Minggu, 08 Desember 2013

5 Puisi dimuat dalam Harian Indopos Jakarta (edisi sabtu 7 desember 2013)

Manusia hanya berusaha, Tuhan yang menentukan. Sudah dua minggu sebelum 7 desember saya mengirim sebanyak 12 puisi ke redaktur Koran Nasional - Indopos Jakarta, yang tak lain adalah seorang penyair besar, Sutardji Calzoum Bachri. Saya tak pernah berambisi untuk bisa dimuat dalam harian tersebut. Mendengar nama redakturnya pun saya hanya bisa mengernyitkan dahi tanpa ada harapan besar untuk pemuatan karya saya. Tapi Tuhan memiliki jalan lain yang membuat gairah menulis saya bertambah. Ketika bulan-bulan akhir ini saya disibukkan oleh kegiatan UKM dan tugas-tugas kuliah yang semakin meradang buas, saya malah membelokkannya dengan menulis puisi. Saya pikir puisi-puisi ini hanya akan menjadi puisi kamar yang tidak akan pernah dibaca banyak orang, tapi Tuhan berkehendak lain. Tuhan menampar saya melalui karya-karya ini. Tuhan menggugah pikiran bengkok saya yang hampir melenyapkan puisi begitu saja dari ritual sehari-hari saya. Tuhan memiliki opini tersendiri ketika saya memilih vakum untuk menulis puisi. Inilah hasil skenario Tuhan yang sudah dirancang sedemikian hebat. Saya mengagumi Tuhan, sama seperti DIA mengagumi hasil usaha saya.
Epapernya belum sempat saya download, karena Indopos jarang menampilkannya di Internet. Kalaupun ada, proses penayangannya yang cukup lama. Akhirnya saya mendapat kabar dari seorang penggiat sastra berinisial KS yang barangkali sudah membeli korannya di Jakarta, bahwa kelima puisi saya inilah yang lolos dalam rubrik Hari Puisi Indopos.
Selamat mengapresiasi puisi-puisi ini. Salam!


Patetis (1)
Wishu Muhamad

setelah berminggu-minggu ditinggalkan olehmu
ternyata inilah yang sanggup aku tuliskan :

setumpuk pakaian kotor di bawah ranjang
sebundel selimut kering di ujung kaki
dan sisa airmata menempel di bantal kita.

tak peduli rambut kusut menambah kisut dadaku
setiap hari aku bercermin
dan menemukan bagian-bagian dari tubuhku yang asing

kau bilang,
“mencintaimu adalah mencari yang tak pernah terjawab oleh cermin”

lalu sebagian usiaku kau tulis dalam puisi.

kini, di hadapan cermin itu
aku hanyalah perempuan
yang selalu memiliki alasan
untuk dicintai atau dilupakan.

2013.



Melukis Senja
Bara

 –kuas
kepada siapa kularungkan penantian ini
tiap menit adalah waktu yang sekarat bagiku
jam terus berdetak
tapi tak jua menggariskan bayangmu
hanya kental oranye yang melucuti tubuhku

 –mata
kanvas di ujung kuasmu berkata:
tak ada yang berubah dari tubuhku,
selalu tentang mentega di langit biru
dan seseorang asing yang kau temui di Gilimanuk
seperti orbit yang memutari pandanganku.

 –kanvas
di Jembrana, kau menyulap kuas satu warna;
memotret tangkapan mata
kali ini bersama awan cumulonimbus,  sesekali 
menjelma fibratus cirrus, melumer  di tubuhku

 –senja
wajahku tak ubahnya hadir dalam potretmu
seperti gravitasi yang melekat pada kanvas dan kuasmu
tibatiba terpampang dalam Travel Photographer
dan seseorang asing di Gilimanuk
masih menunggumu; membawaku padanya.

2013.



Patetis (2)
: Bah

pada dedaun rimbun
kutulis doa untukmu
pemikul rezeki
kelak sepersatu daun itu luruh
menguap bersama angin
melindap dalam pusara,
semoga menjadi pertanda
jiwa bersemuka
kita adalah  tubuh yang serupa
dalam dua termin masa

ketika sangkakala bergema
segugus petuahmu menjelma ruh
bagi jengkal nafasku yang ripuh

2013.



Cermin
 : Maila

di wajahmu yang bulat
sesudut rona berbinar cemas
mengedipkan sayap sayup mata
bergelung menjelma ombak lanun
yang telah pikun.

langit bertungku bukanlah waktu yang sakral
sebab tubuhmu tetap melengkung
mengitari bulan yang kaku
memantul lewat celahcelah kaca; pecah.

pada jejarum jam yang tak terlihat
telunjukmu menyerupai hulu
larut dalam muara mata
kakimu serupa egrang; menumpu asa.

tidakkah kau ingat, Maila
cermin yang memotretmu
memahatkan luka dan kenangan 
yang pernah bersarang
di tubuh kita

jika pantulannya hanya keindahan semu,
tubuhmu adalah kebohongan terburuk
bagi seluruh pemilik rusuk.

2013.



Mengemas Waktu

aku hendak berkemas dari tiparmu,
ketika fajar menyarak mimpi
dan embun menganak sungai
di antara cilap mata ini.

pun aku mulai berkemas dari tiparmu,
ketika surya membidik pupil
dan semesta menjelma perangai yang labil.

aku akan tetap berkemas dari tiparmu,
ketika langit tunggang gunung
dan mega memutasikan iga
yang tertimbun di lengan kirimu.

akhirnya aku berkemas dari tiparmu,
ketika butir bulan menyingsing malam
dan kunang-kunang menamatkan segala percakapan.

2011.



Biodata Penulis :
Intan Pertiwi, lahir di Cirebon 12 September 1992.
Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI Bandung. 
Saat ini tengah menggarap skripsinya ihwal pembelajaran menulis di sekolah.


Sabtu, 07 Desember 2013

Desember

pada siapa kularungkan penantian ini
tiap detik adalah waktu yang sekarat bagiku
jam terus berdetak, tapi tak jua menggariskan bayangmu
hanya gigil semu yang merunjam bibirku

kini,
saat musim merebahkan usia
tubuhku adalah dingin yang tak lagi teraba
dan hujan adalah kebekuan terburuk
bagi seluruh pemilik rusuk.


Memoar, 2013.

Senin, 24 Juni 2013

Ingatan Tentang .....

Pagi ini mendadak gairah nulis saya timbul lagi setelah ke sekian kalinya nonton film Perahu Kertas di laptop. Enggak tau kenapa, saya kaya dihipnotis sama musiknya, dan alur cerita yang disuguhin film itu cenderung ngembaliin ingatan saya ke beberapa tahun silam. Tepatnya pas sekolah dasar -- called Cimon -- Cinta Monyet. hehe.

Darwis, seorang murid lakilaki yang baru masuk kelas 2A di sekolah saya. Dia itu murid baru, tapi otaknya encer, pinter banget! Masamasa sekolah dasar adalah masa terpintar selama hidup saya. Ya, soalnya pas  SD, saya ngeraih juara pertama berturut-turut dari kelas satu sampai enam. *Takdir Tuhan*

Yup! Darwis itu otaknya gak kalah encer dari saya, peringkat ke dua yang saat itu lagi ada di tangan Ayu, langsung dia rebut tanpa rasa berdosa sedikit pun begitu dia resmi jadi murid baru di kelas kami. So good! keren!
Lelaki bertopi yang punya mata sipit dan wajah agak chiness itu, dia menduduki peringkat dua setelah saya! Hampir takut peringkat satu juga direbut dia, makanya saya ekstra belajar, supaya angka satu itu tetep betah jadi penghuni peringkat raport saya.

Dia -- lelaki berjubah hujan (Nocturno).

Darwis terkenal murah senyum dan pinter ngegambr. Pernah saya curi-curi pandang sama dia pas di kelas, tepatnya pas mata pelajaran seni rupa. Dia jago mainin pensilnya loh, wow banget deh, dan kamu tau apa gambar yang dia buat? sebuah alat musik, men! Gitar! (kelas 2 SD udah bisa bikin gitar yang keliatan hidup dan nyata. Hah, You're the best!)

Saya enggak tau kalau itu kali pertama saya kesengsem sama anak lakilaki yang begitu memesona. Selain pinter, dia jago ngegambar. Wah, kan? Mukanya ganteng meskipun sampai sekarang saya belum tau kayak apa muka gedenya, tapi saya yakin kok dia masih tetep memesona seperti dulu.

Tepat di kelas 2 SD dia masuk jadi murid baru, sering becanda bareng saya, sering ngelempar senyumnya ke muka saya terus saya tangkep pake tangan dan saya usap ke pipi tembem saya. *hah* -,-"

yaa... begitulah Darwis dengan segala kekonyolan dan kecerdasan otaknya itu.

Sampai suatu hari sahabat saya--Ayu, kedapetan surat dari Darwis, kata Ayu surat itu buat saya, tapi belum saya buka dan malah saya simpen di dalem tas gendong bergambar twiti kesayangan saya. 

Esoknya, Ayu berniat ngajak saya buat jadi detektif-detektif'an.

Sepulang sekolah saya sama Ayu penasaran pengen tahu rumah Darwis saat itu, jadi sengaja deh Ayu punya ide konyol buat mengintai Darwis dari belakang pas dia ke luar gerbang sekolah. Akhirnya dengan segala keberatan--seberat badan saya, dan demi nama persahabatan yang begitu erat dengan Ayu, saya pun ikut mengintai! *padahal penasaran juga*

Ayu dan saya ngikutin Darwis dari belakang, dia lagi jalan bareng temen lakilaki kami bernama Carta. Mereka berdua kompak banget kaya tim, ke mana-mana berdua, yaa... mungkin Darwis baru aja dapetin sahabat hidupnya di sekolah itu. Setelah agak jauh kami ngikutin dia, ada rasa curiga kami yang berlebihan, kayanya Darwis sengaja belok-belok ke gang yang acak deh -- keliatannya Darwis tau kalau kami lagi memata-matai langkah dia. 

And then, pas Darwis belok ke sebuah gang, saya sama Ayu langsung tancep gas buat belok juga, soalnya langkah Darwis sama Carta cepet banget, kami pun belok ke gang yang melenyapkan tubuh Darwis di mata kami. Dan ternyata, pas belok......

jleb!

nothing "somebody".....
Beneranlah mereka lenyap dan kami kehilangan jejak mereka! *heuh*
Kami nengokinn muka ke semua penjuru, tapi gak ada satu pun helai rambut mereka yang tersepuh angin dan mencolok mata kami. Gang itu kosong, kami enggan untuk lanjut berjalan karena udah kehilangan jejak dari situ.
Akhirnya kami balik ke arah pulang. Sialnya, begitu balik arah, suara tawa langsung pecah di belakang kami. Saya dan Ayu langsung nengokin muka, and then... mereka berdua nongol lagi di gang itu. Carta keliatan ketawa puas banget ngeliat gelagat kami, sampai mukanya merah kaya jus tomat yang udah di mix pake stroberi. ckck. Kalau Darwis, dia cuma senyum lucu sambil sedikit ngelepas tawa renyahnya, eeeeeh ada lesung pipinya juga, saya baru beneran jelas ngeliat lesung pipinya. Heeeem, truly renyah dan memesona ! *keukeuh*

Entah dengan kekuatan dari mana, saya dan Ayu keburu kaget dan malu, akhirnya kami langsung ngacir dengan seribu langkah dari aspal gang itu. Kami langsung pulang ke rumah dan berharap besok Darwis sama Carta amnesia untuk selama-lamanya--tentang hari itu.

Setahun di kelas 2 udah bikin saya lumayan deket sama Darwis, sampai tiba saat kenaikan kelas 3 SD, Darwis gak dateng di acara perpisahan dengan wali kelas 2. Semua anak yang saya absen mukanya hadir kok, tapi saya gak ngeliat muka Darwis nongol di kelas itu. Saya agak sedih, apalagi saya bawa hadiah buat dia--buku gambar-- supaya dia bisa terus menggambar dan kelak ngelukis wajah saya. *hope*

Setelah pulang ke rumah dan membongkar isi tas twiti kesayangan saya, akhirnya terbukalah semua itu. Yap, tepatnya di sebuah surat usang yang udah beberapa hari jadi penghuni tas saya. Darwis nulis surat itu pake tulisan tangannya sendiri. Saya masih inget, ada gambar dua muka di surat itu. Yang pertama muka perempuan dengan rambutnya diiket satu, dan kedua, muka lakilaki yang rambutnya belah dua. Gambar muka itu berhadapan, di antara keduanya ada gambar love kecil. Barulah saya tau pas ngeliat tulisan di bawah gambar itu. Gambar perempuan tertulis nama saya, dan gambar lakilaki tertulis nama dia sendiri. 

Itulah cinta monyet saya yang enggak bertepuk sebelah tangan--kalau kata orang dewasa sih.

Memang.. cinta itu tidak bertepuk sebelah tangan, cinta itu terus menuju ke hati kami, cinta itu saling melengkapi meskipun usia kami masih terlalu dini. Ya, cinta itu biasa orang sebut cinta monyet, apalagi usia kelas 2 SD, terasa begitu janggal jika sudah mulai jatuh cinta. Tapi kami melakoninya, kami merasakannya meskipun kami tidak tahu bagaimana kelanjutan cerita cimon kami.

Surat itu adalah surat cinta pertama dan terakhir yang Darwis berikan pada saya. Saat esoknya masuk sekolah, saya sudah mendapati kabar bahwa Darwis pindah ke Jakarta karena neneknya di daerah itu meninggal dan ia resmi tinggal di Jakarta serta melanjutkan sekolahnya di sana.

Sampai saat ini, Darwis belum tau tentang perasaan saya, belum tau apakah cimonnya bertepuk sebelah tangan, atau lantas menjadi hujan yang meresap ke dalam tanah lalu subur di atas tangkai-tangkai pepohonan yang rimbun. Entahlah. Darwis belum juga menampakkan wajahnya di hadapan saya. 
Pertemuan mengejutkan disertai perpisahan yang mengejutkan pula. Darwis pergi tanpa pamit, Darwis pergi membiarkan saya menanggung perasaan itu seorang diri-- ketika seorang saya belum patut untuk berbicara serius tentang cinta, bahkan mengeja dan mengingat-ingat bentuk hurufnya pun masih terasa sulit. Darwis pergi dan belum saya temui sampai detik saya menulis catatan usang ini. 
Seandainya dia tau, masamasa itu adalah masa yang terlalu bocah untuk mengutarakan bahasa cinta, apalagi membiarkannya luntang lantung karena ditinggal kabur pencurinya.

Darwis -- dan ingatan tentang ..... (?)


(IP, Juni 2013)




Selasa, 28 Mei 2013

next story

“Perempuan, biasa menggunakan perasaannya untuk menulis. Gunakanlah sesuatu yang ada dalam benakmu.” Seperti lilin yang menerangi kepekatan, Zulfi mengembalikan semangat menulisku yang sempat padam karena Akbar mulai tampak menjauh dariku.
“Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu bang?”
“Apa?”
“Kau tampak begitu utuh sebagai seorang lelaki, tidakkah kau berniat untuk menambah keutuhanmu dengan mempersunting hati seorang perempuan?”
Zulfi mengernyitkan dahi, dia tersenyum lirih sambil memainkan tatapannya padaku. “Kau mau?”
“Maksudmu?”
“Tak ada.” Singkat, aku bingung dengan apa yang ia ungkapkan. Aku tahu abangku ini jago merangkai kata, sehingga tanpa pikir panjang, ia mampu mengolah kata-kata untuk dikeluarkan dari mulutnya. Seolah ada yang mengejar degupku, dadaku dirundu debaran dahsyat. Mataku gerimis, entah karena apa. Tapi segala sesuatunya tumpah saat itu juga di hadapan Zulfi.
“Hei, kenapa menangis? Aku salah bicara yah?”
Aku hanya terdiam, lalu mengusap air yang berkelindan di pipiku. Zulfi tersenyum sembari memanggilku lagi.
“Apa yang kau rasakan?”

“Tidak ada Bang. Melihat sikapmu, aku jadi ingat seseorang sewaktu SMA. Seorang lelaki yang juga kuangkat sebagai kakakku. Entah karena apa, dia resmi menjadi kakak angkatku, padahal aku tahu, dia amat menyayangiku melebihi perasaan seorang kakak terhadap adiknya. Tapi..”

Rabu, 01 Mei 2013

Memberi Makan PK

jauh-jauh hari saya sudah berencana ingin memberi makan blog PK ini, tapi lantaran tugas dan kesibukan yang menggonggong buas minta segera diadilkan, akhirnya PK agak terlantar. Bukan karena tak mau mengurusi dan tak ada bahan yang ingin saya bahas, melainkan kurangnya waktu senggang saya untuk mengoceh dan berkicau di sini dalam kondisi yang gelisah atau mungkin sehat walafiat sehingga apa yang saya tulis bisa sesuai jalur dan tidak menambah kerutan di dahi para pembacanya (red : kalian). *iuh

tidak pernah terlintas di benak saya untuk menuangkan hal-hal tidak penting seperti ini dalam blog PK, tapi entah karena virus bacaan dari mana akhirnya saya malah lebih sering ngoceh tidak jelas dari pada berbagi ilmu dan pengetahuan berdasarkan pengalaman keren yang mungkin saya alami.

rasanya kaku -- dua kata yang selalu berlarian di kepala saya, dua kata tersebut pernah dilontarkan seorang perempuan hebat yang menginginkan saya mengetahui sebagian kecil hidupnya bersama kekasih saya. Hahaha. *lucu

yap, rasanya kaku harus menulis apalagi di waktu se'mepet ini --- waktu yang selalu dihantui oleh tugas buku ajar, garapan teater, event sastra, deadline liputan, dan sebagainya-sebagainya (!)

PK butuh makan
makan yang menunya harapan
makan yang dibubuhi sambal kehidupan dan dinetralisir oleh manis asam minuman penyejuk badan.
PK sedang lapar dan membutuhkan asupan energi dari seseorang.



pk -- Peramu Kata []

Sabtu, 20 April 2013

Cerita Mini


COKELAT PEMBERIAN AYAH
oleh Intan Pertiwi

Ingatanku berpencar ke masa-masa silam. Ada ritual kasih sayang ayah yang selalu kudapati tepat di hari ulang tahunku. Beberapa tahun ke belakang, ketika ayah masih memeluk tubuh mungilku sambil membawa sekotak cokelat kesukaanku. Ayah mendulang hujan di mataku dengan potongan cokelat yang ia hiasi permen kristal dikemas dengan pita merah. Sekotak cokelat pemberian ayah yang tahun ini belum aku dapatkan.
Malam ini adalah dingin tersunyi yang aku rasakan. Entah karena kos-kosan yang sepi, atau karena perasaanku yang kosong tanpa penghuni. Aku dirunjam rindu pada kasih sayang manis yang selalu ayah sematkan dalam sekotak cokelat. Tiba-tiba ayah datang membawa sekotak cokelat. Tapi cokelat itu tidak berbentuk boneka salju melainkan berbentuk burung hantu dan tidak dihiasi permen kristal. Ayah justru membawa kotak cokelat yang dihiasi pita hitam. Aku melayangkan senyum pada ayah, tapi ia meluncurkan gerimis di matanya. Aku sangat terkejut dan langsung memeluk ayah, karena perasaan khawatir, aku pun menangis kencang hingga terbangun. Kudapati ruang kosan yang sunyi, tak ada ayah di pelukanku. Aku memanggilnya, tak ada yang menjawab, hanya suara jangkrik yang semakin mendorong batinku untuk menelepon ayah.
Belum sempat mengambil telepon genggam, ia sudah berdering lebih dulu. Suaranya nyaring, memekikkan telinga dan mempercepat degupku. Aku meraih telepon genggam yang ada di samping bantalku, tampak sederet nomor baru. Saat kujawab telepon itu, muncul suara lirih di dalamnya. Kak Rina menelepon, dia sudah sampai di gerbang kosan. Dia menyuruhku untuk membukakan gerbang. Belum sempat bertanya, telepon terputus.  Tanpa pikir panjang aku langsung keluar dari kamar, kakiku menabrak sesuatu di lantai. Mataku langsung menjurus padanya, dengan gemetar kuraih sebuah kotak berisi cokelat boneka salju dengan hiasan permen kristal dan pita cantik berwarna merah. Aku tersenyum, itu pasti dari ayah, tapi di mana ayah. Buru-buru aku berlari keluar kosan menuju pintu gerbang. Di balik deretan besi kos-kosanku tampak kakak tengah berdiri. Aku membuka kunci gerbang, kulihat tubuh kakak yang layu dengan mata sembap. Kakak langsung memeluk tubuhku erat sambil mengeluarkan isak yang membuat degupku semakin kencang. Ia berbisik pelan, “Mobil Ayah masuk jurang, De. Ayah mengalami kecelakaan saat menuju ke sini.” []

Perempuan dan Objek (Karya) Sastra



oleh Intan Pertiwi*

Perempuan dalam berbagai hal seolah tak pernah dingin untuk dibahas. Topik mengenai perempuan selalu menjadi obrolan hangat baik dalam ranah politik, ekonomi, dan budaya. Dalam berbagai hal, perempuan selalu menjadi sumbu utama untuk dipermasalahkan sebagai objek atau mungkin dibatasi ruang geraknya.
 Saat ini kita mengenal istilah feminisme, sebuah gerakan yang diusung oleh para perempuan karena adanya keterbatasan dalam berekspresi. Perempuan dinilai sebagai manusia lemah yang selalu ada di bawah ketiak lelaki. Namun seiring perkembangan zaman, perempuan menjadi ikon yang popular. Artinya, tetap menjadi bahan perbincangan yang hangat sekalipun bukan lagi mengenai keterbatasan perempuan, melainkan adanya perubahan posisi perempuan di dunia yang kerap diistilahkan sebagai emansipasi wanita (kesetaraan gender).
Kita pasti tak asing dengan istilah ladies first. Kehadiran istilah tersebut menjadi suatu ikon yang memunculkan keambiguitasan. Pertama, kita bisa mengartikannya sebagai ungkapan “silahkan perempuan terlebih dulu atau sama dengan nomor pertama (jika pada antrian)”. Namun, ada pula makna kedua yang terkandug dalam istilah tersebut, yakni “karena perempuan lemah, silahkan lebih dulu, biar laki-laki yang menjaga di belakangnya”. Pemaknaan yang kedua mungkin jarang diinterpretasikan karena mereka cenderung mendengar makna yang pertama.
Berkembangnya fashion perempuan, gaya hidup, dan penampilan, secara tidak langsung sudah mengangkat istilah emansipasi wanita yang mengekor di belakang perkembangannya. Ini membuktikan bahwa perempuan menjadi objek yang indah dan memengaruhi kemodernitasan zaman. Itulah yang menjadi alasan banyaknya karya yang bersumber dari perempuan. Salahsatunya adalah karya dalam dunia kesusastraan Indonesia atau karya sastra.
Objek sastra
Dihadapkan pada konteks kekinian, perempuan cenderung menjadi objek suatu karya sastra. Tak jarang karya sastra yang dibuat oleh penulis lelaki selalu mengangkat sosok perempuan di dalamnya. Ambil contoh, dalam dunia perpuisian Indonesia, seorang penyair laki-laki mampu mengolah kata dengan indah jika objek puisinya adalah perempuan. Sebaliknya jika kita melihat dari sisi penyair perempuan, kebanyakan dari mereka kesulitan mengolah kata tentang gambaran dirinya sendiri. Mereka justru lebih piawai menggambarkan apa yang terjadi di luar dirinya sendiri.
Adanya karya yang dibuat penulis lelaki untuk perempuan, sebenarnya telah memanjakan sosok perempuan untuk tetap berperan sebagai objek suatu karya. Perempuan beranggapan bahwa dirinya sebatas objek, penikmat, dan apresiator karya sastra. Hal inilah yang menjadikan sedikitnya minat perempuan dalam berkarya, semisal menulis.
Selain itu, hambatan perempuan dalam dunia sastra pun disebabkan oleh ruang gerak yang terbatas. Meskipun sudah mengusung emansipasi wanita, tapi tetap saja pada dasarnya perempuan memiliki kewajiban lain yang dianggap lebih memakan waktu ketimbang melulu mengurusi karya sastra. Sehingga dalam dunia kesusatraan Indonesia pun kita hanya mengenal segelintir nama penyair perempuan yang mampu melambungkan puisi-puisinya.
 Kita hanya mendengar nama-nama penyair perempuan terdahulu, semisal Maria Amin, Toety Heraty, Abidah El-Khaliqi, Nenden Lilis A. dan Dorothea Rosa Herliany. Sedangkan pada zaman kekinian, nama-nama penyair perempuan yang muncul hanyalah Hanna Fransisca, Pranita Dewi, Avianti Arman, Dian Hartati, Fina Sato dan Anis Sayidah. Deretan nama tersebut pun hanya dikenal oleh mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai penggelut sastra. Di luar orang-orang itu, sejumlah nama tersebut mungkin hanya menjadi sebuah nama yang biasa dan tidak diagungkan.
Hal inipun dibuktikan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Nama-nama penyair perempuan tidak digunakan sebagai contoh puisi. Kebanyakan pelajaran tentang puisi mengangkat nama penyair laki-laki semisal Chairil Anwar, W.S.Rendra dan Taufik Ismail. Sehingga tunas-tunas bangsa kita cenderung merasa asing dan tidak mengenal sastrawan lainnya di Indonesia apalagi sastrawan perempuan.
Minimnya perempuan sebagai subjek atau pelaku dalam sebuah karya secara tidak langsung memunculkan pergeseran istilah emansipasi wanita yang mengagung-agungkan kesetaraan gender itu. Perempuan dalam dunia ini sangat berpengaruh tapi bukan sebagai pelaku, melainkan sebagai objek dari sebuah tingkah laku. Perpuisian Indonesia pun secara tidak langsung telah menjadi bukti adanya pergeseran hal tersebut yang memengaruhi peran perempuan dalam bidang sastra.[]

*Intan Pertiwi, Aktif dalam Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI Bandung.


Artikel ini pernah dimuat dalam harian Inilah Koran Jabar edisi 14 Maret 2013

Jumat, 19 April 2013

about friendship

Tahu tidak, hari ini saya kembali nonton AADC di laptop. Tepat ba'da zuhur tadi saya iseng (lagi) ngeklik folder film yang sudah beberapa tahun jadi penghuni laptop saya, dan akhirnya kembali menonton film yang sudahsudah.

AADC - ingatan persahabatan yang dulu pernah saya alami kembali menyeruak di kepala. Semasa SMP saya punya geng, bukan geng brutal, tepatnya geng belajar.

Adalah Geng Munir yang punya akronim Geng Mudah Nyengir. entah karena kepolosan dan keluguan kami atau bagaimana, sampaisampai lahirlah nama geng yang akronimnya sangat rancu ini. *hehe

Satu lagi, Geng Munir terbentuk ketika kami menduduki kelas 9 yang terdiri dari empat orang lelaki dan tiga perempuan - salah satunya saya. Persahabatan dimulai ketika kami resmi menjadi pengurus OSIS. Saya yang dipercaya warga SMP menjadi wakil ketua OSIS pun akhirnya bisa merasakan kembali namanya persahabatan.

Yup, mengapa ada ungkapan "merasakan kembali" ? karena sebelumnya, tepat kelas 8, saya memiliki sebuah geng lain yang tak sengaja terbentuk lantaran kebersamaan yang sering dilakukan. Saya memiliki enam orang teman perempuan yang resmi mengajak saya bergabung dalam sebuah geng bernama "SEGHA" akronim dari Seven Girls Happy. - lebih baik dari nama geng semasa kelas 9. *hehe

Ada beberapa cerita menarik dan masamasa keren ketika saya tergabung dalam geng-geng kece ini. *hahaha
Tapi bukan sekarang, nanti - setelah saya selesai membuat pulau, pasti cerita ini berlanjut.


enough! - gelisahnya mulai reda, nanti saya sulut lagi supaya blog ini bisa penuh. Ok.

bye bye ~

Ocehan

malam ini judulnya "kangen" - seperti lirik lagu dewa 19 yang diputar ulang terus menerus di laptop sampai saya tidur nanti (pas x-factor udahan).

malam ini saya rindu, tapi entah rindu yang seperti apa. saya juga kebingungan mencari penawar dari penyakit akut ini. selain bertemu dan bersama kamu, apalagi coba yang bisa ngobatin penyakit musiman semacam ini? jawabannya - entah! hahaha.

malam ini kamu pamit, aku diam.
aku pamit, kamu diam.
(kaya lirik lagu d'massiv ~lalalala...)

kami berpisah dengan sederhana, sebelum langit tunggang gunung, sebelum burungburung pulang ke kandang biangnya, sebelum ada yang mengakut di tubuhmu, kami berpisah dengan sederhana.

tepat di kota ini
angin membaca perih rindu yang jauh
menyepuh luka, melambaikan rupa
semacam ritual di musim cinta
kita mengakhiri percakapan sembari menyulut kenangan
lalu menghadiahi malam dengan rimbun kerinduan yang nanar di pikiran


- kegelisahan yang berujung pada ocehan - 


2013, Penamat Kata untuk Poem.


Senin, 15 April 2013

Patetis

kali ke sekian
tulisanku usang
kau tak sesuai bayangan
aku pergi jadi kenangan


2013

Minggu, 14 April 2013

Sajak Kehilangan Tuan

Semacam penyakit musiman yang datang ketika tidak ada lagi persuaan.
semacam rindu tapi berakhir jemu.
semacam cinta tapi berakhir lara.
untuk dua hari tanpamu, aku bisa, meski mata berkacakaca.

Semacam ritual pemanggil cinta;
kau yang duduk di sebuah dipan
dengan tubuh menghadap selasar jalan
ditemani bakau yang mengepul perlahan
sembari menyulut rinai-rinai kesakitan.

Dari tempat berbeda
aku membayangkanmu berdiri menopang jemu
bersiap menyisipkan segugus pilu
sembari berurai kenangan dan haru
lantas berkata,
"Padamu, kukembalikan sebait rindu"

untuk Poem yang dua hari ini hilang dari pandangan
untuk Poem yang selalu aku rindukan
untuk Poem yang kuanggap sebagai pahlawan

ini sekadar sajak tak bertuan
tidak memiliki rasa yang menakjubkan
ini sekadar ungkapan kasih sayang
sebelum tiba hari pertemuan



untuk Kekasih yang ditinggalkan;
Poem - Lelaki penyulut rindu







[April 2013, Intan Pertiwi]

Kamis, 11 April 2013

about First Love "a little thing called love"

Malam ini saya berencana menyusun beberapa berita yang sudah saya siapkan bahannya. Tapi nasib berkata lain. Mendadak jari saya memainkan kursor ke arah folder film yang ada di laptop kesayangan saya ini. And then, I find it! yup! First Love, sebuah film yang udah bikin hati saya terenyuh (lagi). Udah berapa kali nonton film ini yaaa? anehnya saya gak pernah bosen dan film tersebut resmi menjadi penghuni tetap laptop saya!

Ini kali ke sekian saya sering berimajinasi liar. Entah kenapa tiap kali kelar nonton film tertentu (biasanya drama romantik) mendadak pikiran saya berlari-lari menggapai masa silam. Saya seolah diajak kembali buat mengulang beberapa tahun ke belakang. Sebuah pikiran liar yang mengembalikan ingatan saya tentang seseorang. Who? "Someone"?

Pernah gak sih kalian memisalkan sesuatu. Yup, misalnya beberapa karakter tokoh yang ada di ceritacerita tertulis atau bahkan film yang kamu tonton tibatiba menjelma orangorang yang pernah ngisi hidup kamu? hahaha.

Saya langsung ngangguk kalau ada yang nanya gitu. Kenapa yah? Jawabannya simpel. Saya terlalu mendalami sesuatu yang telah saya alami, sampaisampai hal tersebut sering berlarian di ruang gerak saya.*uhuk

It's about you! about him, about her, about them, about us, about all - called love!

Semua itu berkelindan di dalam kepala saya. Kadang bikin saya tertunduk lemah, tapi gak jarang juga bikin saya sumringah. Perasaan semacam "dejavu" itu kayaknya hadir, padahal kadar kemiripannya enggak utuh kok. Yaaa, namanya juga "fiksi belaka". Tapi saya rasa ini juga dialami oleh kebanyakan orang, menyamakan tokoh dalam film atau novel dengan kehidupan nyata dirinya. Hoho.

Terdengar lucu, tapi tulisan ini belum sampai pada inti pembicaraan saya kok! Sayangnya arloji berputar sangat cepat. Tepat dua belas dua puluh dua, dan tiba waktunya saya untuk membuat pulau. Oke, ini cuma intermezo aja. Next time, saya mau nulis kaitan film A Crazy Little Thing Called Love dengan kehidupan remaja saya. Uwow. Entah kenapa baru sempet nulis catatan ini setelah beberapa kali nonton filmnya. Awal nonton film tersebut saya terlena untuk tidak melakukan apaapa terhadap alur filmnya. Tapi baru kali ini saya gelisah setelah nonton lagi, akhirnya nulis catatan usang ini deh. 
Ok Guys, I think enough. See you next time!

- hal kecil yang disebut cinta -

sedikit saya kutip terjemahan dari soundtrack penutup film Thailand ini :

bisakah kau dengar itu?
hatiku
apakah memberitahumu bahwa aku mencintaimu
tapi aku tidak bisa mengungkapkan rasa sejatiku untuk siapapun

bisakah kau dengar itu?
hatiku
apakah masih menunggu di sana untukmu untuk membuka
dan aku hanya bisa berharap kau akan tahu itu
bahwa aku satu di sini untuk mencintaimu

semoga kau mengetahuinya
kelak







*First Love - a little thing called love*

Senin, 08 April 2013

Membuat Draft Adegan (2)


Tahun 2012 lalu saya mengampu salah satu mata kuliah semester empat yaitu Pergelaran Sastra yang berupa pertunjukan teater. Ketika itu saya dinobatkan oleh anggota kelas untuk menjadi tim kreatif dalam penulisan naskah dramanya. Cerpen yang kami pilih adalah Warna Ungu karya Ratna Indraswari. Tapi, berhubung saya juga tengah sibuk menghadapi resital Teater Lakon ketika itu, akhirnya draft adegan dalam naskah ini belum selesai dan masih setia menjadi penghuni laptop saya. Belum sempat saya publikasikan karena adegannya yang masih gamang. Akhirnya, draft adegan dari rekan saya yang lain telah rampung dan dipentaskan untuk pergelaran sastra kelas. Dan karena kesibukanlah saya meninggalkan tulisan ini yang memang belum saya umbar ke mata semua orang, termasuk rekan dekat saya. Sepertinya saya masih belum berminat untuk melanjutkannya.



Adegan 1
Setting Kamar Luke
Lampu menyorot anak kecil yang membawa papan bertuliskan tanggal 14 Februari 2000.



Adegan  Luke kembali ke rumah setelah tiga hari hilang

Setting ruang tamu rumah Luke
Luke datang tergopoh-gopoh menuju ruang tamu tanpa mengetuk pintu. Orang tua dan keluarga sedang duduk di kursi ruang tamu. Mereka  berdiri ketika Luke datang menerobos kegelisahan mereka.
Mamah Luke : “Luke…..”
Luke : “ Mamah…. Papah….” (sambil memeluk orang tuanya)
Seluruh keluarga memasang wajah heran dan penuh pertanyaan. Salah seorang keluarga menelepon Indra untuk datang ke rumah itu.
Pakde Luke : “Halo, nak Indra. Bisakah Nak Indra dan keluarga segera datang ke rumah keluarga kami? Luke telah kembali. Mungkin ia bisa menjelaskan penyebab dari semua permasalahan ini. Ya, kami tunggu.”
Papah Luke : “Ke mana saja kamu? Apakah kamu lupa dengan acara pernikahanmu sendiri?”
Mamah Luke : “Luke, jelaskan pada mamah apa yang sebenarnya kamu lakukan?”
Luke : “Maafkan Luke Mah, Pah,  waktu itu Luke…..”
Keluarga Indra datang dengan wajah yang tidak menyenangkan.
Papah Luke : “Nah, Indra dan keluarganya telah datang. Ayo jelaskan pada kami.”
Luke : “Waktu itu… waktu itu aku merasa gerah, seorang anak kecil membimbingku untuk keluar dari rumah ini.”
Indra : “seorang anak kecil? Siapa dia?”
Luke : “Entahlah, aku berpikir untuk menghibur anak itu dan kukira dia adalah salah satu anak dari keluarga besar kita.”
Mamah Luke: “kamu taukan bahwa keluarga kita tidak memiliki anak kecil selain bayi dari saudara sepupumu? Lagipula semua anak di keluarga ini sudah tidak pantas dikatakan sebagai anak kecil karena usianya sebaya denganmu Nak.”
Mamah Indra : “waktu itupun menurut saya, anak-anak keluarga kami juga tidak berkeliaran menuju kamarmu Nak.”
Luke : “Entahlah. Aku tidak berpikir sejauh itu, karena aku sangat peka terhadap anak-anak. Apalagi anak itu terlihat murung. Sehingga naluri kecilku tergerak untuk menghiburnya. Lalu kami pergi menaiki becak yang parkir di depan rumah, dengan harapan aku akan kembali tepat pukul 14.00 sebelum menikah. Ini sensasi yang luar biasa. Aku dan anak kecil itu merasa bahagia, Mah. Kami ke sebuah taman anak- anak minum es krim dan duduk-duduk di kursi taman. Hingga akhirnya waktu menunjukkan pukul 16.00. Aku tersadar bahwa sudah terlambat untuk pulang ke rumah dan anak itu tiba-tiba sudah pergi entah ke mana, sehingga aku panik dan bergegas mencarinya.”
Papah Indra : “Hey nak, kau nampak naïf dengan jawaban itu. Apakah kau mengkhayal atau justru kau merahasiakan sesuatu dari kami?”
Keluarga Indra mengangguki
Pakde Luke : “sebentar, barang kali Luke belum selesai menceritakannya.”
Mamah Luke : “ayo sayang lanjutkan ceritamu itu”
Luke : “ya, aku serius dengan ceritaku ini. Anak itu tetap tidak diketemukan, aku menangis dan mencemaskan anak itu. Kalau tidak bisa diketemukan malam itu, aku akan merasa sangat berdosa. Pasti orangtuanya sedang panik mencarinya. Memang, seharusnya aku melaporkan kehilangan anak itu pada keluarga dan polisi. Tapi aku merasa ketakutan dan berharap setiap saat anak itu akan muncul lagi dan kita bersama akan melewati hari-hari yang lebih bahagia. Aku cemas dengan keberadaan anak itu, Mah”
Indra : “Luke, sudahlah. Ceritamu itu sungguh tidak masuk akal. Kau terkesan gila dengan cerita konyolmu itu. Kau sudah menghancurkan semuanya. Pernikahan kita batal karena keteledoranmu. Aku tidak yakin untuk melanjutkan hubungan ini.”
Luke : “Tapi aku menceritakan apa adanya. Kalau pernikahan itu tidak jadi, aku tidak bisa disalahkan. Waktu itu aku dan anak kecil tersebut begitu bahagia dan aku begitu panik karena tiba-tiba anak itu tidak berada di sisiku.  (menunjuk ke indra) Seharusnya, kamu menganalisa masalah ini terlebih dahulu dengan lebih tenang, sebelum memutuskan hubungan ini. Kita masih saling mencintai bukan?”
Indra : “cinta? Dengan kekonyolan ceritamu itu, kau makin nampak tidak layak untuk dicintai.”
Papah Indra : “Sudahlah, keluarga kami sudah sepakat untuk memutuskan hubungan ini. Maaf sebelumnya, tapi keluarga kalian telah mempermalukan keluarga kami dihadapan banyak orang. Apa kata dunia jika seorang Indra yang segagah ini gagal menikah hanya karena wanitanya pergi tanpa kabar di hari pernikahan mereka?”

Membuat Draft Adegan (1)



Proses Membuat Draft Adegan Pertunjukan Teater

"Sura" karya Dewi Bulan
&
"Etalase Tubuh" karya Sahlan Bahuy


draft adegan ini saya buat ketika saya menjadi salah satu aktor dalam naskah tersebut untuk sebuah pementasan Teater Lakon yang diselenggarakan oleh Festival Teater Indonesia (FTI) di Gedung Rumentang Siang-Bandung pada tahun 2012 lalu. 

saya mencoba membuat draft adegan baru pada cerpen dan naskah yang sudah ada, belajar menulis dari adegan-adegan ketika berlatih teater. selamat mengapresiasi!

kalimat pengantar dariku :


"Duka hanyalah mentega yang meleleh di penggorengan panas"


list adegan

-       Sura kecil dididik dari keluarga yang over protektif, menyuruhnya belajar, dan melarang bermain ke luar dengan anak-anak seusianya.
-         Di rumah, ayahnya begitu keras padanya dan juga ibunya.
-        Sura amat dekat dan menyayangi ibunya. Suatu ketika ibunya mengajak Sura ke sebuah rumah sakit untuk menemani ibunya berobat. Mulai dari situlah Sura berjanji pada ibunya bahwa kelak ia ingin menjadi seorang dokter sehingga ibunya tak perlu repot-repot menyisihkan uang untuk membayar berobat atau sekedar menebus obat yang tak murah.
-     Suatu ketika Ayahnya bangkrut ketika Sura menginjak sekolah menengah pertama. Ayahnya mulai ketahuan sering main perempuan dan korupsi uang perusahaannya sehingga ia resmi dikeluarkan dari perusahaan itu dan harus membayar hutang buah korupsinya terhadap uang kantornya. Ayahnya mulai frustasi dan selalu menghambur-hamburkan uang yang dimiliki ibunya dan tidak memikirkan keperluan keluarganya lagi.
-       Sura tak peduli terhadap hal-hal tentang cinta yang biasa terjadi pada anak seusianya. Ia begitu jera terhadap lelaki karena perlakuan keras ayahnya pada ibunya di rumah. Akhirnya ia memutuskan untuk membenci lelaki dan hanya akan memikirkan pendidikannya saja.
-  Sura mendapatkan juara kelas berturu-turut, namun ia begitu angkuh dan sombong karena kepintarannya itu. Ia mulai meremehkan teman-temannya dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling pintar.
-       Sura beranjak dewasa dengan niatan menjadi seorang dokter karena citacita yang ia idamkan sejak kecil. Ia gigih belajar dan mencoba mendaftarkan diri ke beberapa lowongan beasiswa perguruan tinggi.
-   Suatu ketika ibunya sakit-sakitan karena perilaku ayahnya yang tidak bertanggung jawab pada keluarga. Dan ibunya pun tidak mampu bertahan hidup karena sakit yang mulai kronis itu. Akhirnya  sang ibu pun meninggal dunia.
-   Sepeninggal ibunya, Sura pun gagal meraih beasiswa impiannya untuk menjadi dokter karena ketidakkonsenannya ketika mengikuti ujian seleksi. Ia pun depresi. Ia amat membenci ayahnya, karena perilaku ayahnyalah yang menjadikan hidupnya berbelok tak sesuai dengan apa yang ia impikan sejak dulu. Ibunya meninggal, dan ia tak meraih beasiswa yang diimpikannya. Ia begitu dendam dan membenci ayahnya.
-      “mengapa Tuhan tak mencabut nyawa ayah saja. aku masih membutuhkan ibu, aku tak butuh lelaki pengumbar mani itu. aku hanya butuh ibu.”
-        Sura depresi dan melarikannya dengan mengunjungi diskotik, ia pulang dan menjumpai ayahnya yang tengah terkapar di ruang tamu sepertinya selesai bermain judi dan minum alkohol dengan teman-temannya.
-     Ayah Sura tak sadarkan diri, mengira bahwa yang datang itu bukanlah anak semata wayangnya. Ia memeluk Sura, begitupun dengan Sura yang mulai layu tubuhnya karena pengaruh minuman keras. Mereka masuk ke dalam kamar dan melakukan hubungan yang melanggar hakekat anak dan ayah. Mereka bersenggama dalam ketidaksadaran bahwa mereka satu darah daging.


Adegan 1
Siluet tubuh Sura remaja dan ibunya di dalam rumah sakit
*Nyanyian Sendu*
Sura : Ibu, aku berjanji suatu saat aku akan menjadi dokter pribadimu. Sehingga ibu tak perlu repot-repot ke rumah sakit dan membayar biaya yang tak murah ini.
Ibu : ketika janjimu amat mulia, maka ibu akan mendoakan itu agar kau mampu melunasinya pada ibu. Kau harus menjadi orang yang sukses Nak. Pintar, cerdas, dan tidak melupakan hakikatmu sebagai seorang wanita.
Sura : aku sayang ibu. Ibu harus berjanji untuk sembuh. Ibu harus sembuh, kuat dan siap mendampingiku untuk mencapai cita-cita itu.
Mereka berdua berpelukan. dari belakang terdengar samar-samar suara perempuan yang tertawa kencang, lalu lama kelamaan menangis.

Adegan 2
Di luar panggung
Mbok Minah : sudah hampir tiga puluh tahun saya menjadi tetangga setia keluarga Sura. Tapi belum ada perubahan yang nampak bagi kemakmuran keluarga ini. saya hanya menjadi seorang saksi bisu atas segala peristiwa yang terjadi dalam keluarga mereka. Tapi saya peduli terhadap mereka. Ya, karena Ibu Sura amat baik terhadap saya. Ia kerap meminjami saya uang atau bahkan memberikan makanan dengan cuma-cuma. Untuk itulah saya masih setia menemani Sura hingga ia dewasa dan menentukan jalan hidupnya.

Dalam panggung, ruang tamu. Seorang wanita muda muncul dari arah pintu masuk.
Sura : Ibuuuu... ibu... (tertawa riang)
Tampak suara ibu dari arah dapur.
Ibu : iya Nak. Ada kabar gembira apalagi sayang?
Sura : ibu, aku bahagia. Suatu kehebatan tersendiri dan aku telah menduga semua Ini  Bu.
Ibu masuk ke ruang tamu, menghampiri Sura dengan senyum bahagianya.
Sura : bu, Sura meraih juara kelas lagi. Untuk ketiga kalinya sura mendapat penghargaan sebagai peraih rangking pertama ujian nasional di sekolah. Sura bahagia sekali bu.
Ibu : syukurlah Nak, ibu juga ikut bahagia dengan apa yang kau capai ini. (batuk-batuk)
Pelukan hangat sang ibu dilayangkan ke tubuh Sura.

Setting 1
(Nenek adalah Sura yang telah tua, cerita ini flashback tentang dirinya dan keluarganya)
Di sini nenek seolah menjadi tetangga Sura berusia 60 tahun. Ia menjadi saksi bisu atas setiap peristiwa yang terjadi dalam keluarga tersebut.

Di luar panggung ::
Nenek : “Sura adalah sebuah nama yang ibunya berikan karena perempuan itu lahir pada bulan Sura dalam kalender Islam.”

Dalam panggung ::
Sura pulang dari sekolah, ia bercerita pada ibunya bahwa ia mendapat nilai ujian nasional tertinggi di sekolahnya dan berkesempatan meraih beasiswa pendidikan di fakultas kedokteran dengan satu cara ia harus mampu melewati ujian tertulis yang diadakan oleh perguruan tinggi tersebut. Mendengar itu ibunya sangat bahagia dan memeluk Sura.
Dari pintu masuklah ayah Sura dalam kondisi mabuk berat lalu berteriak tidak karuan. Ia mencemooh perusahaannya, masalah keuangan di perusahaannya hingga menyentuh ranah korupsi dalam perusahaannya.
Sura dan ibunya sangat terkejut lalu ibunya mencoba mengajak bicara ayahnya, akan tetapi tak ditanggapi dengan baik oleh ayahnya. Ia justru memarahi sang ibu dengan kata-kata kasar bahkan sesekali wajahnya berubah ekspresi menjadi wajah lelaki hidung belang. Ia menggoda istrinya seolah yang sedang berbicara dengannya itu bukanlah istrinya melainkan seorang PSK. Sehingga dengan genitnya ia merayu dan meminta PSK itu menemaninya tidur.
Mendengar itupun ibu Sura menangis. Kemudian Ayah Sura mengeluarkan sebuah surat dari dalam saku kemejanya. Ibu langsung merampasnya, ternyata itu adalah surat PHK yang dilayangkan perusahaan tempat Ayah Sura bekerja. Ya, benar saja. Ayah Sura di PHK karena masalah keuangan yang disalahgunakannya dalam perusahaan tersebut.
Di sana ayah Sura mulai tidak sadarkan diri atas ucapan dan tingkah laku yang ia perbuat. Sesekali ia tertawa seperti orang gila, dan sekejap ia langsung mencibir tak karuan.
Ibu Sura sangat tertekan dengan kondisi itu, ia langsung menangis sejadi-jadinya. Kakinya mulai berat. Ayah Sura langsung terjatuh dan tergeletak di lantai ruang itu. Sura yang melihat semua itu ikut menangis dan berusaha meraih tubuh ibunya yang juga mulai layu dan terduduk lesu di lantai tepat di samping kediaman ayahnya. Mereka menangis dan meratapi nasib yang menimpa keluarga mereka.

Dari luar panggung ::
Si nenek menangis lalu perlahan mereda.
“(sedih) Sura yang malang, Ibu yang malang, (marah) Ayah yang tidak bertanggung jawab. (bingung) Ayah? Ayah.....(menangis lagi)



catatan
sampai pementasan ini berlangsung dan detik ini juga, saya belum menyelesaikan rasa penasaran  saya dalam membuat adegan baru naskah ini, karena terhambat oleh kesibukan kampus dan aktivitas menulis genre lainnya. Uwow. *fight! L