Manusia hanya
berusaha, Tuhan yang menentukan. Sudah dua minggu sebelum 7 desember saya
mengirim sebanyak 12 puisi ke redaktur Koran Nasional - Indopos Jakarta, yang
tak lain adalah seorang penyair besar, Sutardji Calzoum Bachri. Saya tak pernah
berambisi untuk bisa dimuat dalam harian tersebut. Mendengar nama redakturnya
pun saya hanya bisa mengernyitkan dahi tanpa ada harapan besar untuk pemuatan
karya saya. Tapi Tuhan memiliki jalan lain yang membuat gairah menulis saya
bertambah. Ketika bulan-bulan akhir ini saya disibukkan oleh kegiatan UKM dan
tugas-tugas kuliah yang semakin meradang buas, saya malah membelokkannya dengan
menulis puisi. Saya pikir puisi-puisi ini hanya akan menjadi puisi kamar yang
tidak akan pernah dibaca banyak orang, tapi Tuhan berkehendak lain. Tuhan
menampar saya melalui karya-karya ini. Tuhan menggugah pikiran bengkok saya
yang hampir melenyapkan puisi begitu saja dari ritual sehari-hari saya. Tuhan
memiliki opini tersendiri ketika saya memilih vakum untuk menulis puisi. Inilah
hasil skenario Tuhan yang sudah dirancang sedemikian hebat. Saya mengagumi
Tuhan, sama seperti DIA mengagumi hasil usaha saya.
Epapernya belum
sempat saya download, karena Indopos jarang menampilkannya di Internet.
Kalaupun ada, proses penayangannya yang cukup lama. Akhirnya saya mendapat
kabar dari seorang penggiat sastra berinisial KS yang barangkali sudah membeli
korannya di Jakarta, bahwa kelima puisi saya inilah yang lolos dalam rubrik
Hari Puisi Indopos.
Selamat
mengapresiasi puisi-puisi ini. Salam!
Patetis (1)
: Wishu Muhamad
setelah berminggu-minggu
ditinggalkan olehmu
ternyata inilah yang sanggup aku
tuliskan :
setumpuk pakaian kotor di bawah
ranjang
sebundel selimut kering di ujung
kaki
dan sisa airmata menempel di
bantal kita.
tak peduli rambut kusut menambah
kisut dadaku
setiap hari aku bercermin
dan menemukan bagian-bagian dari
tubuhku yang asing
kau bilang,
“mencintaimu adalah mencari yang
tak pernah terjawab oleh cermin”
lalu sebagian usiaku kau tulis
dalam puisi.
kini, di hadapan cermin itu
aku hanyalah perempuan
yang selalu memiliki alasan
untuk dicintai atau dilupakan.
2013.
Melukis Senja
: Bara
 –kuas
kepada siapa kularungkan
penantian ini
tiap menit adalah waktu yang
sekarat bagiku
jam terus berdetak
tapi tak jua menggariskan
bayangmu
hanya kental oranye yang melucuti
tubuhku
 –mata
kanvas di ujung kuasmu berkata:
tak ada yang berubah dari
tubuhku,
selalu tentang mentega di langit
biru
dan seseorang asing yang kau
temui di Gilimanuk
seperti orbit yang memutari
pandanganku.
 –kanvas
di Jembrana, kau menyulap kuas
satu warna;
memotret tangkapan mata
kali ini bersama awan cumulonimbus,  sesekali 
menjelma fibratus
cirrus, melumer  di tubuhku
 –senja
wajahku tak ubahnya hadir dalam
potretmu
seperti gravitasi yang melekat
pada kanvas dan kuasmu
tibatiba terpampang dalam Travel
Photographer
dan seseorang asing di Gilimanuk
masih menunggumu; membawaku
padanya.
2013.
Patetis (2)
: Bah
pada dedaun rimbun
kutulis doa untukmu
pemikul rezeki
kelak sepersatu daun itu luruh
menguap bersama angin
melindap dalam pusara,
semoga menjadi pertanda
jiwa bersemuka
kita adalah  tubuh yang
serupa
dalam dua termin masa
ketika sangkakala bergema
segugus petuahmu menjelma ruh
bagi jengkal nafasku yang ripuh
2013.
Cermin
 : Maila
di wajahmu yang bulat
sesudut rona berbinar cemas
mengedipkan sayap sayup mata
bergelung menjelma ombak lanun
yang telah pikun.
langit bertungku bukanlah waktu
yang sakral
sebab tubuhmu tetap melengkung
mengitari bulan yang kaku
memantul lewat celahcelah kaca;
pecah.
pada jejarum jam yang tak
terlihat
telunjukmu menyerupai hulu
larut dalam muara mata
kakimu serupa egrang; menumpu
asa.
tidakkah kau ingat, Maila
cermin yang memotretmu
memahatkan luka dan
kenangan 
yang pernah bersarang
di tubuh kita
jika pantulannya hanya keindahan
semu,
tubuhmu adalah kebohongan
terburuk
bagi seluruh pemilik rusuk.
2013.
Mengemas Waktu
aku hendak berkemas dari tiparmu,
ketika fajar menyarak mimpi
dan embun menganak sungai
di antara cilap mata ini.
pun aku mulai berkemas dari
tiparmu,
ketika surya membidik pupil
dan semesta menjelma perangai
yang labil.
aku akan tetap berkemas dari
tiparmu,
ketika langit tunggang gunung
dan mega memutasikan iga
yang tertimbun di lengan kirimu.
akhirnya aku berkemas dari
tiparmu,
ketika butir bulan menyingsing
malam
dan kunang-kunang menamatkan
segala percakapan.
2011.
Biodata Penulis :
Intan Pertiwi, lahir di Cirebon
12 September 1992.
Bergiat di Arena Studi Apresiasi
Sastra (ASAS) UPI Bandung. 
Saat ini tengah menggarap
skripsinya ihwal pembelajaran menulis di sekolah.