Sabtu, 20 April 2013

Perempuan dan Objek (Karya) Sastra



oleh Intan Pertiwi*

Perempuan dalam berbagai hal seolah tak pernah dingin untuk dibahas. Topik mengenai perempuan selalu menjadi obrolan hangat baik dalam ranah politik, ekonomi, dan budaya. Dalam berbagai hal, perempuan selalu menjadi sumbu utama untuk dipermasalahkan sebagai objek atau mungkin dibatasi ruang geraknya.
 Saat ini kita mengenal istilah feminisme, sebuah gerakan yang diusung oleh para perempuan karena adanya keterbatasan dalam berekspresi. Perempuan dinilai sebagai manusia lemah yang selalu ada di bawah ketiak lelaki. Namun seiring perkembangan zaman, perempuan menjadi ikon yang popular. Artinya, tetap menjadi bahan perbincangan yang hangat sekalipun bukan lagi mengenai keterbatasan perempuan, melainkan adanya perubahan posisi perempuan di dunia yang kerap diistilahkan sebagai emansipasi wanita (kesetaraan gender).
Kita pasti tak asing dengan istilah ladies first. Kehadiran istilah tersebut menjadi suatu ikon yang memunculkan keambiguitasan. Pertama, kita bisa mengartikannya sebagai ungkapan “silahkan perempuan terlebih dulu atau sama dengan nomor pertama (jika pada antrian)”. Namun, ada pula makna kedua yang terkandug dalam istilah tersebut, yakni “karena perempuan lemah, silahkan lebih dulu, biar laki-laki yang menjaga di belakangnya”. Pemaknaan yang kedua mungkin jarang diinterpretasikan karena mereka cenderung mendengar makna yang pertama.
Berkembangnya fashion perempuan, gaya hidup, dan penampilan, secara tidak langsung sudah mengangkat istilah emansipasi wanita yang mengekor di belakang perkembangannya. Ini membuktikan bahwa perempuan menjadi objek yang indah dan memengaruhi kemodernitasan zaman. Itulah yang menjadi alasan banyaknya karya yang bersumber dari perempuan. Salahsatunya adalah karya dalam dunia kesusastraan Indonesia atau karya sastra.
Objek sastra
Dihadapkan pada konteks kekinian, perempuan cenderung menjadi objek suatu karya sastra. Tak jarang karya sastra yang dibuat oleh penulis lelaki selalu mengangkat sosok perempuan di dalamnya. Ambil contoh, dalam dunia perpuisian Indonesia, seorang penyair laki-laki mampu mengolah kata dengan indah jika objek puisinya adalah perempuan. Sebaliknya jika kita melihat dari sisi penyair perempuan, kebanyakan dari mereka kesulitan mengolah kata tentang gambaran dirinya sendiri. Mereka justru lebih piawai menggambarkan apa yang terjadi di luar dirinya sendiri.
Adanya karya yang dibuat penulis lelaki untuk perempuan, sebenarnya telah memanjakan sosok perempuan untuk tetap berperan sebagai objek suatu karya. Perempuan beranggapan bahwa dirinya sebatas objek, penikmat, dan apresiator karya sastra. Hal inilah yang menjadikan sedikitnya minat perempuan dalam berkarya, semisal menulis.
Selain itu, hambatan perempuan dalam dunia sastra pun disebabkan oleh ruang gerak yang terbatas. Meskipun sudah mengusung emansipasi wanita, tapi tetap saja pada dasarnya perempuan memiliki kewajiban lain yang dianggap lebih memakan waktu ketimbang melulu mengurusi karya sastra. Sehingga dalam dunia kesusatraan Indonesia pun kita hanya mengenal segelintir nama penyair perempuan yang mampu melambungkan puisi-puisinya.
 Kita hanya mendengar nama-nama penyair perempuan terdahulu, semisal Maria Amin, Toety Heraty, Abidah El-Khaliqi, Nenden Lilis A. dan Dorothea Rosa Herliany. Sedangkan pada zaman kekinian, nama-nama penyair perempuan yang muncul hanyalah Hanna Fransisca, Pranita Dewi, Avianti Arman, Dian Hartati, Fina Sato dan Anis Sayidah. Deretan nama tersebut pun hanya dikenal oleh mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai penggelut sastra. Di luar orang-orang itu, sejumlah nama tersebut mungkin hanya menjadi sebuah nama yang biasa dan tidak diagungkan.
Hal inipun dibuktikan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Nama-nama penyair perempuan tidak digunakan sebagai contoh puisi. Kebanyakan pelajaran tentang puisi mengangkat nama penyair laki-laki semisal Chairil Anwar, W.S.Rendra dan Taufik Ismail. Sehingga tunas-tunas bangsa kita cenderung merasa asing dan tidak mengenal sastrawan lainnya di Indonesia apalagi sastrawan perempuan.
Minimnya perempuan sebagai subjek atau pelaku dalam sebuah karya secara tidak langsung memunculkan pergeseran istilah emansipasi wanita yang mengagung-agungkan kesetaraan gender itu. Perempuan dalam dunia ini sangat berpengaruh tapi bukan sebagai pelaku, melainkan sebagai objek dari sebuah tingkah laku. Perpuisian Indonesia pun secara tidak langsung telah menjadi bukti adanya pergeseran hal tersebut yang memengaruhi peran perempuan dalam bidang sastra.[]

*Intan Pertiwi, Aktif dalam Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI Bandung.


Artikel ini pernah dimuat dalam harian Inilah Koran Jabar edisi 14 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar