Namaku Intan Pertiwi, orang biasa menyapaku Intan. Aku adalah seorang gadis
(19 tahun) yang awalnya sangat tidak tertarik pada kegiatan membaca. Entahlah,
mungkin karena sejak duduk di Sekolah Dasar aku sudah mulai menyibukkan diri
dengan berbagai aktivitas pada kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolahku.
Itupun tetap bertahan sampai aku duduk di tingkat SMA. Ya, aku mulai jenuh
ketika sebuah mata pelajaran mengharuskanku mengambil analisa-analisa dari
sumber bacaan yang kupikir terlalu berdesakkan kata-katanya untuk kubaca. Aku
tidak begitu tertarik pada bacaan penuh. Artinya, di sana ratusan bahkan ribuan
kata terpampang pekat dalam sebuah buku. Aku lebih tertarik untuk mendengarkan
hasil bacaan temanku daripada harus membacanya sendiri. Ya, inilah aku dengan
segala alergiku terhadap bacaan padat.
Namun, semua itu berubah drastis ketika aku lulus SMA dan melanjutkan
pendidikanku ke Perguruan Tinggi Negeri. Adalah Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, bidang pertama yang aku pilih pada saat mendaftarkan diri
melalui jalur beasiswa bidikmisi yang diselenggarakan Departemen Pendidikan
Nasional di Indonesia. Dengan berlatar belakang piagam-piagam yang kudapat pada
saat SD sampai SMA di bidang kebahasaan dan kesastraan, akhirnya akupun nekad
memilih jurusan tersebut dan alhamdulillah yah (ala syahrini), ternyata aku
lolos dan resmi diterima menjadi mahasiswa Jurdiksatrasia (singkat) di
Universitas Pendidikan Indonesia Bandung pada tahun 2010. Tahukan kalian jika
jurusan yang kuambil ini adalah jurusan yang akan banyak mempertemukanku dengan
sebundel bacaan-bacaan padat. Padahal selama menduduki bangku sekolah, aku
enggan sekali untuk membaca. Aku lebih tertarik menulis dari apa yang aku dapat
melalui pendengaranku atau tontonanku di televisi, daripada harus membaca
terlebih dahulu untuk sumber referensiku dalam menulis. Inilah mulanya aku
mulai membiasakan diri untuk menghadapi berbagai bacaan padat.
Sebagai mahasiswa yang bertengger di dunia kebahasaan dan kesastraan, maka
aku dituntut untuk selalu membaca teori bahasa dan kajian-kajian sastra sebagai
bahan diskusi dalam mengikuti setiap matakuliah di kelas. Kadang aku mencintai
bacaan yang kubaca loh, namun sontak hal tersebut bisa menjadi sebuah kejenuhan
yang akut. Entahlah, apakah ini hanya aku saja yang merasakannya karena kuakui
bahwa aku adalah pembaca pemula, ataukah mungkin hal ini juga sering dialami
oleh beberapa pembaca lainnya? Di mana titik kejemuan kadang datang tiba-tiba dan
menjajah kenikmatan pikiran kita, menjadikannya tawar dan tak berwarna.
Kebetulan, aku menceburkan diri ke dalam salasatu unit kegiatan mahasiswa
di kampusku (UKM) yang berlatar sastra, atau biasa dikenal dengan sebutan ASAS
(Arena Studi Apresiasi Sastra). Awalnya aku ragu mengambil lahan ini, tapi
kupikir kegiatan ini bisa membantuku dalam perkuliahan di kelas. Jadi, apa
salahnya untuk mencoba turut andil dalam kegiatan ini.
