Minggu, 08 Desember 2013

5 Puisi dimuat dalam Harian Indopos Jakarta (edisi sabtu 7 desember 2013)

Manusia hanya berusaha, Tuhan yang menentukan. Sudah dua minggu sebelum 7 desember saya mengirim sebanyak 12 puisi ke redaktur Koran Nasional - Indopos Jakarta, yang tak lain adalah seorang penyair besar, Sutardji Calzoum Bachri. Saya tak pernah berambisi untuk bisa dimuat dalam harian tersebut. Mendengar nama redakturnya pun saya hanya bisa mengernyitkan dahi tanpa ada harapan besar untuk pemuatan karya saya. Tapi Tuhan memiliki jalan lain yang membuat gairah menulis saya bertambah. Ketika bulan-bulan akhir ini saya disibukkan oleh kegiatan UKM dan tugas-tugas kuliah yang semakin meradang buas, saya malah membelokkannya dengan menulis puisi. Saya pikir puisi-puisi ini hanya akan menjadi puisi kamar yang tidak akan pernah dibaca banyak orang, tapi Tuhan berkehendak lain. Tuhan menampar saya melalui karya-karya ini. Tuhan menggugah pikiran bengkok saya yang hampir melenyapkan puisi begitu saja dari ritual sehari-hari saya. Tuhan memiliki opini tersendiri ketika saya memilih vakum untuk menulis puisi. Inilah hasil skenario Tuhan yang sudah dirancang sedemikian hebat. Saya mengagumi Tuhan, sama seperti DIA mengagumi hasil usaha saya.
Epapernya belum sempat saya download, karena Indopos jarang menampilkannya di Internet. Kalaupun ada, proses penayangannya yang cukup lama. Akhirnya saya mendapat kabar dari seorang penggiat sastra berinisial KS yang barangkali sudah membeli korannya di Jakarta, bahwa kelima puisi saya inilah yang lolos dalam rubrik Hari Puisi Indopos.
Selamat mengapresiasi puisi-puisi ini. Salam!


Patetis (1)
Wishu Muhamad

setelah berminggu-minggu ditinggalkan olehmu
ternyata inilah yang sanggup aku tuliskan :

setumpuk pakaian kotor di bawah ranjang
sebundel selimut kering di ujung kaki
dan sisa airmata menempel di bantal kita.

tak peduli rambut kusut menambah kisut dadaku
setiap hari aku bercermin
dan menemukan bagian-bagian dari tubuhku yang asing

kau bilang,
“mencintaimu adalah mencari yang tak pernah terjawab oleh cermin”

lalu sebagian usiaku kau tulis dalam puisi.

kini, di hadapan cermin itu
aku hanyalah perempuan
yang selalu memiliki alasan
untuk dicintai atau dilupakan.

2013.



Melukis Senja
Bara

 –kuas
kepada siapa kularungkan penantian ini
tiap menit adalah waktu yang sekarat bagiku
jam terus berdetak
tapi tak jua menggariskan bayangmu
hanya kental oranye yang melucuti tubuhku

 –mata
kanvas di ujung kuasmu berkata:
tak ada yang berubah dari tubuhku,
selalu tentang mentega di langit biru
dan seseorang asing yang kau temui di Gilimanuk
seperti orbit yang memutari pandanganku.

 –kanvas
di Jembrana, kau menyulap kuas satu warna;
memotret tangkapan mata
kali ini bersama awan cumulonimbus,  sesekali 
menjelma fibratus cirrus, melumer  di tubuhku

 –senja
wajahku tak ubahnya hadir dalam potretmu
seperti gravitasi yang melekat pada kanvas dan kuasmu
tibatiba terpampang dalam Travel Photographer
dan seseorang asing di Gilimanuk
masih menunggumu; membawaku padanya.

2013.



Patetis (2)
: Bah

pada dedaun rimbun
kutulis doa untukmu
pemikul rezeki
kelak sepersatu daun itu luruh
menguap bersama angin
melindap dalam pusara,
semoga menjadi pertanda
jiwa bersemuka
kita adalah  tubuh yang serupa
dalam dua termin masa

ketika sangkakala bergema
segugus petuahmu menjelma ruh
bagi jengkal nafasku yang ripuh

2013.



Cermin
 : Maila

di wajahmu yang bulat
sesudut rona berbinar cemas
mengedipkan sayap sayup mata
bergelung menjelma ombak lanun
yang telah pikun.

langit bertungku bukanlah waktu yang sakral
sebab tubuhmu tetap melengkung
mengitari bulan yang kaku
memantul lewat celahcelah kaca; pecah.

pada jejarum jam yang tak terlihat
telunjukmu menyerupai hulu
larut dalam muara mata
kakimu serupa egrang; menumpu asa.

tidakkah kau ingat, Maila
cermin yang memotretmu
memahatkan luka dan kenangan 
yang pernah bersarang
di tubuh kita

jika pantulannya hanya keindahan semu,
tubuhmu adalah kebohongan terburuk
bagi seluruh pemilik rusuk.

2013.



Mengemas Waktu

aku hendak berkemas dari tiparmu,
ketika fajar menyarak mimpi
dan embun menganak sungai
di antara cilap mata ini.

pun aku mulai berkemas dari tiparmu,
ketika surya membidik pupil
dan semesta menjelma perangai yang labil.

aku akan tetap berkemas dari tiparmu,
ketika langit tunggang gunung
dan mega memutasikan iga
yang tertimbun di lengan kirimu.

akhirnya aku berkemas dari tiparmu,
ketika butir bulan menyingsing malam
dan kunang-kunang menamatkan segala percakapan.

2011.



Biodata Penulis :
Intan Pertiwi, lahir di Cirebon 12 September 1992.
Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI Bandung. 
Saat ini tengah menggarap skripsinya ihwal pembelajaran menulis di sekolah.


Sabtu, 07 Desember 2013

Desember

pada siapa kularungkan penantian ini
tiap detik adalah waktu yang sekarat bagiku
jam terus berdetak, tapi tak jua menggariskan bayangmu
hanya gigil semu yang merunjam bibirku

kini,
saat musim merebahkan usia
tubuhku adalah dingin yang tak lagi teraba
dan hujan adalah kebekuan terburuk
bagi seluruh pemilik rusuk.


Memoar, 2013.