Senin, 28 Januari 2013

_ kau dan mereka _

dear Peramu Kata...

Minggu, 27 Januari 2013
22 : 44

Ini adalah kali ke sekian aku kembali dibingungkan oleh sikap dua orang lelaki yang sama baiknya terhadapku. Satu orang lelaki yang dari awal sudah kujadikan sebagai abang pertamaku di kampus, dan seorang lelaki lagi yang baru setahun kemarin resmi menjadi kekasihku.

“Bingung” sebuah kegalauan yang mungkin dirasakan oleh Ibu Ainun Habibie ketika Pak Habibie naik sebagai presiden RI pada masanya. Ya, mungkin saat ini kegalauan itu yang sedang merunjam sekerlip mataku.

Arnot, adalah lelaki yang sangat aku cintai. Aku mengerti ambisinya untuk memajukan ekskul agar sesuai dengan apa yang ia harapkan. Selain itu, Arnot sangat menguasai sastra dan memiliki intensitas kehadiran yang jauh lebih baik dari pada Maleku. Tapi Arnot agak kesulitan dalam bidang organisatoris atau mengorganisir secara terstruktur, karena basic keahliannya adalah memimpin sebuah komunitas bukan organisasi   Tapi ekskul ini adalah sebuah organisasi yang kadang juga menjadi komunitas sastra.

Sedangkan Maleku, dia adalah sosok abang yang baik menurutku, yang mampu mengayomi sebuah organisasi karena kemahirannya dalam bidang organisatoris. Ya, mungkin dia lebih unggul dalam hal kepemimpinan dan retorikanya dibanding kekasihku, Arnot. Aku tahu seluruh senior lebih memberatkannya menjadi ketua ekskul karena Maleku sempat menjadi ketua organisasi intern. Tapi menurutku, itu tidak menjadi sebuah acuan yang melulu diutamakan dalam memilih ketua ekskul. Aku bingung, galau, aku kasihan pada Arnot yang terlalu berambisi menjadi ketua karena ia ingin mencapai sebuah perubahan dalam ekskul. Ia ngin agar seluruh anggotanya berkarya dan berapresiasi, sesuai dengan nama ekskul sastra kami itu.

Aku hampir saja menitikan air mata ketika seluruh orang beranggapan bahwa Arnot tidak pandai beretorika dan kurang memiliki sifat kepemimpinan yang baik. Mengapa demikian?
- Sedikit lebay mungkin.

Aku lebih sepakat pada salah seorang senior kami yang sangat bijak dalam berpendapat. Dia adalah Mas Dian. Mas Dian lebih bijak, dia mampu menilai dari sisi pengorbanan di ekskul selama ini. Orang di angkatanku yang paling banyak berkorban dan memiliki rasa kebermilikan tertinggi terhadap ekskul adalah Arnot, ucapnya.

Aku tahu, dan aku sangat setuju itu, makanya aku hampir menangis karena sedih melihat orang lain yang tidak tahu apa-apa dan kurang intensitas kehadirannya di ekskul langsung men-judge Arnot tidak pandai memimpin karena kelemahannya di bidang retorika dan organisatoris. Itu membuat aku kecewa pada semua yang beranggapan seperti itu.

Memang abangku jauh lebih hebat dari cara memimpin dan retorikanya yang teratur dan terarah. Tapi dia tidak lebih pintar dan cerdas perihal sastra, padahal kan jelas-jelas ekskul yang kami jalani itu adalah sebuah ekskul sastra. Aku tahu kok abangku juga gemar berkarya, tak kalah serius juga seperti Arnot. Tapi sekali lagi aku ungkapkan pada KALIAN (siapapun yang masih menyimpan rasa kecewa pada Arnot), dengar, dengarkan aku! yang lebih tahu, peduli, ada untuk ekskul, berambisi, bercita-cita, memiliki impian untuk ekskul, intensitas tinggi, merangkul anggota, ya hanya dia! dia, yaa… Arnot bukan Maleku!

Mengapa tidak memilih yang ahlinya saja dalam bidang sastra, mengapa harus menilai kemampuan memimpinnya saja? Mengapa tidak melihat dari praktiknya selama ini di ekskul? Padahal kemampuan memimpin itu bisa dibangun ketika nanti Arnot sudah ditunjuk menjadi ketua dan akan terus mengalami sebuah proses, semisal rapat internal, sosialisasi dengan organisasi lain, dan proses yang sebagainya itu.

Berangkat dari sanalah aku yakin proses akan menghadirkan Arnot dengan sosok kepemimpinannya yang mungkin saat ini belum kalian ketahui.

Arnot, aku takut, ambisinya akan menghancurkannya dalam keproduktifan menulis. Aku takut sayang! bukannya aku tak mau kau menjadi ketua ekskul, tapi aku takut kau akan lemah menerima hiruk pikuk dalam berorganisasi, aku takut kau belum siap dalam hal organisatorisnya, meskipun aku sangat percaya kau sangat unggul dalam hal mengayomi komunitas sastra.

Aku menyayangimu, seperti seorang ibu yang selalu menyayangi anaknya meskipun pilihan yang diambil anaknya itu akan membahayakan keselamatan anak tersebut.

Aku hanya bisa mendukungmu, karena aku tahu ambisi dan cita-citamu yang besar untuk ekskul itu. Maka dari itulah aku tak mau langsung menjatuhkannya dengan tidak mendukungmu.

Di depan - aku mendukung dan membanggakanmu,
Di belakang - aku menangisi sambil meyakinkan orang lain akan keahlianmu.

Tapi aku harus tegar, setegar karang, setegar Ibu Ainun yang menerima kenyataan bahwa suaminya diangkat menjadi orang terpenting pertama di Negara Indonesia.

Ya, mungkin aku galau, bimbang, takut kau jatuh terlalu dalam, takut kau keteteran, takut kau kewalahan, takut kolektif kita malah menjauh, takut kau merasa sendirian padahal kami selalu di sampingmu, takut kau berhenti berkarya karena kesibukanmu menjadi ketua dan mengurusi anggotamu. Aku takut itu, terlepas dari ketakutanku untuk membagi waktumu padaku dan pada ekskul.

***

Pada akhirnya restu itu kau dapat. Mereka merestuimu dalam banyak cara. Ada yang bertepuk tangan, ada yang menatapmu lekatlekat, ada yang mangacungkan jempol, ada yang tersenyum dan tertawa bahagia, dan yang paling aku benci - ada yang diam atau tersenyum lirih (penuh makna yang disembunyikan) dan aku sangat takut pada orangorang yang bersikap demikian atas kemenanganmu. Aku takut mereka masih meragukan dan meremehkan kualitasmu. Aku takut sayang!

Tapi yang jelas kini kau pun terpilih menjadi ketua ekskul, dan aku harus bisa menyeimbangkannya dengan mengurangi sifatsifat burukku, semisal cemburu berlebihan atau posesif, lebih tenang, lebih pengertian, sabar dan memaklumi, lebih bersikap dewasa dan mandiri.
Aku harus bisa.. dan pasti bisa!

Selepas kau dilantik dan diserah terima sumpahnya menjadi ketua ekskul, kau pun mengirimiku pesan singkat yang sangat berkesan bagiku dan menambah kecintaanku untuk tetap mendukung juga membantumu mengayomi dan merangkul ekskul ini semampuku.

Pesan singkatmu :
“Terima kasih atas segalanya. Semua ini gak akan pernah terjadi kalau gak ada kamu. Semua ini saya persembahkan buat kamu. Atas nama cinta.”

Seusai dilantik, kau bersama Bang Maleku membeli makanan untuk mengadakan syukuran. Aku menunggumu di sekre, dan lagi-lagi kau mengirimiku pesan singkat yang membuatku tambah menyayangimu.

Pesan singkatmu :
“Tunggu ya sayang, tenang. Kita akan tetap mesra kok.”

Aku hanya tersenyum dan menyeka air mata yang hampir meluap ke pipi. Aku selalu mendukungmu selama itu baik dan kau mempunyai keinginan yang tinggi untuk menjalaninya. Aku sangat menyayangimu, karena itu aku siap membagimu dengan ekskul yang akan menjadi prioritasmu kini dalam memajukan identitas anggota yang lebih gemar berkarya dan produktif.

Kau gemar meramu kata, seharusnya tidak diragukan menjadi ketua,” pikirku.

