dear Peramu Kata...
Minggu, 27 Januari 2013
22 : 44
Ini adalah kali ke sekian aku
kembali dibingungkan oleh sikap dua orang lelaki yang sama baiknya terhadapku.
Satu orang lelaki yang dari awal sudah kujadikan sebagai abang pertamaku di
kampus, dan seorang lelaki lagi yang baru setahun kemarin resmi menjadi
kekasihku.
“Bingung” sebuah kegalauan yang
mungkin dirasakan oleh Ibu Ainun Habibie ketika Pak Habibie naik sebagai
presiden RI pada masanya. Ya, mungkin saat ini kegalauan itu yang sedang
merunjam sekerlip mataku.
Arnot, adalah lelaki yang
sangat aku cintai. Aku mengerti ambisinya untuk memajukan ekskul agar sesuai
dengan apa yang ia harapkan. Selain itu, Arnot sangat menguasai sastra dan
memiliki intensitas kehadiran yang jauh lebih baik dari pada Maleku. Tapi Arnot
agak kesulitan dalam bidang organisatoris atau mengorganisir secara
terstruktur, karena basic keahliannya
adalah memimpin sebuah komunitas bukan organisasi   Tapi ekskul ini adalah sebuah organisasi
yang kadang juga menjadi komunitas sastra. 
Sedangkan Maleku, dia adalah
sosok abang yang baik menurutku, yang mampu mengayomi sebuah organisasi karena
kemahirannya dalam bidang organisatoris. Ya, mungkin dia lebih unggul dalam hal
kepemimpinan dan retorikanya dibanding kekasihku, Arnot. Aku tahu seluruh
senior lebih memberatkannya menjadi ketua ekskul karena Maleku sempat menjadi
ketua organisasi intern. Tapi menurutku, itu tidak menjadi sebuah acuan yang
melulu diutamakan dalam memilih ketua ekskul. Aku bingung, galau, aku kasihan
pada Arnot yang terlalu berambisi menjadi ketua karena ia ingin mencapai sebuah
perubahan dalam ekskul. Ia ngin agar seluruh anggotanya berkarya dan
berapresiasi, sesuai dengan nama ekskul sastra kami itu. 
Aku hampir saja menitikan air
mata ketika seluruh orang beranggapan bahwa Arnot tidak pandai beretorika dan
kurang memiliki sifat kepemimpinan yang baik. Mengapa demikian? 
- Sedikit lebay mungkin. 
Aku lebih sepakat pada salah
seorang senior kami yang sangat bijak dalam berpendapat. Dia adalah Mas Dian.
Mas Dian lebih bijak, dia mampu menilai dari sisi pengorbanan di ekskul selama
ini. Orang di angkatanku yang paling banyak berkorban dan memiliki rasa kebermilikan
tertinggi terhadap ekskul adalah Arnot, ucapnya. 
Aku tahu, dan aku sangat setuju
itu, makanya aku hampir menangis karena sedih melihat orang lain yang tidak
tahu apa-apa dan kurang intensitas kehadirannya di ekskul langsung men-judge Arnot tidak pandai memimpin karena
kelemahannya di bidang retorika dan organisatoris. Itu membuat aku kecewa pada
semua yang beranggapan seperti itu. 
Memang abangku jauh lebih hebat
dari cara memimpin dan retorikanya yang teratur dan terarah. Tapi dia tidak
lebih pintar dan cerdas perihal sastra, padahal kan jelas-jelas ekskul yang
kami jalani itu adalah sebuah ekskul sastra. Aku tahu kok abangku juga gemar berkarya, tak kalah serius juga seperti
Arnot. Tapi sekali lagi aku ungkapkan pada KALIAN (siapapun yang masih menyimpan
rasa kecewa pada Arnot), dengar, dengarkan aku! yang lebih tahu, peduli, ada
untuk ekskul, berambisi, bercita-cita, memiliki impian untuk ekskul, intensitas
tinggi, merangkul anggota, ya hanya dia! dia, yaa… Arnot bukan Maleku! 
Mengapa tidak memilih yang
ahlinya saja dalam bidang sastra, mengapa harus menilai kemampuan memimpinnya
saja? Mengapa tidak melihat dari praktiknya selama ini di ekskul? Padahal
kemampuan memimpin itu bisa dibangun ketika nanti Arnot sudah ditunjuk menjadi
ketua dan akan terus mengalami sebuah proses, semisal rapat internal, sosialisasi
dengan organisasi lain, dan proses yang sebagainya itu. 
Berangkat dari sanalah aku
yakin proses akan menghadirkan Arnot dengan sosok kepemimpinannya yang mungkin
saat ini belum kalian ketahui.
Arnot, aku takut, ambisinya
akan menghancurkannya dalam keproduktifan menulis. Aku takut sayang! bukannya aku tak mau kau menjadi ketua ekskul,
tapi aku takut kau akan lemah menerima hiruk pikuk dalam berorganisasi, aku
takut kau belum siap dalam hal organisatorisnya, meskipun
aku sangat percaya kau sangat unggul dalam hal mengayomi komunitas sastra.
Aku menyayangimu, seperti
seorang ibu yang selalu menyayangi anaknya meskipun pilihan yang diambil anaknya
itu akan membahayakan keselamatan anak tersebut. 
Aku hanya bisa mendukungmu,
karena aku tahu ambisi dan cita-citamu yang besar untuk ekskul itu. Maka dari
itulah aku tak mau langsung menjatuhkannya dengan tidak mendukungmu.
Di depan - aku mendukung dan membanggakanmu, 
Di belakang - aku menangisi
sambil meyakinkan orang lain akan keahlianmu.
Tapi aku harus tegar, setegar
karang, setegar Ibu Ainun yang menerima kenyataan bahwa suaminya diangkat
menjadi orang terpenting pertama di Negara Indonesia.
Ya, mungkin aku galau, bimbang, takut kau jatuh terlalu dalam, takut
kau keteteran, takut kau kewalahan, takut kolektif kita malah menjauh, takut kau merasa sendirian padahal kami selalu di sampingmu, takut kau berhenti berkarya karena
kesibukanmu menjadi ketua dan mengurusi anggotamu. Aku takut itu,
terlepas dari ketakutanku untuk membagi waktumu padaku dan pada ekskul.
***
Pada akhirnya restu itu kau dapat. Mereka merestuimu dalam banyak
cara. Ada yang bertepuk tangan, ada yang menatapmu lekatlekat, ada yang mangacungkan
jempol, ada yang tersenyum dan tertawa bahagia, dan yang paling aku benci - ada
yang diam atau tersenyum lirih (penuh makna yang disembunyikan) dan aku sangat
takut pada orangorang yang bersikap demikian atas kemenanganmu. Aku takut
mereka masih meragukan dan meremehkan kualitasmu. Aku takut sayang! 
Tapi yang jelas kini kau pun terpilih menjadi ketua
ekskul, dan aku harus bisa menyeimbangkannya dengan mengurangi sifatsifat
burukku, semisal cemburu berlebihan atau posesif, lebih tenang, lebih
pengertian, sabar dan memaklumi, lebih bersikap dewasa dan mandiri. 
Aku harus bisa.. dan pasti
bisa!
Selepas kau dilantik dan
diserah terima sumpahnya menjadi ketua ekskul, kau pun mengirimiku pesan
singkat yang sangat berkesan bagiku dan menambah kecintaanku untuk tetap
mendukung juga membantumu mengayomi dan merangkul ekskul ini semampuku.
Pesan singkatmu :
“Terima kasih atas segalanya. Semua ini gak akan pernah
terjadi kalau gak ada kamu. Semua ini saya persembahkan buat kamu. Atas nama
cinta.”
Seusai dilantik, kau bersama
Bang Maleku membeli makanan untuk mengadakan syukuran. Aku menunggumu di sekre,
dan lagi-lagi kau mengirimiku pesan singkat yang membuatku tambah menyayangimu.
Pesan singkatmu :
“Tunggu ya sayang, tenang. Kita akan tetap mesra kok.”
Aku hanya tersenyum dan menyeka
air mata yang hampir meluap ke pipi. Aku selalu mendukungmu selama itu baik dan
kau mempunyai keinginan yang tinggi untuk menjalaninya. Aku sangat
menyayangimu, karena itu aku siap membagimu dengan ekskul yang akan menjadi
prioritasmu kini dalam memajukan identitas anggota yang lebih gemar berkarya
dan produktif.
“Kau gemar meramu kata, seharusnya tidak
diragukan menjadi ketua,” pikirku.
“Mencintaimu tak pernah surut,” katamu.
“Sejak mencintaimu, aku telah menjadi
laut yang mengharapkan segalanya raib.” – WM
**Cerita
ini hanya bersumber dari kegelisahan saya untuk menulis, tepatnya di suatu
malam seusai melakukan kegiatan di sebuah villa (Dangau Hijau) daerah Bandung. Ya, ini hanya
kegelisahan saya semata. Jika tidak gelisah, tulisan ini tak akan lahir.