Selasa, 28 Mei 2013

next story

“Perempuan, biasa menggunakan perasaannya untuk menulis. Gunakanlah sesuatu yang ada dalam benakmu.” Seperti lilin yang menerangi kepekatan, Zulfi mengembalikan semangat menulisku yang sempat padam karena Akbar mulai tampak menjauh dariku.
“Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu bang?”
“Apa?”
“Kau tampak begitu utuh sebagai seorang lelaki, tidakkah kau berniat untuk menambah keutuhanmu dengan mempersunting hati seorang perempuan?”
Zulfi mengernyitkan dahi, dia tersenyum lirih sambil memainkan tatapannya padaku. “Kau mau?”
“Maksudmu?”
“Tak ada.” Singkat, aku bingung dengan apa yang ia ungkapkan. Aku tahu abangku ini jago merangkai kata, sehingga tanpa pikir panjang, ia mampu mengolah kata-kata untuk dikeluarkan dari mulutnya. Seolah ada yang mengejar degupku, dadaku dirundu debaran dahsyat. Mataku gerimis, entah karena apa. Tapi segala sesuatunya tumpah saat itu juga di hadapan Zulfi.
“Hei, kenapa menangis? Aku salah bicara yah?”
Aku hanya terdiam, lalu mengusap air yang berkelindan di pipiku. Zulfi tersenyum sembari memanggilku lagi.
“Apa yang kau rasakan?”

“Tidak ada Bang. Melihat sikapmu, aku jadi ingat seseorang sewaktu SMA. Seorang lelaki yang juga kuangkat sebagai kakakku. Entah karena apa, dia resmi menjadi kakak angkatku, padahal aku tahu, dia amat menyayangiku melebihi perasaan seorang kakak terhadap adiknya. Tapi..”

2 komentar:

  1. bolehkah ku tahu...siapa dia ? Atw, justru aku telah mengetahuinya? Hm....ya, dia kukira.

    BalasHapus
  2. hihi, bundaaa, intan yakin kok bunda pasti tau. masa lalu itu enaknya dibikin cerita ya bun, biar jadi kenang-kenangan :)

    BalasHapus