Suatu siang seusai kuliah, aku mendaftarkan diri di UKM tersebut yang
letaknya berpusat di PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa). Gedungnya tak jauh dari
fakultasku. Sore harinya aku langsung diajak untuk mengikuti kegitan reboan
(diskusi sastra) yang rutin diadakan tiap hari rabu dalam UKM tersebut. Dengan
rasa percaya diri dan setumpuk pengalamanku dalam berkomunikasi, akupun mulai
mencoba membaurkan diri dengan apa yang mereka diskusikan. Awalnya aku pikir
kegiatan ini akan mudah untuk kuikuti, namun semakin lama diskusi mereka
semakin meruntuhkan rasa percaya diriku dalam berkomunikasi. Ya, taukah kalian?
Aku gagap, padahal dulu aku adalah mantan wakil ketua osis yang cukup baik
beretorika di sekolah. Tapi, rasanya sulit untuk menyatukan persepsi obrolanku
dengan obrolan mereka yang sudah mahir mengungkapkan gagasannya dalam hal
sastra. Aku kira diskusi ini tak sesulit yang kubayangkan. Tapi, diksi
(pemilihan kata) yang mereka gunakan dalam mengungkapkan pendapatnya terasa
asing di telingaku. Komentar-komentar mereka terhadap sebuah karya sastra yang
sedang kami bahas itu sangat berbobot, karena di sana mereka menyertakan
teori-teori kajian dan apresiasi sastra yang selama ini bukunya hanya kubuka
ketika matakuliah kajian sastra berlangsung. Hah.. aku malu dan minder sekali
terhadap mereka yang sudah memiliki referensi dari hasil bacaan mereka
sebelumnya untuk dikaitkan dengan bahan diskusi saat itu. Maka bersamaan dengan
 itulah segumpal kesadaran mulai mencerca
dan memaki otakku.  Seekor kunang-kunang dengan poster bertuliskan “SADAR,
BACA ITU PENTING!” mulai berlari-lari di pikiranku. Kemudian ia berselancar
menuju organ dalam tubuh dan mengetuk pintu hatiku yang jarang kubuka untuk
kegiatan membaca. Dari sinilah ketertarikanku terhadap kegiatan membaca mulai
bereaksi. Ya, karena di organisasi ini aku tidak hanya berkumpul dan bergaul
dengan mereka-mereka yang juga awam dalam dunia sastra, melainkan di sinilah
aku juga dipertemukan dengan orang-orang yang aktif menggeluti sastra dengan
seberkas bacaan sastra mereka sebagai bahan dalam menghasilkan karya sastra
yang baru. “Inilah dunia sastra Dik, kalian harus banyak membaca untuk
mendapatkan rujukan karya-karya kalian.” Begitulah kalimat penamat yang
sering kudengar di tiap pertemuan UKM tersebut. "Menarik." kesan
itulah yang mulai terpatri di otakku lalu menjelma batu nisan yang sangat indah.
Dalam hidup, kita sering dihadapkan dengan berbagai peristiwa yag mungkin
sudah dikodratkan oleh Tuhan. Ya, seperti yang kualami saat itu. Aku mulai
aktif di ASAS kemudian Tuhan memboyong langkahku untuk lebih luas
bersosialisasi dengan orang-orang yang juga mulai tertarik akan dunia bacaan,
terutama sastra. Seperti remaja lainnya, maka aku dipertemukan dengan sesosok
pria yang usianya sekitar dua tahun di atasku. Ia berperawakan sedang, artinya
tidak kurus maupun gemuk. Dengan rambut gondrongnya bak penyair sejati, ia selalu
menggodaku dengan rayuan-rayuan manisnya acapkali kami berpapasan. Di sisi lain
aku sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih yang sedang menggeluti dunia
militer yaitu TNI-AD. Namun, pria yang memiliki nama pena WM ini tak henti-hentinya
mendekatiku meskipun ia tahu bahwa aku sedang tidak ‘single’ saat itu. Lama kelamaan akupun luluh dibuatnya. Aku meninggalkan
priaku yang dulu, tapi itu bukan karena ulah WM, melainkan karena orangtuaku
yang masih membulatkan keputusannya sejak dulu bahwa mereka tidak menyetujui
hubungan kami. Ya, beliau menginginkan putri bungsunya ini kelak bersanding
dengan orang yang selalu mendampinginya. Karena berdasarkan pengalaman beberapa
saudara ibuku yang menikah dengan seorang tentara, suatu ketika istri-istri itu
akan menjadi ‘single’ karena suaminya
gugur di medan perang. Ya, mungkin cukup membanggakan dan sangat terhormat,
tapi kupikir mengerikan juga jika itu terjadi padaku. Akhirnya akupun
memutuskan untuk mencari sosok pria lain yang mampu mngayomiku dalam segala
hal. Dan terbukti ‘senjata kalah oleh
kata-kata’, WM mampu menaklukan batu yang bersarang di kepalaku. Hingga kini
hatiku telah dijajah oleh ulah kata-katanya yang piawai. Entahlah mengapa aku
menceritakan masalah pribadiku ini. Tapi tak perlu khawatir, karena menurutku
semua ini ikut berpengaruh pada ketertarikanku dalam membaca. 
WM cukup ahli dalam dunia sastra. Selain karena ia adalah mahasiswa
juruusan Sastra Indonesia, ia juga tergolong penyair muda yang telah
menerbitkan beberapa karyanya. Kadang aku ikut andil berbincang dengannya
perihal bacaan-bacaan sastra yang pernah kudapat dari Buku Pengantar Ilmu
Sastra karya J.V. Luxemburg. Namun lebih seringnya aku hanya menjadi pendengar
setia ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa aku belum sepenuhnya membaca pengetahuan
tentang sastra dari berbagai sumber yang ia dapatkan. Ya, akhirnya untuk memudahkan
diskusi sastraku bersama WM, maka aku dituntut untuk lebih  mendalami kecintaanku terhadap membaca,
terutama di sini adalah buku-buku tentang sastra dan kawan-kawannya. Aku mulai
tertarik pada buku Teori dan Apresiasi Puisi karya Herman J.Waluyo. Kebetulan
priaku itu (WM) lebih memfokuskan dirinya pada lahan puisi, jadi ia
memperbanyak buku bacaannya yang bertemakan puisi. Buku semacam antologi puisi,
karakteristik hasil karya para sastrawan Indonesia, juga teori apresiasi maupun
kajian puisi, tertata rapi di kamarnya. Ruang pribadinya itu ia sihir serupa
perpustakaan mini. ‘Menarik’ (lagi). Sementara
aku masih bimbang untuk memfokuskan diri di genre sastra yang mana. Tapi,
beruntunglah aku yang memiliki seorang pria selaku motivator bacaanku, hehe. Ia
berasumsi bahwa aku lebih piawai menarasikan sesuatu. Hingga akhirnya sebongkah
keyakinan tertanam di benakku. “tak ada
salahnya mencoba menjadi seorang prosais muda”.
Atas dasar kecintaan pada karya sastra dan juga keseriusanku untuk
menggauli karya sastra (apresiasi), maka aku mulai menata waktu untuk lebih
memperbanyak kegiatan membaca dan menambah bahan bacaanku sebagai tonggak
pembuatan karya-karyaku baik itu berupa puisi, esai, naskah drama, dan terutama
prosa. Ya, ternyata cinta mampu menyulapku sedemikian tertariknya pada membaca.
Bermula dan berlabuh pada sastra, ia mendorongku untuk menambah bahan bacaanku.
And finally, kecintaanku terhadap
membaca mulai berdesakkan meminta segera diadili dengan tuntas.
Dari pengalaman tersebut, maka aku membebaskan pembaca untuk menumbuhkan
kiat-kiatnya serndiri dalam mengembangkan minat bacanya. Semoga pengalamanku
ini bisa bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi anda semua. Amin. Terima kasih.
Salam sastra, salam budaya, semangat membaca!
(FB : tanzajanggem@ymail.com)