“Mencintaimu tak pernah surut, katamu.
“Sejak mencintaimu, aku telah menjadi laut yang mengharapkan segalanya raib.” – WM



**Cerita ini hanya bersumber dari kegelisahan saya untuk menulis, tepatnya di suatu malam seusai melakukan kegiatan di sebuah villa (Dangau Hijau) daerah Bandung. Ya, ini hanya kegelisahan saya semata. Jika tidak gelisah, tulisan ini tak akan lahir

Selasa, 22 Januari 2013

_ Enam Langkah Jitu Agar Tulisan Anda Makin Hidup dan Enak Dibaca _


yaitu :

1. Bahasa Error dan Bahasa Bello
2. Bacalah keseluruhan, lalu lihat relasi kalimatnya
3. Memelototi ejaan, kata klise, dan kontaminasi
4. Merangsang pembaca dengan tekstur dan konteks
5. Mengedit alinea dan menjaga penalarannya
6. Menghindari pelecehan dengan pemahaman

Mengutip Nama Narasumber
Perhatikan baik-baik nama si narasumber, jangan sampai tertukar atau salah eja. Soalan ejaan nama memang soalan serius, sebagai contoh, presiden RI pertama tentulah Soekarno bukan Sukarno. Periksalah baik- baik ejaan namanya.

Mengutip pendapat
Menurut sejumlah pakar tulis-menulis, kutipan dilakukan paling tidak untuk dibahas, dianalisis, dikritik, dipertentangkan, dijadikan landasan teori atau untuk dijadikan penopang sebuah uraian. (bandingkan : Gorys, 1971 ; Sabarti, 1988 ; Andi, 2001)
Dalam tautan hal di atas, terdapat sejumlah prinsip dalam mengutip, baik untuk :
a.       Jenis kutipan langsung
b.      Kutipan tak langsung (biasanya bersumber dari tulisan), maupun untuk
c.       Jenis kutipan lisan (bersumber dari sumber lisan)

Catatan Kaki dan Catatan Akhir
Menurut etika penulisan, catatan kaki merupakan cerminan rasa terima kasih si penulis kepada seseorang yang telah “dipinjam” buah pikirannya.  Gorys Keraf, sebagai contoh, yang buku legendarisnya, Komposisi (cetakan pertama, 1971), menjadi sumber rujukan banyak penulis kebahasaan, menegaskan, catatan kaki berfungsi sebagai sarana ekspresi penghargaan si penulis terhadap karya orang lain. Sedangkan isinya berupa informasi tambahan (dan berharga) mengenai penulis tertentu yang pendapatnya sedang kita pinjam.
Ambil contoh lainnya, Sabarti (1988) dan Andi (2001), menurut mereka isi catatan kaki adalah gabungan antara aspek referensial (petunjuk mengenai nama pengarang, judul buku, penerbit, tahun terbit, dan halaman yang dikutip) dan aspek informasi tambahan (keterangan lain di luar kutipan). 

Sumber :
Wibowo,Wahyu. 2002. Enam Langkah Jitu Agar Tulisan Anda Makin Hidup dan Enak Dibaca. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Kamis, 17 Januari 2013

Budaya Berkebaya




Menurut hasil wawancara saya kepada beberapa orang penggiat maupun penikmat seni budaya Indonesia, mereka mengatakan bahwa saat ini budaya berkebaya telah menjadi hal yang formal dan sakral. Di mana hanya pada acara ataupun upacara tertentu saja kebaya baru dikenakan oleh masyarakat kita. Padahal dulu sebelum kebaya menjadi pakaian adat bangsa kita, kebaya adalah pakaian sehari-hari wanita Indonesia. Buktinya saja, banyak sejarah yang mencerminkan wanita-wanita Indonesia dengan busana kebayanya. Kebaya di zamannya dulu memiliki arti tersendiri yaitu pakaian sehari-hari wanita Indonesia yang sudah lumrah digunakan dalam kondisi apapun, baik itu saat masih ada penjajahan maupun tidak. Karena pada kenyataannya, baju atau atasan bercorak dan berbahan transparan dengan kain samping sebagai roknya adalah pakaian yang disebut-sebut sebagai kebaya. 
Kini kebaya menjadi lebih modern baik dari segi bentuk, corak, maupun penggunaannya. Keseharian masyarakat Indonesia, khususnya para wanita saat ini sudah terkontaminasi budaya Barat. Sehingga menjadikan kebaya hanya sebagai pakaian untuk kegiatan formal dan sakral, sementara sehari-harinya masyarakat kita tidak menggunakan kebaya seperti masyarakat zaman dulu. Seiring dengan globalisasi di dunia, maka harga kebayapun semakin meningkat. Karena itulah tidak banyak warga Indonesianya itu sendiri yang memiliki pakaian adat (kebaya) ini.

Rabu, 16 Januari 2013

Kangen Menulis


02:36 (dini hari)
saya benar-benar menghabiskan waktu seharian kemarin di dalam kosan. kenapa gak keluar? 
jawabannya cuma satu,
karena pacar saya lagi ke jakarta, praktikum kelas sastra. 

so, saya beres-beres kosan aja seharian penuh, nih baru kelar lipat-lipat pakaian dan langsung menyerbu laptop beserta modemnya, hehe (^_^)



oh iya, kelas sastra ya? mereka lagi berkunjung ke tempat HB.Jassin di TIM (taman ismail marzuki) dan Bengkel  Teater Rendra (sekaligus berziarah ke makam WS. Rendra) - sesuai info yang pacar saya sampaikan - begitulah katanya.


sebenarnya ada yang pengen saya ceritain dalam tulisan ini dan tidak ada kaitannya dengan intermezo di atas (hoho), mungkin apa yang akan saya ungkapkan bisa menjawab rasa penasaran kawankawan atas kevakuman saya di teater lakon untuk sementara waktu. pppfffttt...hufet"



kawankawan teater lakon yang saya cintai dan sayangi..
maaf sudah mengecewakan kalian terutama teteh sutradara yang tidak mungkin saya sebutkan namanya di sini. awalnya saya sangat menggebu-gebu untuk ikut bersama kalian dalam festamasio (Festival Teater Mahasiswa Nasional) di Surabaya. seperti yang kalian tahu, apresiasi saya pun berlanjut hingga sebulan penuh saya bersungguh-sungguh turut terlibat dalam latihan serta ikut menampilkan naskah tersebut pada saat FTI (Federasi Teater Indonesia) di Gedung Rumentang Siang tahun lalu. kenapa sekarang malah mengundurkan diri? padahalkan tujuan saya itu ikut festamasio bukan lomba yang diadakan FTI?

jawabannya cuma satu kawan,

saya kangen menulis.

bukan berarti saya menganggap teater itu mengganggu aktivitas menulis saya, tapi setelah saya pikir-pikir, februari nanti memang saya sedang banyak agenda dan deadline. pertama, saya harus tampil musikalisasi puisi di rumah dosen selama kurang lebih 3hari menginap di sana bersama rekan-rekan satu tim musikalisasi puisi. kedua, tepat tanggal 14 februari saya harus pulang ke rumah karena ada acara peringatan satu tahun wafatnya ayah saya.. selain itu, saya mendapat kabar dari senior bahwa saya akan diikutsertakan ke Malaysia untuk menyanyikan beberapa musikalisasi puisi karya Penyair Indonesia (meskipun belum pasti waktunya) tapi saya rasa semua itu akan mengganggu kekonsentrasian saya dalam berlatih teater.
saya sangat ingin ikut bersama kalian ke surabaya, apalagi ini adalah festival yang adanya hanya 2 sampai 4 tahun sekali. hmm, benar-benar membingungkan.
tapi jujur, ketiga alasan di atas bukan penyebab utama saya mundur dari festamasio, saya sangat mendambakan hari itu, hari di mana saya akan ikut dalam pertunjukan besar se-indonesia. tapi maaf, tiba-tiba saya mengundurkan diri,

saya kangen menulis. 

saya kangen kefokusan saya dalam menulis sesuatu. bisa saja saya menulis selepas latihan teater atau sebelumnya, tapi sulit membuka imajinasi saya dengan stamina yang terbagi-bagi seperti itu.
kalian tau kan kawan, saya adalah tipe orang yang hanya bisa memfokuskan diri pada satu bentuk kegiatan/aktivitas yang sangat saya senangi, sehingga aktivitas lain mau tak mau harus berani saya lepas, agar hasilnya maksimal.
bukan saya tak senang teater, untuk kali ini saja ya kawan. saya sangat senang kok berperan dalam naskah tersebut, apalagi sebagai anak 1 sekaligus manekin-manekin dengan kostum unik dari koran-koran bekas. tapi saya tidak bisa membagi ruang gerak saya jika harus melakukan semua kegiatan itu dalam satu waktu.
entahlah, padahal tulisan saya pun belum pernah dimuat di media cetak, paling-paling beberapa puisi saya hanya lolos dan masuk dalam antologi-antologi saja, tapi belum pernah memenanginya. yaaa tak apa, proses! karena itulah, saya berniat untuk menggali kembali kemampuan saya di bidang kepenulisan. setelah seminggu yang lalu saya telah berhasil mengirimkan beberapa cerpen anak ke majalah bobo, saya jadi semakin ingin menulis. terutama puisi, karena lebih irit namun padat. sementara cerpen, saya hanya baru mengikutsertakannya dalam majalah anak-anak. ya berarti cerpen yang sudah berani saya publish pun adalah karya sastra anak, bukan cerpen populer atau semacamnya.. cerpen dengan tokoh yang lebih dewasa masih saya simpan dan kunci rapat-rapat dalam arsip laptop saya. betapa tidak, saya belum berani mengikutsertakannya dalam ajang apapun, karena menurut saya masih banyak kekurangan, dan saya pun harus lebih giat lagi membaca cerpen dari cerpenis-cerpenis ternama.
haaaah, cerpen saja masih saya kunci, apalagi novel?

