surut menghujani ruangan kami. Yaa begitulah kalau resmi jadi induk dari anak-anak semacam mereka. Sekarang saya dan suami lagi bedrest - tepar! Saya yang terlunta-lunta menyelesaikan bab 4 & 5 tapi masih dibingungkan dengan bab 3 yang mengudara *belum ada revisi lagi* karena dospemnya terlampau sibuk. Juga suami yang sibuk merangkul bocah-bocah jurusan untuk berpartisipasi dalam garapan teater "Umang-Umang" sebelum mereka semua pada bubar karena mudik lebaran. 

Saking baru latihan teater lagi, olah tubuh lagi, olah vokal lagi, reading lagi, karena beberapa bulan sebelumnya sibuk menjadi ketua asas, akhirnya doi resmi tepar malam ini. Get well soon, Poem!

Duuh, saya pegel nih duduk dan ngetiknya. Udah dululah, saya mau istirahat dan nonton film-film baru di laptop. Eeeeh mau nonton bola juga sih, piala dunia. Tapi enggak tau deh, mau ngelus-ngelus suami dulu aja biar cepet sembuh dan bisa ngajak saya jalan-jalan lagi. Okesip. *enggak penting*

Terima kasih sudah sudi mampir dan membaca cuap-cuap basah yang menyia-nyiakan ini. 
Salam fifa world cup 2014. Salam pilpres 2014. Salam hujan bulan juni. Salam bulan ramadhan dan lebaran. Salam revisian dosen. Salam sidang skripsweet dan wisuda. Salam mudik dan liburan. Salam untuk waktu musiman semacam ini. Salam sayang untuk kelahiran yang sebentar lagi terjadi. Wassalam.

_tertanda : Mother of Alien(s)_

 

Senin, 02 Juni 2014

Hallo, June!

Selamat datang Juni. Masih ingat ceritaku tahun lalu tentangmu? ya, aku menulisnya satu bulan setelah menyelami tubuhmu. Lalu aku larungkan dalam tumblr :

-my little story-

Ada ingatan yang berkelebat dalam pikiran, tapi tak lama. Aku keburu sumringah dengan kehidupan sekarang. Selamat datang Juni, hanya itu. Selebihnya kuendapkan jadi kenangan.


Sabtu, 24 Mei 2014

Cerpen Akhir April 2014



Orang-Orang dari Masa Lalu
@tanzalea

Bandung, 2010.
Baru seminggu aku mengenalnya. Lelaki berambut ikal sebahu dengan lesung pipit di sebelah kiri. Itu yang menjadi petanda ingatanku tentangnya. Tak ada yang spesial dari pertemuan kami hari itu. Hanya keasrian taman yang dihuni beragam bunga dan beberapa pasang mata yang sudah siap memanen rindu bersama kekasihnya. Kami bukan sepasang kekasih, hanya dua orang insan yang diciptakan Tuhan untuk melakoni peran utama dalam naskah ini.
“Kamu tahu bagaimana rasanya jomblo?” dia memulai percakapan dengan lugu. Aku menggeleng dan tersenyum. “Seperti bunga mawar di sana.” Matanya berlari ke sudut taman, memapah mataku ke arah mawar yang mekar seorang diri di pojokan. “Lalu, apa maksudnya?” aku ikut lugu. “Kapan kamu putus dengan pacarmu?” Ia tak menjawab soal dariku. Seolah di otaknya sudah tersusun deretan pertanyaan yang harus kujawab tanpa memberi kesempatan padaku untuk melakukan hal serupa. “Sudah lima kali bertanya tentang ini, jawabanku ya tetap sama.” Aku berdehem sambil membenahi poni yang tertiup angin.
Senja begitu mesra membidik percakapan kami. Tapi aku tak pernah tahu, batu jenis apa yang bersarang di kepala lelaki ini. Ia selalu menanyakan hal serupa. Barangkali di otak kirinya hanya ada pertanyaan ‘kapan’, dan di otak kanannya hanya ada pernyataan ‘cinta’.
“Aku ingin menambah teman sebanyak-banyaknya. Apalagi di tempat baru seperti sekarang.” Ujarku. Ia menanggapi dengan menghela nafas, mengangkat bahu dan mematahkan lehernya ke kiri.
“Kalau nanti putus, orang pertama yang kamu beri tahu, harus aku ya.” Nafasku tertahan, mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya.
“Kenapa harus kamu?” Aku terkekeh, meski sudah tahu isi perasaannya, hanya saja waktu tak jua membawaku masuk ke dalam hidupnya. Aku belum bisa menyukai Male seperti kecintaanku pada Arnot. Ini kali kelima ia melontarkan pertanyaan itu. Tapi sudah berulang kali pula ia mendengar jawaban yang serupa dariku. Mulutnya tak pernah jera, seperti mulutku yang belum jera mengatakan, “Tidak tahu!

Jakarta, 2009.
Sudah rabu ketiga di bulan kedua tahun itu, seorang lelaki berambut mohack, berperawakan tinggi dan kurus, membacakan sebuah puisi untukku. ‘Aku Ingin’ karya Sapardi. Ia bertelanjang dada, berlari-lari mengitari lapangan basket sambil membacakan bait-bait puisi itu dengan lantang. Kali ini di dadanya tertulis namaku, “SYAHLA”.
Seluruh siswa berhamburan keluar kelas, menyaksikan adegan tak terduga di lapangan sekolah. Aku terbelalak di kantin, melihat Ratna, sahabatku, berlari kecil menuju kantin mencoba meraih tubuhku yang tengah asyik meneguk jus jambu di meja belakang. Tanpa melihat keramaian di kantin itu, Ratna berkata lantang “La, Syahla, Arnot baca puisi lagi buat kamu di lapangan. Di dadanya ada nama kamu. SYAHLA!” Teriak Ratna dibarengi sorak sorai penghuni kantin siang itu. Ratna langsung menyadari volume suaranya yang menggema. Dia langsung membungkam mulutnya dengan tangan kanan, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Matanya mendelik kaget, memelototiku yang mematung melihat kecerobohannya. Tanpa pikir panjang, ia menarik lenganku dan membawa tubuh kami keluar dari rasa malu.
Tapi tubuhku terlanjur diguyur malu. Bukan karena tingkah Arnot yang sengaja menulis namaku di dadanya, tapi karena kebingunganku menanggapi reaksi seluruh siswa yang menyaksikan peristiwa itu dan bersorak tak henti-henti. Seolah aku ini adalah objek dari luapan kegelian mereka atas tingkah laku Arnot di lapangan dan juga Ratna di kantin sekolah.
Pipiku merah padam, gerimis di mataku nyaris pecah. Sekali lagi bukan karena Arnot, tapi karena aku malu menghadapi teman-teman di sekolah yang mulai melontarkan kata-kata baru dalam ingatanku. “cie cie…” Satu kata dengan pengucapan berulang kali itu terus saja menggelayuti kupingku. Rasanya mual mendengar ejekan mereka. Tapi entah kenapa, peristiwa itu tak lantas membuatku membenci Arnot, malah sebaliknya. Aku mencintai Arnot.

Jakarta, 2010.
Sorak sorai seluruh siswa di sekolah kembali bersahutan. Kali ini bukan lagi menyoraki peristiwa konyol yang pernah menimpaku, melainkan menyoraki diri mereka sendiri yang mendapat kabar gembira bahwa angkatanku lulus ujian nasional 100%. Kabar tingkah gila Arnot dan kecerobohan Ratna di sekolah sudah lama mengendap di tanah, setelah setahun lalu aku dan Arnot meresmikan hubungan kami. Seolah rasa malu itu disulap menjadi rasa bangga. Entah karena alasan apa aku malah menyukai lelaki yang sudah bertingkah tak sewajarnya. Aku menyukai Arnot, menyukai puisi-puisinya yang banyak ditujukan padaku, menyukai tingkah konyolnya dalam berapresiasi. Entah mengapa aku selalu menyukainya, apapun yang Arnot lakukan, sekalipun terkesan vulgar dan memalukan. Barangkali Tuhan juga telah bertindak konyol. Ia memangkas habis rasa gengsiku di sekolah. Tuhan lebih mengerti apa yang sebenarnya tertanam dalam jiwaku. Ia Maha membolak-balikkan hati. Maha Menyutradarai.
Setahun ke belakang, aku banyak menghabiskan waktu dengan Arnot. Bahkan jatah waktuku di rumah, hampir setengahnya aku serahkan untuk Arnot. Aku mulai gemar mengoleksi buku-buku fiksi, sepatu gunung, ransel dan jaket tebal untuk pergi muncak. Seolah Arnot menyulapku menjadi perempuan feminim yang tangguh, ia membimbingku berbaur dengan alam. Aku mulai memiliki hobi membaca dan naik gunung, sama sepertinya. Kali itu Arnot mengajariku menulis puisi. Tapi pikiranku mandek, karena puisi adalah karangan pendek yang padat makna. Sementara gaya penulisanku bertele-tele, maka aku memutuskan untuk belajar menulis prosa.
Berawal dari ajakan Arnot ke sebuah toko buku di kencan pertama kami. Seterusnya aku menjadi tak asing dengan hal itu. Kami banyak menghabiskan malam minggu di kedai kopi rempah-rempah dengan fasilitas taman baca di dalamnya. Sesekali kami mampir ke toko buku hanya untuk menghabiskan sebuah bacaan, tanpa membelinya. Kami juga pernah menghabiskan sore di perpustakaan sekolah. Membiarkan penjaga perpus lembur menunggui kami yang tinggal berdua. Saat itu, hanya bersama Arnot aku merasa hidup kembali dan menjadi seorang Syahla dengan kebiasaan baru.


Bekasi, 2009.
            Entah dari mana dia berasal. Dari puluhan temanku di asrama, hanya dialah yang sangat antusias terhadap karyaku. Perempuan yang gemar menutup kepalanya dengan kerudung abu. Dengan sepasang mata sayup yang bertengger di wajah, tak lantas menjadikannya lelah untuk membaca seluruh tulisan yang aku bukukan sendiri. Layaknya manusia tujuh belas tahun yang baru mengenal masa remaja, ia mengaku baru kali ini memiliki teman lelaki sedekat aku. Hidupnya dulu dipenuhi aturan-aturan orangtua. Ia adalah seorang santri di sebuah pesantren ternama di Kota Bekasi. Sejak kecil pendidikannya tak lepas dari ajaran-ajaran pesantren, hingga usianya menginjak tujuh belas tahun. Hanya sejak dua tahun ini ia pindah ke sekolah negeri karena ingin berbaur dengan dunia yang lebih luas, tak sebatas aturan-aturan yang diusung keluarganya di pesantren. Perempuan itu berontak, tapi melalui prestasinya di bidang akademik. Ia mendapat beasiswa dari sekolah negeri. Ia juga mendapat biaya hidup gratis di asrama yang kami tempati. Karena prestasinya itulah, keluarganya membolehkan ia melanjutkan pendidikan di sekolah negeri dan menempati asrama ini.
***
Sore itu tepat di hari sabtu, aku bergegas menuju asrama. Tubuhku kuyup, diguyur hujan yang kebetulan bermukim di kotaku. Tak banyak yang aku bawa, hanya uang receh sepuluh ribu rupiah dan sebuah novel Kahlil Gibran yang aku balut dengan kantong plasik dan kuselipkan di dalam jaket. Langkahku terhenti ketika memasuki pintu asrama. Seorang perempuan seusiaku tengah berdiri mematung di depan pintu, membawa sebuah payung di lengan kirinya, dan lengan kanannya dipenuhi tas-tas yang bergelayut penuh beban. Perempuan itu tampak kebingungan.
Karena penasaran, aku mencoba menyapanya dan bermaksud mengurangi kebingungannya. Tapi tak disangka, perempuan itu tiba-tiba menampar wajahku dan berlari masuk ke lobi asrama. Aku kaget dibuatnya. Tubuhku bergetar, bukan hanya kedinginan karena tubuh yang kuyup, tapi juga karena reaksi yang timbul serentak ketika mendapati tangannya sudah mendarat di pipiku.
Pertemuan yang mengejutkan itu tak lantas membuatku jera untuk berkenalan dengannya. Letak kamar perempuan itu ada di lantai 2, tepat di sudut lift. Aku sering melihatnya ketika lift yang kunaiki singgah di lantai 2. Hanya sesekali tersenyum menyapanya, meskipun tak dibalas dengan senyum ramah, tapi seminggu berpapasan dengannya di dalam lift membuat ia luluh juga.
Rabu sore aku berniat mengunjungi sebuah toko buku di sebrang asrama. Kunaiki lift yang hanya ada satu di asrama itu. Dan Tuhan kembali menulis skenario-Nya yang indah. Aku dipertemukan lagi dengan perempuan itu. Kali ini hanya kami berdua di dalam lift. Aku senang melihat matanya yang sayup. Tak sengaja penglihatanku tertuju pada matanya. Sehingga ia agak risih dan mulai berdehem keras. Aku kaget dan langsung memalingkan pandangan. Perempuan itu lalu mengulurkan tangannya.
“Laila.” ucapnya. Tanpa basa-basi, aku balas sapaan itu dengan meraih jabatan tangannya, “Maleku.” jawabku tegas. Seperti ada yang menggelitik urat nadi, kami pun terkekeh di dalam lift. Akhirnya Laila meminta maaf atas peristiwa pertama kami di depan asrama yang selama ini mengganjal pikirannya karena belum berani menemuiku untuk meminta maaf. Pertemuan hari rabu itupun menjadi awal kedekatan kami. Perempuan itu tak segan padaku. Meski pakaiannya terlihat kuno dan kerudungnya menutupi dada, ia tetap berani bersalaman denganku. Menatap wajahku tegas, dan tertawa bersama denganku menghabiskan hari rabu di toko buku.
***


-to be continued
(script writer : Intan Pertiwi)