Jumat, 11 November 2011

Sajak Filantropi

Sajak Filantropi
buat : Wishu Muhamad

adalah kau,
seberkas tugas mingguan
yang tak dapat kuselesaikan
dalam tempo semalam.
mengandung tiga kata yang menyulut sebuah pertanyaan,
dan mengandung enam huruf
yang bisa dijadikan alasan
untuk kujelma sebagai jawaban.

sesekali kau beku
dengan jubah yang menganga di cilap mataku,
acuhkan lebah yang mulai menjajah aorta tubuhmu.

aku ingat benar,
ketika kau mengecup cakrawala kejemuanmu
tanpa menunggu sejurus waktu,
jadilah kau
adam yang asing bagiku.

tapi,
aku piawai menerka ritualmu.
ketika kita
samasama berbohong
tentang rindu yang mengumpat
di antara kejemuan itu.

sayang,
jika percakapan kita
hanya menjadi penghias timbunan rasa,
bisikkanlah rindumu pada angin malam
untuk meluluskan tugasmu
sebagai tabib kerapuhanku.
jika telah singgah,
ketuklah labirin telingaku
dan sampaikan penawar termujarab
bagi penyakit akutku itu.

Cirebon, 2011.

( puisi ini dimuat dalam antologi puisi Situ Waktu )

Mengemas Waktu

Mengemas Waktu

aku hendak berkemas dari tiparmu,
ketika fajar menyarak mimpi
dan embun menganak sungai
di antara cilap mata ini.

pun aku mulai berkemas dari tiparmu,
ketika surya membidik pupil
dan semesta menjelma perangai yang labil.

aku akan tetap berkemas dari tiparmu,
ketika langit tunggang gunung
dan mega memutasikan iga
yang tertimbun di lengan kirimu.

akhirnya aku berkemas dari tiparmu,
ketika butir bulan menyingsing malam
dan kunang-kunang menamatkan segala percakapan.

Bandung, 2011.

( puisi ini dimuat dalam antologi puisi Situ Waktu )

Senin, 31 Oktober 2011

Memupuk Bacaan Melalui Sastra


Namaku Intan Pertiwi, orang biasa menyapaku Intan. Aku adalah seorang gadis (19 tahun) yang awalnya sangat tidak tertarik pada kegiatan membaca. Entahlah, mungkin karena sejak duduk di Sekolah Dasar aku sudah mulai menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas pada kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolahku. Itupun tetap bertahan sampai aku duduk di tingkat SMA. Ya, aku mulai jenuh ketika sebuah mata pelajaran mengharuskanku mengambil analisa-analisa dari sumber bacaan yang kupikir terlalu berdesakkan kata-katanya untuk kubaca. Aku tidak begitu tertarik pada bacaan penuh. Artinya, di sana ratusan bahkan ribuan kata terpampang pekat dalam sebuah buku. Aku lebih tertarik untuk mendengarkan hasil bacaan temanku daripada harus membacanya sendiri. Ya, inilah aku dengan segala alergiku terhadap bacaan padat.
Namun, semua itu berubah drastis ketika aku lulus SMA dan melanjutkan pendidikanku ke Perguruan Tinggi Negeri. Adalah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, bidang pertama yang aku pilih pada saat mendaftarkan diri melalui jalur beasiswa bidikmisi yang diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional di Indonesia. Dengan berlatar belakang piagam-piagam yang kudapat pada saat SD sampai SMA di bidang kebahasaan dan kesastraan, akhirnya akupun nekad memilih jurusan tersebut dan alhamdulillah yah (ala syahrini), ternyata aku lolos dan resmi diterima menjadi mahasiswa Jurdiksatrasia (singkat) di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung pada tahun 2010. Tahukan kalian jika jurusan yang kuambil ini adalah jurusan yang akan banyak mempertemukanku dengan sebundel bacaan-bacaan padat. Padahal selama menduduki bangku sekolah, aku enggan sekali untuk membaca. Aku lebih tertarik menulis dari apa yang aku dapat melalui pendengaranku atau tontonanku di televisi, daripada harus membaca terlebih dahulu untuk sumber referensiku dalam menulis. Inilah mulanya aku mulai membiasakan diri untuk menghadapi berbagai bacaan padat.
Sebagai mahasiswa yang bertengger di dunia kebahasaan dan kesastraan, maka aku dituntut untuk selalu membaca teori bahasa dan kajian-kajian sastra sebagai bahan diskusi dalam mengikuti setiap matakuliah di kelas. Kadang aku mencintai bacaan yang kubaca loh, namun sontak hal tersebut bisa menjadi sebuah kejenuhan yang akut. Entahlah, apakah ini hanya aku saja yang merasakannya karena kuakui bahwa aku adalah pembaca pemula, ataukah mungkin hal ini juga sering dialami oleh beberapa pembaca lainnya? Di mana titik kejemuan kadang datang tiba-tiba dan menjajah kenikmatan pikiran kita, menjadikannya tawar dan tak berwarna.
Kebetulan, aku menceburkan diri ke dalam salasatu unit kegiatan mahasiswa di kampusku (UKM) yang berlatar sastra, atau biasa dikenal dengan sebutan ASAS (Arena Studi Apresiasi Sastra). Awalnya aku ragu mengambil lahan ini, tapi kupikir kegiatan ini bisa membantuku dalam perkuliahan di kelas. Jadi, apa salahnya untuk mencoba turut andil dalam kegiatan ini.
Suatu siang seusai kuliah, aku mendaftarkan diri di UKM tersebut yang letaknya berpusat di PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa). Gedungnya tak jauh dari fakultasku. Sore harinya aku langsung diajak untuk mengikuti kegitan reboan (diskusi sastra) yang rutin diadakan tiap hari rabu dalam UKM tersebut. Dengan rasa percaya diri dan setumpuk pengalamanku dalam berkomunikasi, akupun mulai mencoba membaurkan diri dengan apa yang mereka diskusikan. Awalnya aku pikir kegiatan ini akan mudah untuk kuikuti, namun semakin lama diskusi mereka semakin meruntuhkan rasa percaya diriku dalam berkomunikasi. Ya, taukah kalian? Aku gagap, padahal dulu aku adalah mantan wakil ketua osis yang cukup baik beretorika di sekolah. Tapi, rasanya sulit untuk menyatukan persepsi obrolanku dengan obrolan mereka yang sudah mahir mengungkapkan gagasannya dalam hal sastra. Aku kira diskusi ini tak sesulit yang kubayangkan. Tapi, diksi (pemilihan kata) yang mereka gunakan dalam mengungkapkan pendapatnya terasa asing di telingaku. Komentar-komentar mereka terhadap sebuah karya sastra yang sedang kami bahas itu sangat berbobot, karena di sana mereka menyertakan teori-teori kajian dan apresiasi sastra yang selama ini bukunya hanya kubuka ketika matakuliah kajian sastra berlangsung. Hah.. aku malu dan minder sekali terhadap mereka yang sudah memiliki referensi dari hasil bacaan mereka sebelumnya untuk dikaitkan dengan bahan diskusi saat itu. Maka bersamaan dengan  itulah segumpal kesadaran mulai mencerca dan memaki otakku.  Seekor kunang-kunang dengan poster bertuliskan “SADAR, BACA ITU PENTING!” mulai berlari-lari di pikiranku. Kemudian ia berselancar menuju organ dalam tubuh dan mengetuk pintu hatiku yang jarang kubuka untuk kegiatan membaca. Dari sinilah ketertarikanku terhadap kegiatan membaca mulai bereaksi. Ya, karena di organisasi ini aku tidak hanya berkumpul dan bergaul dengan mereka-mereka yang juga awam dalam dunia sastra, melainkan di sinilah aku juga dipertemukan dengan orang-orang yang aktif menggeluti sastra dengan seberkas bacaan sastra mereka sebagai bahan dalam menghasilkan karya sastra yang baru. “Inilah dunia sastra Dik, kalian harus banyak membaca untuk mendapatkan rujukan karya-karya kalian.” Begitulah kalimat penamat yang sering kudengar di tiap pertemuan UKM tersebut. "Menarik." kesan itulah yang mulai terpatri di otakku lalu menjelma batu nisan yang sangat indah.
Dalam hidup, kita sering dihadapkan dengan berbagai peristiwa yag mungkin sudah dikodratkan oleh Tuhan. Ya, seperti yang kualami saat itu. Aku mulai aktif di ASAS kemudian Tuhan memboyong langkahku untuk lebih luas bersosialisasi dengan orang-orang yang juga mulai tertarik akan dunia bacaan, terutama sastra. Seperti remaja lainnya, maka aku dipertemukan dengan sesosok pria yang usianya sekitar dua tahun di atasku. Ia berperawakan sedang, artinya tidak kurus maupun gemuk. Dengan rambut gondrongnya bak penyair sejati, ia selalu menggodaku dengan rayuan-rayuan manisnya acapkali kami berpapasan. Di sisi lain aku sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih yang sedang menggeluti dunia militer yaitu TNI-AD. Namun, pria yang memiliki nama pena WM ini tak henti-hentinya mendekatiku meskipun ia tahu bahwa aku sedang tidak ‘single’ saat itu. Lama kelamaan akupun luluh dibuatnya. Aku meninggalkan priaku yang dulu, tapi itu bukan karena ulah WM, melainkan karena orangtuaku yang masih membulatkan keputusannya sejak dulu bahwa mereka tidak menyetujui hubungan kami. Ya, beliau menginginkan putri bungsunya ini kelak bersanding dengan orang yang selalu mendampinginya. Karena berdasarkan pengalaman beberapa saudara ibuku yang menikah dengan seorang tentara, suatu ketika istri-istri itu akan menjadi ‘single’ karena suaminya gugur di medan perang. Ya, mungkin cukup membanggakan dan sangat terhormat, tapi kupikir mengerikan juga jika itu terjadi padaku. Akhirnya akupun memutuskan untuk mencari sosok pria lain yang mampu mngayomiku dalam segala hal. Dan terbukti ‘senjata kalah oleh kata-kata’, WM mampu menaklukan batu yang bersarang di kepalaku. Hingga kini hatiku telah dijajah oleh ulah kata-katanya yang piawai. Entahlah mengapa aku menceritakan masalah pribadiku ini. Tapi tak perlu khawatir, karena menurutku semua ini ikut berpengaruh pada ketertarikanku dalam membaca.
WM cukup ahli dalam dunia sastra. Selain karena ia adalah mahasiswa juruusan Sastra Indonesia, ia juga tergolong penyair muda yang telah menerbitkan beberapa karyanya. Kadang aku ikut andil berbincang dengannya perihal bacaan-bacaan sastra yang pernah kudapat dari Buku Pengantar Ilmu Sastra karya J.V. Luxemburg. Namun lebih seringnya aku hanya menjadi pendengar setia ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa aku belum sepenuhnya membaca pengetahuan tentang sastra dari berbagai sumber yang ia dapatkan. Ya, akhirnya untuk memudahkan diskusi sastraku bersama WM, maka aku dituntut untuk lebih  mendalami kecintaanku terhadap membaca, terutama di sini adalah buku-buku tentang sastra dan kawan-kawannya. Aku mulai tertarik pada buku Teori dan Apresiasi Puisi karya Herman J.Waluyo. Kebetulan priaku itu (WM) lebih memfokuskan dirinya pada lahan puisi, jadi ia memperbanyak buku bacaannya yang bertemakan puisi. Buku semacam antologi puisi, karakteristik hasil karya para sastrawan Indonesia, juga teori apresiasi maupun kajian puisi, tertata rapi di kamarnya. Ruang pribadinya itu ia sihir serupa perpustakaan mini. ‘Menarik’ (lagi). Sementara aku masih bimbang untuk memfokuskan diri di genre sastra yang mana. Tapi, beruntunglah aku yang memiliki seorang pria selaku motivator bacaanku, hehe. Ia berasumsi bahwa aku lebih piawai menarasikan sesuatu. Hingga akhirnya sebongkah keyakinan tertanam di benakku. “tak ada salahnya mencoba menjadi seorang prosais muda”.
Atas dasar kecintaan pada karya sastra dan juga keseriusanku untuk menggauli karya sastra (apresiasi), maka aku mulai menata waktu untuk lebih memperbanyak kegiatan membaca dan menambah bahan bacaanku sebagai tonggak pembuatan karya-karyaku baik itu berupa puisi, esai, naskah drama, dan terutama prosa. Ya, ternyata cinta mampu menyulapku sedemikian tertariknya pada membaca. Bermula dan berlabuh pada sastra, ia mendorongku untuk menambah bahan bacaanku. And finally, kecintaanku terhadap membaca mulai berdesakkan meminta segera diadili dengan tuntas.

Dari pengalaman tersebut, maka aku membebaskan pembaca untuk menumbuhkan kiat-kiatnya serndiri dalam mengembangkan minat bacanya. Semoga pengalamanku ini bisa bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi anda semua. Amin. Terima kasih. Salam sastra, salam budaya, semangat membaca!


Minggu, 23 Oktober 2011

Para Pengarang dan Penyair angkatan ’66



Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah. Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo. Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat. Sebagian Karya-Karya Rendra:

1.     Drama
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954),Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata),SEKDA (1977), Selamatan Anak Cucu Sulaiman, Mastodon dan Burung Kondor (1972), Hamlet (terjemahan karya William Shakespeare), Macbeth (terjemahan karya William Shakespeare), Oedipus Sang Raja (terjemahan karya Sophokles), Lisistrata (terjemahan), Odipus di Kolonus (terjemahan karya Sophokles), Antigone (terjemahan karya Sophokles), Kasidah Barzanji, Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan karya Jean Giraudoux) Panembahan Reso (1986), Kisah Perjuangan Suku Naga.
2.    Puisi
Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
, Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak,Jangan Takut Ibu, Mencari Bapak, Nyanyian Angsa, Pamphleten van een Dichter, Perjuangan Suku Naga, Pesan Pencopet kepada Pacarnya, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan), Rick dari Corona, Rumpun Alang-alang, Sajak Potret Keluarga, Sajak Rajawali, Sajak Seonggok Jagung, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, State of Emergency, Surat Cinta, Pranala luar

Ajip Rosidi adalah anak sulung dari pasangan Dayim Sutawiria Hj.Sitti Konaah. Ia lahir pada tanggal 31 Januari 1938 di Jatiwangi-Majalengka, Jawa Barat. Riwayat Pendidikannya adalah di Sekolah Rakyat 6 tahun di Jatiwangi (1950), Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953), Taman Madya - Taman Siswa Jakarta (1956, tidak tamat).  Selanjutnya otodidak. Ia menikah (1955) dengan Fatimah Wirjadibrata, mempunyai anak Hj. Nunun Nuki Aminten (1956), Hj. Titi  Surti Nastiti (1957), H. Uga Percéka (1959), H. Nundang Rundagi (1961), H. Rangin Sembada (1963) dan Hj. Titis Nitiswari (1965).

Taufiq Ismail, dilahirkan di Bukittinggi, 25 Juni 1937, lulusan Fakultas Kedokteran Hewan UI, redaktur senior Horison. Penerima Anugerah Seni dari pemerintah RI tahun 1970 dan Sastra ASEAN tahun 1994 ini telah berjasa besar dalam memasyarakatkan, mengembangkan dan memajukan sastra Indonesia bersama tokoh-tokoh lain seperti Sutarji Calzoum Bachri, Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman, Abdul Hamid Jabbar (almarhum) melalui program SBSB (Sastrawan Buicara Siswa Bertanya) di sekolah-sekolah (SMA/MAN/SMK) di seluruh Indonesia tahun 2000 – 2004. Karena jasa-jasanya dan prestasinya, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) memberinya gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang sastra.
Penyair ini terkenal dengan kumpulan sanjak Tirani dan Benteng, tertbit tahun 1966. Sanjak berjudul Seorang Tukang Rambutan dan Istrinya, Karangan Bunga, Sebuah Jaket Berlumur Darah, Kami adalah Pemilik Sah Republik Ini, Yang Kami Minta Hanyalah…bisa dijumpai dalam buku-buku tersebut. Kumpulan sanjaknya yang lain, Sajak Ladang Jagung (1973) terbit setelah ia pulang dari Amerika. Dalam buku tersebut, kita bisa membaca Kembalikan Indonesia Padaku, Beri Daku Sumba, Bagaimana Kalau ….. Sejak puluhan tahun yang lalu (1974) Taufiq bekerja sama dengan Bimbo Group dalam penulisan lirik lagu. Kita bisa dengar nikmati lagu dan lirik Aisyah Adinda Kita, Sajadah Panjang, Balada Nabi-nabi, Bermata tapi Tak Melihat, Ibunda Swarga Kita, dan lain-lain dari dirinya. Taufiq Ismail juga menulis Sajak-sajak Si Toni, Balai-balai, Membaca Tanda-tanda, Abad ke-15 Hijriah, Rasa Santun yang Tidur, Puisi-puisi Langit.
Pada awal tahun 1994 diluncurkan buku antologi puisi berjudul Tirani dan Benteng cetak ulang dua kumpulan puisinya yang terkenal itu. Buku tersebut diberi pengantar oleh sang penyair secara cukup panjang dan mendalam. Di antara kata pengantar dan dua kumpulan sanjak tersebut disertakan pula dalam buku ini Sajak-sajak Menjelang Tirani dan Benteng. Pada tahun-tahun seputar Reformasi ditulisnya puisi berjudul Takut 98 dan antologi puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia (MAJOI) terbit tahun 1998. Bersama DS Mulyanto, rekan sastrawan Angkatan ’66, Taufiq Ismail mengeditori buku tebal berjudul Prahara Budaya (antologi esai, 1995), bersama LK Ara dan Hasyim Ks menyusun buku tebal juga berjudul Seulaweh Antologi Sastra Aceh (1995).

Bur Rasuanto, dilahirkan di Palembang, 6 April 1937, adalah pengarang, penyair, wartawan. Ia menulis kumpulan cerpen Bumi yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1963). Bur Rasuanto juga menulis roman Sang Ayah (1969); Manusia Tanah Air (1969) dan novel Tuyet (1978).

Goenawan Mohamad, dilahirkan di Batang, 29 Juni 1941. Penyair, esais, wartawan, yang sampai sekarang menjadi pimpinan umum majalah Tempo ini termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan. GM adalah juga penerima Anugerah Seni pemerintah RI, penerima Hadiah A. Teeuw tahun 1992 dan Hadiah Sastra ASEAN tahun 1981.Di samping prestasi-prestasi di atas, GM pernah menjadi wartawan Harian KAMMI, anggota DKJ, pimred Express, pimred majalah Zaman, redaktur Horison, anggota Badan Sensor Film.
Ia menulis kumpulan sanjak Interlude, Parikesit (1971);kumpulan esai Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malinkundang (1972); Catatan Pinggir I (1982), Catatan Pinggir 2 (1989), Catatan Pinggir 3 yang dihimpun dari majalah Tempo. Karyanya yang lain: Asmaradahana (kumpulan puisi, 1992); Seks, Sastra, Kita (kumpulan esai); Revolusi Belum Selesai” (kumpulan esai); Misalkan Kita di Serayewo (antologi puisi, 1998).

Subagio Sastrawardoyo, dilahirkan di Madiun, 1 Febuari 1924, meninggal di Jakarta, 18 Juli 1995. Penyair, pengarang, esais ini, pernah menjadi redaktur Balai Pustaka, dosen bahasa Indonesia di Adelaide, dosen FS UGM, SESKOAD Bandung, Universitas Flinders, Australia Selatan. I menulis kumpulan sanjak Simphoni (1957); Daerah Perbatasan, Kroncong Motenggo (1975). Kumpulan esainya berjudul Bakat Alam dan Intelektualisme (1972); ManusiaTerasing di Balik Simbolisme Sitor, Sosok Pribadi dalam Sajak (1980); antologi puisi Hari dan Hara; kumcerpen Kejantanan di Sumbing (1965). Cerpennya Kejantanan di Sumbing dan puisinya Dan Kematian Makin Akrab meraih penghargaan majalah Kisah dan Horison.

Sapardi Djoko Damono, dilahirkan di Solo, 20 maret 1940, adalah penyair, esais, dosen dan Guru Besar FSUI. Ia menulis Duka-Mu Abadi (1969); Akwarium (1974); Mata Pisau (1974); Perahu Kertas (1983); Suddenly the Night (1988);Hujan Bulan Ini (1994). Semuanya kumpulan puisi. Ia juga penerjemah yang mengalihbahasakan The Old Man and The Sea nya Ernest Hermingway menjadi Lelaki Tua dan Laut (1973). Karya terjemahannya yang lain Lirik Persi Klasik (1977); Puisi Klasik Cina (1976); Puisi Brazilia Modern. Kumpulan esainya Novel Indonesia Sebelum Perang (1979); Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978); Kesusastraan Indonesia Modern, Beberapa Catatan (1983); Sihir Rendra: Permainan Makna (1999); Politik Iodeologi dan sastra Hibrida (1999). Merefleksikan saat-saat Reformasi yang diterpa kerusuhan, penjarahan dan pembakaran gedung-gedung dan supermarket, sampai ada ratusan jiwa yang tewas terpanggang, Sapardi mengabadikan tragedi tersebut lewat antologi puisi Ayat-ayat Api (2000).

Titie Said Sadikun, dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Pengarang dan wartawati yang pernah menjadi redaktur majalah Wanita, Hidup, Kartini, Famili ini menulis kumpulan cerpen Perjuangan dan Hati Perempuan (1962), novel Jangan Ambil Nyawaku (1977), Lembah Duka, Fatimah yang difilmkan menjadi Budak Nafsu, Reinkarnasi, Langit Hitam di Atas Ambarawa.

Arifin C. Noer, dilahirkan di Cirebon 10 Maret 1941, meninggal di Jakarta 28 Mei 1995. Penyair yang juga dramawan dan sutradara film ini menulis sanjak Dalam Langgar, Dalam Langgar Purwadinatan, naskah drama Telah Datang Ia, Telah Pergi Ia , Matahari di Sebuah Jalan Kecil , Monolog Prita Istri Kita dan Kasir Kita (1972, Tengul (1973), Kapai-kapai (1970), Mega-mega (1966), Umang-umang (1976), Sumur Tanpa Dasar (1975), Orkes Madun, Aa Ii Uu, Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi, Ozon. Karya-karyanya yang lain: Nurul Aini (1963); Siti Aisah (1964); Puisi-puisi yang Kehilangan Puisi-puisi (1967); Selamat pagi, Jajang (1979); Nyanyian Sepi (1995); drama Lampu Neon (1963); Sepasang Pengantin (1968); Sandek,Pemuda Pekerja (1979)
Selain penyair dan dramawan yang memimpin Teater Kecil, Arifin C. Noer juga penulis skenario dan sutradara film yang andal. Karya skenarionya antara lain: G 30 S/PKI; Serangan Fajar; Taksi; Taksi Juga; Bibir Mer.
Film-film yang disutradarinya: Pemberang (1972); Rio Anakku (1973); Melawan badai (1974); Petualang-petualang (1978); Suci Sang Primadona (1978); Harmonikaku (1979). Pada tahun 1972 Arifin menerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI dan pada tahun 1990 menerima Hadiah Sastra ASEAN.

Hartoyo Andangjaya, dilahirkan di Solo 4 Juli 1930, meninggal di kota ini juga pada 30 Agustus 1990. Penyair yang pernah menjadi guru SMP dan SMA di Solo dan Sumatra Barat ini menulis sanjak-sanjak terkenal berjudul Perempuan-perempuan Perkasa, Rakyat, juga Sebuah Lok Hitam, Buat Saudara Kandung. Sanjak-sanjak tersebut bisa dijumpai dalam bukunya Buku Puisi (1973). Musyawarah Burung (1983) adalah karya terjemahan liris prosaya tokoh sufi Fariduddin Attar. Seratusan puisi karya penyair sufi terbesar sepanjang sejarah, Maulana Jalaluddin Rumi, diambil dari Diwan Syamsi Tabriz, diterjemahkan dan dihimpunnya di bawah judul buku Kasidah Cinta.
Hartoyo juga menulis antologi puisi Simponi Puisi (bersama DS Mulyanto, 1954), Manifestasi (bersama Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail, 1963), kumpulan syair Dari Sunyi ke Bunyi (1991).Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (Tagore, 1976), Kubur Terhormat bagi Pelaut (antologi puisi J. Slauerhoff, 1977), Rahasia hati (novel Natsume Suseki,1978); Puisi Arab Modern (1984).Hartoyo Andangjaya termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan.

Slamet Sukirnanto, dilahirkan di Solo 3 Maret 1941. Penyair ini menulis buku kumpulan puisi Kidung Putih(1967); Gema Otak Terbanting; Jaket Kuning (1967), Bunga Batu (1979), Catatan Suasana (1982), Luka Bunga (1991). Bersama A. Hamid Jabbar, Slamet mengeditori buku Parade Puisi Indonesia (1993). Dalam buku itu, termuat sanjak-sanjaknya: Rumah, Rumah Anak-anak Jalanan, Kayuh Tasbihku, Gergaji, Aku Tak Mau; Bersama Sutarji Calzoum Bachri dan Taufiq Ismail, Slamet menjadi editor buku Mimbar Penyair Abad 21.

Mohammad Diponegoro, dilahirkan di Yogya 28 Juni 1928, meninggal di kota yang sama 9 Mei 1982. Pengarang, dramawan, pendiri Teater Muslim, penyiar radio Australia ini menulis cerpen Kisah Seorang Prajurit, roman Siklus, terjemahan puitis juz Amma Pekabaran/Kabar Wigati (1977), kumpulan esai ketika ia menjadi redaktur Suara Muhammadiyah berjudul Yuk, Nulis Cerpen, Yuk (1985). Mohammad Diponegoro juga menulis antologi puisi bersama penyair lain bertajuk Manifestasi (1963), drama Surat pada Gubernur, Iblis (1983), buku esai Percik-percik Pemikiran Iqbal (1984), antologi cerpen Odah dan Cerita Lainnya (1986).

Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo, dilahirkan di Prambanan, 18 Maret 1930, meninggal di Jakarta, 9 April 1984, mengarang roman Orang Buangan (1971), dan Perjanjian dengan Maut (1975), kumpulan sanjak Luka Bayang (1964), menerjemahkan epos Mahabharata. Hariyadi juga menulis buku astrologi Teropong Cinta (1984)

Satyagraha Hurip, dilahirkan di Lamongan 7 April 1934, meninggal di Jakarta 14 Oktober 1998, mengarang cerpen Pada Titik Kulminasi, kumcerpen Tentang Delapan Orang, novel Sepasang Suami Istri (1964), Resi Bisma (1960), serta menyunting antologi esai Sejumlah Masalah Sastra (1982). Karya-karyanya yang lain: Burung Api (cerita anak-anak, 1970); Sarinah Kembang Cikembang (kumcerpen, 1993). Satyagraha adalah editor buku Cerita Pendek Indonesia I – IV (1979) dan penulis terjemahan Keperluan Hidup Manusia (novel Leo Tolstoy, 1963).
Cerpen-cerpennya dimuat di Kompas, Republik, Matra, antara lain: Surat Kepada Gubernur, Sang Pengarang. Ia juga menulis kumpulan cerpen Gedono-Gedini (1990) dan Sesudah Bersih Desa (1989).

Titis Basino PI, dilahirkan di Magelang 17 Januari 1939, menulis cerpen Rumah Dara, novel Pelabuhan Hati (1978); Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983); Bukan Rumahku (1983); Welas Asih Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan Perselingkuhan (1998), Dari Lembah ke Coolibah (1997); Tersenyum pun Tidak untukku Lagi (1998); Aku Supiyah Istri Hardian (1998); Bila Binatang Buas Pindah Habitat (1999); Mawar Hitam Milik Laras (2000); Hari yang Baik (2000). Pada tahun 1999 Titis menerima Hadiah Sastra Mastera.

Bambang Sularto, dilahirkan di Purworejo 11 September 1934, meninggal di Yogyakarta tahun 1992, terkenal dengan dramanya Domba-domba Revolusi (1962). Juga ditulisnya novel Tanpa Nama (1963); Enam Jam di Yogya,drama tak Terpatahkan (1967); buku Teknik Menulis Lakon (1971)

Jamil Suherman, dilahirkan di Surabaya 24 April 1924, meninggal di Bandung 39 November 1985, mengarang roman Perjalanan ke Akhirat; kumcerpen Ummi Kulsum(1963), kumpulan sanjak Nafiri (1983), novel Pejuang-pejuang Kali Pepe (1984); Sarip Tambak Oso (1985) . Juga menulis drama yang sangat terkenal berjudul Mahkamah di Seberang Maut;

Umar Kayam, dilahirkan di Ngawi 30 Maret 1932, Guru Besar UGM sang budayawan dan pameran Bung Karno yang menulis kumcerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972) dan Sri Sumarah dan Bawuk (1975).
Novelnya yang sangat terkenal berjudul Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (2000). Karyanya yang lain berjudul Ke Solo ke Jati dan Bi Ijah, keduanya berbentuk cerpen, kumcerpen Parta Krama (1997), kumpulan esai Seni, Tradisi, Masyarakat (1981); kumpulan kolom Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Bandha, Madhep Ngalor Madhep Ngidul. Pada tahun 1987 Umar Kayam memperoleh Hadiah Sastra ASEAN

Budiman S. Hartoyo, dilahirkan di Solo 5 Desember 1938 menulis antologi puisi Lima Belas Puisi (1972) ; Sebelum Tidur (1977). Banyak menulis puisi-puisi religius, di antaranya puisi tentang pengalaman spiritualnya ketika ia beribadah haji ke Tanah Suci. Dalam bunga rampai Laut Biru Langit Biru susunan Ayip Rosidi bisa dibaca sanjak-sanjak sufistiknya antara lain: Jarak Itu pun Makin Menghampir, Bukalah Pintu Itu, Di depan-Mu Aku Sirna Mendebu.

Gerson Poyk, dilahirkan di Pulau Rote Timor 16 Juni 1931 mengarang novel Sang Guru (1971), kumcerpen Matias Anankari (1975), novelet Surat Cinta Rajagukguk, Cinta Pertama, Kecil Itu Indah Kecil Itu Cinta. Gerson juga menulis cerpen berjudul Bombai, Puting Beliung, Pak Begowan Filsuf Hati Nurani;.

Ramadhan K.H., dilahirkan di Bandung, 15 Maret 1927, meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 15 Maret 2006, adalah penyair, novelis, penerjemah. Sebentar berkuliah di ITB, pindah ke Akademi Dinas Luar Negeri, pernah bekerja di Sticusa Amsterdam, pernah menjadi redaktur majalah Kisah, Siasat, Budaya Jaya, anggota DKJ, direktur pelaksana DKJ., mengikuti Festival Penyair Internasional di Amsterdam tahun 1992, mewakili Indonesia dalam Kongres Penyair Sedunia dfi Taipeh tahun 1993, pernah bermukim di Falencia, Spanyol, Paris, Los Angeles, Jenewa, Bonn.
Ramadhan menulis kumpulan sanjak Priangan Si Jelita. Terkenal dengan romannya Royan Revolusi, novelnya Kemelut Hidup mengangkat tema sosial dengan mengetengahkan sebuah figur yang jujur, seperti Si Mamad nya Syuman Jaya. Novelnya yang lain berjudul Keluarga Permana, dari perjalanan cinta Inggit Ganarsih dengan Bung Karno, ditulisnya roman biografi Kuantar Ke Gerbang. Karya-karya Frederico Garsia Lorca, sastrawan Spanyol, diterjemahkan menjadi Romansa Kaum Gitana.
Ramadhan menulis novel yang mengasosiasikan pembaca pada korupsi yang terjadi di Pertamina berjudul Ladang Perminus Bersama G. Dwipayana, Ramadhan menulis otobiografi Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindak Saya.

Muhammad Saribi Afn, dilahirkan di Klaten 15 Desember 1936, penyair dengan kumpulan sanjaknya Gema Lembah Cahaya (1963). Karyanya yang lain, sebuah antologi bersama penyair-penyair Islam berjudul Manifestasi. Di Panji Masyarakat, ia menulis puisi panjang Yang Paling Manis ialah Kata. Dari mendengarkan kuliah subuh Buya HAMKA, lahirlah bukunya Hamka Berkisah tentang Nabi dan Rasul.

Mansur Samin, dilahirkan di Batangtoru Sumatra Utara 29 April 1930, penyair, pengarang cerita kanak-kanak, wartawan, guru. Kumpulan sanjaknya Perlawanan (1966) dan Tanah Air (1969) merupakan sanjak-sanjak demonstrasi atau rekaman peristiwa kebangkitan Orde Baru, sebagaimana Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail dan Mereka Telah Bangkit karya Bur Rasuanto. Juga menulis antologi puisi Dendang Kabut Senja (1969), Sajak-sajak Putih (1996), drama Kebinasaan Negeri Senja (1968) Cerkan-cerkannya antara lain: Si Bawang, Telaga di Kaki Bukit, Gadis Sunyi, Empat Saudara, Berlomba dengan Senja.

Rahmat Joko Pradopo, dilahirkan di Klaten 3 November 1939, penyair yang juga Guru Besar dari Fakultas Sastra UGM. Ditulisnya antologi puisi Matahari Pagi di Tanah Air (1967), Hutan Bunga (1990); Jendela Terbuka (1993). Sebagai ahli sastra, Rahmat menulis buku berjudul Pengkajian Puisi (1987); Bahasa Puisi Nyanyi Sunyi dan Deru Campur Debu (1982); Beberapa Teori Sastra, Metode Kreitik dan Penerapannya (1995).

Senin, 03 Oktober 2011

Puisi Kartun Bikini Bottom


oleh Intan Pertiwi

Aku bukanlah patrick
yang dengan konyol menyayangimu karena lugu.
Bukan pula squidward 
yang mengenalmu karena kelebihan yang selimutimu.
Dan akupun bukan tuan krebs
yang mencintaimu karena limpahan hartamu,
Tapi,
aku menjelma spongebob
yang mencintai imajinasi dari tiap kata-katamu :)

Mengembalikan Penyakit Akutku : Rindu Menuju Ibu

Hari ini tepat kedua kalinya aku tak mengisi absen kelas di matakuliah yang menghiasi hari senin. Heemm, entahlah! kebiasaan ngaret libur dari hari sabtu mungkin.. Padahal ini bukan liburan, melainkan keadaan kantongku yang sekaratlah yang mengharuskanku pulang ke rumah abangku. Letaknya tiga jam perjalanan menggunakan mobil angkutan umum dari arah kampusku. Hufth.. cukup melelahkan yaa.. begitulah adanya. Jika bukan karena masalah ini sangat berimbas pada kelangsungan hidupku,  hoahh.. enggan sekali rasanya aku lakukan perjalanan yang memakan banyak waktuku ini !
Senin.. Kosong tujuh, kosong kosong :
Kunaiki kendaraan beroda dua milik abangku, tentunya dengan posisi sebagai penumpang yang hanya numpang di jok belakang.. hehe. Sedang abangku mengendarai roda dua di depan. Yaa.. memang itu adalah motornya, mau bagaimana lagi.. ckck. Aku sengaja kembali ke habitatku di kosan 103 pada hari senin, agar aku bisa ikut (nebeng) di motor abagku yang kebetulan harus mengajar sebagai seorang guru olahraga di salasatu SMA di kota itu. Yaa, letaknya lumayan mengocek ongkos hingga tujuh ribu rupiahlah jika aku naik angkutan umum. Beruntunglah, hari itu abangku memulai aktivitas rutinnya sebagai guru, jadi yaa aku bisa ikut diboncengnya sampai ke tempat yang lumayan mengiritkan uang sakuku itu.. hehe. Ongkos mahal menn..!!! kesempatan dalam kelonggaran (bukan kesempitan kok! *alibi :p)
Sampai didepan gank tempat abangku mengajar. Aku turun dari roda dua itu, sedang abangku memberi selembar uang berwarna biru dongker untukku. Pada zamanku tersebut, uang biru dongker adalah uang lima puluh ribu. Entahlah, jika anda membaca tulisan ini beberapa tahun ke depan, mungkin sudah berubah nominalnya dengan warna yang kumaksudkan. Yaa, tergantung zamanlah yang merubah segalanya, hehe.
Kuulurkan lengan kananku untuk mencium punggung telapak tangan kanan abangku, sebagai ucapan perpisahan dan terimakasih karena masih menafkahiku sebagai pengganti orangtuaku di kampung halaman (rumah). Yaa, beginilah nasib anak rantau yang jauh dari orangtua karena harus melanjutkan studinya melalui jalur beasiswa, tapi masih mempunyai keberuntungan karena memiliki abang yang juga merantau sambil bekerja di daerah yang sama denganku itu.
Tak lupa kulepaskan helm yang menutupi butir kepalaku yang ditumbuhi rambut lebat dan panjang. Yaa karena helm itu milik abangku. Jika bukan, mungkin akan aku bawa ke kosanku sebagai persiapan kalau-kalau ada yang mengajakku naik roda dua untuk berkeliling kota atau bahkan menjajaniku ke tempat yang belum pernah kukunjungi.. hihihi (khayalan tingkat tinggi) . Tapi apa boleh dikata, kukembalikan helm itu padanya. Lalu dengan rasa percaya diri bahwa adiknya ini sudah hampir dewasa, ia pun pergi meninggalkan adik gadisnya yang manis mematung seorang diri (huhu.. jangan nawar! :D)
Aku tak tahu itu kali keberapa aku diturunkan di tempat itu. Bahkan mungkn aspal yang kuinjak sudah bosan melihatku bertumpu diatasnya. Yaa karena sudah sering atau bahkan jarang sehingga aspal tersebut tak mengingat wajah telapak kakiku. Entahlah.. aku manusia biasa, jadi mudah lupa.. hehe. Kembali ritual yang sama kulakukan saat itu.. #menunggu sebuah kendaraan umum yang layak kunaiki.
Kuulurkan tanganku lagi, kali ini aku bukan menjelma seorang wanita jalanan yang biasa mangkal di pinggir aspal loh.. haha. Aku masih normal dan waras untuk melakukan hal sebodoh itu hey ! Yaa.. aku hanya menghadang sebuah kendaraan beroda empat yang bertujuan ke arah kampusku, di mana kosan 103 yang kutuju ada tepat di belakang kampus kesayanganku itu. (semoga tidak hiperbola :D)
Beberapa menit kemudian:
Sebuah angkutan umum berwarna hijau tua berhenti tepat di pendirianku. Kupijakkan kaki kananku ke dalam pintu yang sengaja terbuka untuk para penumpangnya (sesuai ajaran ustad yang mengguruiku di sekolah keagamaan, ketika masuk kendaraan itu harus menggunakan kaki kanan terlebih dahulu.. agar lebih afdol.. hehe begitulah yang kuingat, semoga benar). Saat aku baru duduk di kursi yang saling berhadapan satu sama lain itu, seluruh pasang mata yang sudah lama duduk di roda empat itu menatapku lekat-lekat. Yaa, maklumlah mungkin mereka terpesona ketika melihatku naik kendaraan itu.. ckck. Ini adalah ritual bangsa Indonesia hey! ketika seseorang masuk ke dalam sebuah angkutan umum, pasti orang-orang yang terlebih dahulu ada di dalamnya langsung mengamati setiap lekuk raga orang yang baru memasuki angkutan tersebut. Seolah mereka ingin memberitahu pada penumpang awam bahwa kendaraan itu adalah daerah kekuasaannya karena lebih dulu menaikinya, ckck.. Ya Tuhan...!!!
Aku hiraukan hal itu, karena tak penting juga.. hehehe. Beberapa saat setelah aku duduk manis di kursi  berbahan padat itu, lampu merahpun berjaya di hadapan roda empat yang kutunggangi. Seperti ritual pada umumnya. Yaa anda jangan bosan mendengarnya karena Negara Indoonesia punya banyak ritual yang memang menjadi budaya tersendiri bagi para pelakunya. Dua orang pria separuh baya menghampiri gerbang utama roda empat yang kunaiki itu. Mereka bertengger di alas yang menandakan ‘welcome’  untuk tiap penumpang di sana. Yaa.. semoga anda telah menduga sebelumnya. Pria-pria itu dengan gagah langsung menyanyikan sebuah lagu yang cukup membuyarkan khayalan kekonyolanku dalam menulis catatan ini. Lagu bertema ‘ibu’ menjadi andalan mereka untuk menguras dompet berisi uang receh para penumpang angkutan umum itu.
Ibu..ibu..ibu.. :(

Ribuan kilo, jalan yang kau tempuh,
Lewati rintangan, untuk aku anakmu.
Ibuku sayang, masih terus berjalan,
Walau telapak kaki, penuh darah penuh nanah.

Hoahhhhh... ibuuuu... !!! sontak, aku menjelma balita yang menangis tersedu-sedu dengan selembar tissue yang menutupi lubang nafas dan cilap mata karena tak ingin ada orang yang melihat atau bahkan mendengar rintihan penyakit akutnya. Tanpa pikir panjang kuberikan beberapa uang koin yang lama kutabung dalam dompet bulatku. Untuk lagu sehebat itu, apa yang membuatku ragu memberikan penghargaan bagi para pengamen jalanan yang tak sempat mendapatkan keberuntungan sepertiku untuk dapat melanjutkan pendidikannya di dunia yang semakin mengutamakan gengsi ini??? (read: tanpa tanda baca, hufth.. -,-') Hemm... sudah! The important one is “aku rindu ibu” untuk kesekian kalinya dan takkan pernah mengecup titik akhir atas rindu yang selalu mengakut ini. Tak pernah sembuh sampai kapanpun sebelum tabib termujarab itu mengobatiku, yaa ketika beliau berada di hadapanku dan memelukku erat-erat, menyingkap beban yang memberatkan pundakku.. ialah wanita mulia yang selalu kuingat dan kusayangi...... IBU..... :’(

dua belas empat puluh dua


dua belas empat puluh dua siang tadi;
kupijakkan kaki di jalan setapak yang menghubungkan ragaku dengan ragamu, sementara langit masih memasungku dengan masa jayanya yang memekikkan kerongkongan ini hingga menjelma sesosok gelandang yang terpanggang kehausan.

berulangkali lidah ini menjerit;
aku terperosok pada lembah yang garang. di mana kaki menginjak pada dataran yang gersang. di mana tumit mencium sosok hitam yang mengepul serupa tubuhku, bertengger di antara pijakkan kaki yang menyentuh aspal yang usang.

Rabu, 21 September 2011

Penamat Kata



MORRIS (Vespa Kami)

Sampai :

kau bersandar di roda duamu
sedang aku duduk di sebuah dipan yang berpunca dari batu.
kita selalu membenci percakapan di ujung persuaan ini.
ketika dua puluh satu nolnol berdetak
menjelma angkaangka penyuguh kesimpulan
meramu seberkas penamat katakata.

tapi sentosalah kita
ketika anak-anak masih asyik menyalakan petasan
hingga menyentuh butir bulan di langit Irian
membiarkan kita terjaga dan tidak berpamitan.


Bandung, 2011.
( puisi ini dimuat dalam antologi puisi Situ Waktu )