Senin, 31 Oktober 2011

Memupuk Bacaan Melalui Sastra


Namaku Intan Pertiwi, orang biasa menyapaku Intan. Aku adalah seorang gadis (19 tahun) yang awalnya sangat tidak tertarik pada kegiatan membaca. Entahlah, mungkin karena sejak duduk di Sekolah Dasar aku sudah mulai menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas pada kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolahku. Itupun tetap bertahan sampai aku duduk di tingkat SMA. Ya, aku mulai jenuh ketika sebuah mata pelajaran mengharuskanku mengambil analisa-analisa dari sumber bacaan yang kupikir terlalu berdesakkan kata-katanya untuk kubaca. Aku tidak begitu tertarik pada bacaan penuh. Artinya, di sana ratusan bahkan ribuan kata terpampang pekat dalam sebuah buku. Aku lebih tertarik untuk mendengarkan hasil bacaan temanku daripada harus membacanya sendiri. Ya, inilah aku dengan segala alergiku terhadap bacaan padat.
Namun, semua itu berubah drastis ketika aku lulus SMA dan melanjutkan pendidikanku ke Perguruan Tinggi Negeri. Adalah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, bidang pertama yang aku pilih pada saat mendaftarkan diri melalui jalur beasiswa bidikmisi yang diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional di Indonesia. Dengan berlatar belakang piagam-piagam yang kudapat pada saat SD sampai SMA di bidang kebahasaan dan kesastraan, akhirnya akupun nekad memilih jurusan tersebut dan alhamdulillah yah (ala syahrini), ternyata aku lolos dan resmi diterima menjadi mahasiswa Jurdiksatrasia (singkat) di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung pada tahun 2010. Tahukan kalian jika jurusan yang kuambil ini adalah jurusan yang akan banyak mempertemukanku dengan sebundel bacaan-bacaan padat. Padahal selama menduduki bangku sekolah, aku enggan sekali untuk membaca. Aku lebih tertarik menulis dari apa yang aku dapat melalui pendengaranku atau tontonanku di televisi, daripada harus membaca terlebih dahulu untuk sumber referensiku dalam menulis. Inilah mulanya aku mulai membiasakan diri untuk menghadapi berbagai bacaan padat.
Sebagai mahasiswa yang bertengger di dunia kebahasaan dan kesastraan, maka aku dituntut untuk selalu membaca teori bahasa dan kajian-kajian sastra sebagai bahan diskusi dalam mengikuti setiap matakuliah di kelas. Kadang aku mencintai bacaan yang kubaca loh, namun sontak hal tersebut bisa menjadi sebuah kejenuhan yang akut. Entahlah, apakah ini hanya aku saja yang merasakannya karena kuakui bahwa aku adalah pembaca pemula, ataukah mungkin hal ini juga sering dialami oleh beberapa pembaca lainnya? Di mana titik kejemuan kadang datang tiba-tiba dan menjajah kenikmatan pikiran kita, menjadikannya tawar dan tak berwarna.
Kebetulan, aku menceburkan diri ke dalam salasatu unit kegiatan mahasiswa di kampusku (UKM) yang berlatar sastra, atau biasa dikenal dengan sebutan ASAS (Arena Studi Apresiasi Sastra). Awalnya aku ragu mengambil lahan ini, tapi kupikir kegiatan ini bisa membantuku dalam perkuliahan di kelas. Jadi, apa salahnya untuk mencoba turut andil dalam kegiatan ini.
Suatu siang seusai kuliah, aku mendaftarkan diri di UKM tersebut yang letaknya berpusat di PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa). Gedungnya tak jauh dari fakultasku. Sore harinya aku langsung diajak untuk mengikuti kegitan reboan (diskusi sastra) yang rutin diadakan tiap hari rabu dalam UKM tersebut. Dengan rasa percaya diri dan setumpuk pengalamanku dalam berkomunikasi, akupun mulai mencoba membaurkan diri dengan apa yang mereka diskusikan. Awalnya aku pikir kegiatan ini akan mudah untuk kuikuti, namun semakin lama diskusi mereka semakin meruntuhkan rasa percaya diriku dalam berkomunikasi. Ya, taukah kalian? Aku gagap, padahal dulu aku adalah mantan wakil ketua osis yang cukup baik beretorika di sekolah. Tapi, rasanya sulit untuk menyatukan persepsi obrolanku dengan obrolan mereka yang sudah mahir mengungkapkan gagasannya dalam hal sastra. Aku kira diskusi ini tak sesulit yang kubayangkan. Tapi, diksi (pemilihan kata) yang mereka gunakan dalam mengungkapkan pendapatnya terasa asing di telingaku. Komentar-komentar mereka terhadap sebuah karya sastra yang sedang kami bahas itu sangat berbobot, karena di sana mereka menyertakan teori-teori kajian dan apresiasi sastra yang selama ini bukunya hanya kubuka ketika matakuliah kajian sastra berlangsung. Hah.. aku malu dan minder sekali terhadap mereka yang sudah memiliki referensi dari hasil bacaan mereka sebelumnya untuk dikaitkan dengan bahan diskusi saat itu. Maka bersamaan dengan  itulah segumpal kesadaran mulai mencerca dan memaki otakku.  Seekor kunang-kunang dengan poster bertuliskan “SADAR, BACA ITU PENTING!” mulai berlari-lari di pikiranku. Kemudian ia berselancar menuju organ dalam tubuh dan mengetuk pintu hatiku yang jarang kubuka untuk kegiatan membaca. Dari sinilah ketertarikanku terhadap kegiatan membaca mulai bereaksi. Ya, karena di organisasi ini aku tidak hanya berkumpul dan bergaul dengan mereka-mereka yang juga awam dalam dunia sastra, melainkan di sinilah aku juga dipertemukan dengan orang-orang yang aktif menggeluti sastra dengan seberkas bacaan sastra mereka sebagai bahan dalam menghasilkan karya sastra yang baru. “Inilah dunia sastra Dik, kalian harus banyak membaca untuk mendapatkan rujukan karya-karya kalian.” Begitulah kalimat penamat yang sering kudengar di tiap pertemuan UKM tersebut. "Menarik." kesan itulah yang mulai terpatri di otakku lalu menjelma batu nisan yang sangat indah.
Dalam hidup, kita sering dihadapkan dengan berbagai peristiwa yag mungkin sudah dikodratkan oleh Tuhan. Ya, seperti yang kualami saat itu. Aku mulai aktif di ASAS kemudian Tuhan memboyong langkahku untuk lebih luas bersosialisasi dengan orang-orang yang juga mulai tertarik akan dunia bacaan, terutama sastra. Seperti remaja lainnya, maka aku dipertemukan dengan sesosok pria yang usianya sekitar dua tahun di atasku. Ia berperawakan sedang, artinya tidak kurus maupun gemuk. Dengan rambut gondrongnya bak penyair sejati, ia selalu menggodaku dengan rayuan-rayuan manisnya acapkali kami berpapasan. Di sisi lain aku sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih yang sedang menggeluti dunia militer yaitu TNI-AD. Namun, pria yang memiliki nama pena WM ini tak henti-hentinya mendekatiku meskipun ia tahu bahwa aku sedang tidak ‘single’ saat itu. Lama kelamaan akupun luluh dibuatnya. Aku meninggalkan priaku yang dulu, tapi itu bukan karena ulah WM, melainkan karena orangtuaku yang masih membulatkan keputusannya sejak dulu bahwa mereka tidak menyetujui hubungan kami. Ya, beliau menginginkan putri bungsunya ini kelak bersanding dengan orang yang selalu mendampinginya. Karena berdasarkan pengalaman beberapa saudara ibuku yang menikah dengan seorang tentara, suatu ketika istri-istri itu akan menjadi ‘single’ karena suaminya gugur di medan perang. Ya, mungkin cukup membanggakan dan sangat terhormat, tapi kupikir mengerikan juga jika itu terjadi padaku. Akhirnya akupun memutuskan untuk mencari sosok pria lain yang mampu mngayomiku dalam segala hal. Dan terbukti ‘senjata kalah oleh kata-kata’, WM mampu menaklukan batu yang bersarang di kepalaku. Hingga kini hatiku telah dijajah oleh ulah kata-katanya yang piawai. Entahlah mengapa aku menceritakan masalah pribadiku ini. Tapi tak perlu khawatir, karena menurutku semua ini ikut berpengaruh pada ketertarikanku dalam membaca.
WM cukup ahli dalam dunia sastra. Selain karena ia adalah mahasiswa juruusan Sastra Indonesia, ia juga tergolong penyair muda yang telah menerbitkan beberapa karyanya. Kadang aku ikut andil berbincang dengannya perihal bacaan-bacaan sastra yang pernah kudapat dari Buku Pengantar Ilmu Sastra karya J.V. Luxemburg. Namun lebih seringnya aku hanya menjadi pendengar setia ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa aku belum sepenuhnya membaca pengetahuan tentang sastra dari berbagai sumber yang ia dapatkan. Ya, akhirnya untuk memudahkan diskusi sastraku bersama WM, maka aku dituntut untuk lebih  mendalami kecintaanku terhadap membaca, terutama di sini adalah buku-buku tentang sastra dan kawan-kawannya. Aku mulai tertarik pada buku Teori dan Apresiasi Puisi karya Herman J.Waluyo. Kebetulan priaku itu (WM) lebih memfokuskan dirinya pada lahan puisi, jadi ia memperbanyak buku bacaannya yang bertemakan puisi. Buku semacam antologi puisi, karakteristik hasil karya para sastrawan Indonesia, juga teori apresiasi maupun kajian puisi, tertata rapi di kamarnya. Ruang pribadinya itu ia sihir serupa perpustakaan mini. ‘Menarik’ (lagi). Sementara aku masih bimbang untuk memfokuskan diri di genre sastra yang mana. Tapi, beruntunglah aku yang memiliki seorang pria selaku motivator bacaanku, hehe. Ia berasumsi bahwa aku lebih piawai menarasikan sesuatu. Hingga akhirnya sebongkah keyakinan tertanam di benakku. “tak ada salahnya mencoba menjadi seorang prosais muda”.
Atas dasar kecintaan pada karya sastra dan juga keseriusanku untuk menggauli karya sastra (apresiasi), maka aku mulai menata waktu untuk lebih memperbanyak kegiatan membaca dan menambah bahan bacaanku sebagai tonggak pembuatan karya-karyaku baik itu berupa puisi, esai, naskah drama, dan terutama prosa. Ya, ternyata cinta mampu menyulapku sedemikian tertariknya pada membaca. Bermula dan berlabuh pada sastra, ia mendorongku untuk menambah bahan bacaanku. And finally, kecintaanku terhadap membaca mulai berdesakkan meminta segera diadili dengan tuntas.

Dari pengalaman tersebut, maka aku membebaskan pembaca untuk menumbuhkan kiat-kiatnya serndiri dalam mengembangkan minat bacanya. Semoga pengalamanku ini bisa bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi anda semua. Amin. Terima kasih. Salam sastra, salam budaya, semangat membaca!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar