oleh Intan Pertiwi*
Perempuan
dalam berbagai hal seolah tak pernah dingin untuk dibahas. Topik mengenai
perempuan selalu menjadi obrolan hangat baik dalam ranah politik, ekonomi, dan
budaya. Dalam berbagai hal, perempuan selalu menjadi sumbu utama untuk
dipermasalahkan sebagai objek atau mungkin dibatasi ruang geraknya. 
 Saat ini kita mengenal istilah feminisme,
sebuah gerakan yang diusung oleh para perempuan karena adanya keterbatasan dalam
berekspresi. Perempuan dinilai sebagai manusia lemah yang selalu ada di bawah
ketiak lelaki. Namun seiring perkembangan zaman, perempuan menjadi ikon yang
popular. Artinya, tetap menjadi bahan perbincangan yang hangat sekalipun bukan
lagi mengenai keterbatasan perempuan, melainkan adanya perubahan posisi
perempuan di dunia yang kerap diistilahkan sebagai emansipasi wanita (kesetaraan
gender).
Kita
pasti tak asing dengan istilah ladies
first. Kehadiran istilah tersebut menjadi suatu ikon yang memunculkan keambiguitasan.
Pertama, kita bisa mengartikannya sebagai ungkapan “silahkan perempuan terlebih
dulu atau sama dengan nomor pertama (jika pada antrian)”. Namun, ada pula makna
kedua yang terkandug dalam istilah tersebut, yakni “karena perempuan lemah,
silahkan lebih dulu, biar laki-laki yang menjaga di belakangnya”. Pemaknaan yang
kedua mungkin jarang diinterpretasikan karena mereka cenderung mendengar makna
yang pertama.
Berkembangnya
fashion perempuan, gaya hidup, dan penampilan, secara tidak langsung sudah
mengangkat istilah emansipasi wanita yang mengekor di belakang perkembangannya.
Ini membuktikan bahwa perempuan menjadi objek yang indah dan memengaruhi
kemodernitasan zaman. Itulah yang menjadi alasan banyaknya karya yang bersumber
dari perempuan. Salahsatunya adalah karya dalam dunia kesusastraan Indonesia
atau karya sastra.
Objek sastra
Dihadapkan
pada konteks kekinian, perempuan cenderung menjadi objek suatu karya sastra. Tak
jarang karya sastra yang dibuat oleh penulis lelaki selalu mengangkat sosok perempuan
di dalamnya. Ambil contoh, dalam dunia perpuisian Indonesia, seorang penyair
laki-laki mampu mengolah kata dengan indah jika objek puisinya adalah
perempuan. Sebaliknya jika kita melihat dari sisi penyair perempuan, kebanyakan
dari mereka kesulitan mengolah kata tentang gambaran dirinya sendiri. Mereka justru
lebih piawai menggambarkan apa yang terjadi di luar dirinya sendiri. 
Adanya
karya yang dibuat penulis lelaki untuk perempuan, sebenarnya telah memanjakan sosok
perempuan untuk tetap berperan sebagai objek suatu karya. Perempuan beranggapan
bahwa dirinya sebatas objek, penikmat, dan apresiator karya sastra. Hal inilah
yang menjadikan sedikitnya minat perempuan dalam berkarya, semisal menulis. 
Selain
itu, hambatan perempuan dalam dunia sastra pun disebabkan oleh ruang gerak yang
terbatas. Meskipun sudah mengusung emansipasi wanita, tapi tetap saja pada
dasarnya perempuan memiliki kewajiban lain yang dianggap lebih memakan waktu ketimbang
melulu mengurusi karya sastra. Sehingga dalam dunia kesusatraan Indonesia pun kita
hanya mengenal segelintir nama penyair perempuan yang mampu melambungkan puisi-puisinya.
 Kita hanya mendengar nama-nama penyair
perempuan terdahulu, semisal Maria Amin, Toety Heraty, Abidah El-Khaliqi, Nenden
Lilis A. dan
Dorothea Rosa Herliany. Sedangkan pada zaman kekinian, nama-nama penyair perempuan
yang muncul hanyalah Hanna Fransisca, Pranita Dewi, Avianti Arman, Dian Hartati, Fina Sato dan Anis Sayidah.
Deretan nama tersebut pun hanya dikenal oleh mereka yang mengatasnamakan
dirinya sebagai penggelut sastra. Di luar orang-orang itu, sejumlah nama
tersebut mungkin hanya menjadi sebuah nama yang biasa dan tidak diagungkan. 
Hal
inipun dibuktikan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Nama-nama
penyair perempuan tidak digunakan sebagai contoh puisi. Kebanyakan pelajaran
tentang puisi mengangkat nama penyair laki-laki semisal Chairil Anwar,
W.S.Rendra dan Taufik Ismail. Sehingga
tunas-tunas bangsa kita cenderung merasa
asing dan tidak mengenal sastrawan lainnya di Indonesia apalagi sastrawan
perempuan.
Minimnya
perempuan sebagai subjek atau pelaku dalam sebuah karya secara tidak langsung
memunculkan pergeseran istilah emansipasi wanita yang mengagung-agungkan
kesetaraan gender itu. Perempuan dalam dunia ini sangat berpengaruh tapi bukan
sebagai pelaku, melainkan
sebagai objek dari sebuah tingkah laku. Perpuisian Indonesia pun secara tidak
langsung telah menjadi bukti adanya pergeseran hal tersebut yang memengaruhi peran
perempuan dalam bidang sastra.[]
*Intan Pertiwi,
Aktif dalam Arena Studi Apresiasi Sastra
(ASAS) UPI Bandung.
Artikel ini pernah dimuat dalam harian Inilah Koran Jabar edisi 14 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar