“Perempuan, biasa menggunakan perasaannya
untuk menulis. Gunakanlah sesuatu yang ada dalam benakmu.” Seperti lilin yang
menerangi kepekatan, Zulfi mengembalikan semangat menulisku yang sempat padam
karena Akbar mulai tampak menjauh dariku.
“Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu
bang?” 
“Apa?”
“Kau tampak begitu utuh sebagai seorang
lelaki, tidakkah kau berniat untuk menambah keutuhanmu dengan mempersunting
hati seorang perempuan?” 
Zulfi mengernyitkan dahi, dia tersenyum
lirih sambil memainkan tatapannya padaku. “Kau mau?” 
“Maksudmu?” 
“Tak ada.” Singkat, aku bingung dengan
apa yang ia ungkapkan. Aku tahu abangku ini jago merangkai kata, sehingga tanpa
pikir panjang, ia mampu mengolah kata-kata untuk dikeluarkan dari mulutnya.
Seolah ada yang mengejar degupku, dadaku dirundu debaran dahsyat. Mataku
gerimis, entah karena apa. Tapi segala sesuatunya tumpah saat itu juga di
hadapan Zulfi.
“Hei, kenapa menangis? Aku salah bicara
yah?”
Aku hanya terdiam, lalu mengusap air
yang berkelindan di pipiku. Zulfi tersenyum sembari memanggilku lagi.
“Apa yang kau rasakan?”
“Tidak ada Bang. Melihat sikapmu, aku
jadi ingat seseorang sewaktu SMA. Seorang lelaki yang juga kuangkat sebagai
kakakku. Entah karena apa, dia resmi menjadi kakak angkatku, padahal aku tahu,
dia amat menyayangiku melebihi perasaan seorang kakak terhadap adiknya. Tapi..”
bolehkah ku tahu...siapa dia ? Atw, justru aku telah mengetahuinya? Hm....ya, dia kukira.
BalasHapushihi, bundaaa, intan yakin kok bunda pasti tau. masa lalu itu enaknya dibikin cerita ya bun, biar jadi kenang-kenangan :)
BalasHapus