hmm, padahal sangat bermimpi dan berharap kelak ketika saya lulus kuliah, saya mengadakan launching novel perdana saya. huhuhu. aamiin (^_^)



wow, sudah melebar obrolannya.
yaa jadi intinya seperti itu kawan, saya sangat kangeeeeeen pada menulis.
(si menulis ini ngangenin banget...lah pokoknya..)
apalagi saya telah resmi diterima menjadi anggota KPPI (Komunitas Penulis Perempuan Indonesia) dan kembali yang saya lampirkan sebagai syaratnya adalah puisi, bukan prosa. hahaha.
alhamdulillah yah, puisi-puisi saya selalu memberikan kebaikan sejauh ini. siapa dulu editornya??? 


_pacar tersayang_ hehe (*_*)



Udah dulu deh, nanti saya lanjut kalau kuota modem saya masih bersahabat, OK !



arloji menunjukan pukul 03:00

time to rest...

oh iya, hari ini pacar saya pulang dari jakarta, sekarang mungkin masih on the way.

just wanna say : "hatihati di jalan sayangku" :-*

selamat beristirahat kawan, sleep tight! :)

something else




*Minggu, 13 Januari 2013*

Hari ini aku memutuskan untuk mengurung diri di dalam kosan. Selain karena harus mempelajari lagi materi untuk UAS besok, aku pun enggan keluar. Lantaran sebuah noda berwarna coklat kehitaman menempel di pipi kiriku. Hmm, padahal cuma satu noda, tp serasa enggan untuk berpapasan dengan orang lain. Mungkin karena kurang percaya diri dan aku tak biasa ternodai seperti ini *eh. Hah. Entahlah. Serba malu. Padahal biasa saja ya harusnya, toh orang pun biasa saja dan tak peduli apakah aku terlihat cantik ataupun tidak. Hahaha. (-,-)
Kembali ke noda di pipiku ini, aku mendapatinya tengah bertengger di ujung pipi kiriku ketika aku.... *sensor*
Hmm... sudahlah biarkan waktu yang akan mengikis dan menghapuskan warna noda ini agar kembali ke warna semula pipiku. Apalagi besok UAS, huhu. Aku harus menyiapkan mental, kalau ada yang tibatiba mengejekku dengan sindiran halus. Huhu. Sabar!
Ya, besok itu UAS matakuliah yang cukup rumit menurutku. Pertama Evaluasi Pembelajaran. Aku akan dihadapkan kembali pada perhitungan-perhitungan matematik untuk mendapatkan hasil yang diminta. Yaaa, semacam belajar matematika lagi. Tapi kali ini aku harus menghitung nilai dan bobot tiap soal bahasa Indonesia yang ada di sekolah-sekolah. Huhu.
Dan sekarang ada lagi yang menjadi masalah, yaa matakuliah Problematik. Sesuai namanya, matakuliah ini cukup menguras logika dan keterampilan berbahasa maupun menulis. Huhuhu. Aku akan dihadapkan pada sebuah kasus dalam bahasa Indonesia. Tepatnya pada tataran penulisan maupun gaya bahasanya. Karena problematik membahas kasus-kasus dalam penggunaan bahasa.
Aku masih cukup beruntung karena matakuliah Evaluasi Pembelajaran memperbolehkan kami untuk membuka buku dalam pengerjaan soalnya (open book). Mungkin karena terlalu banyak rumus untuk menghitung nilai soal. Tapi yang tidak beruntung adalah, matakuliah problematik. Selain materiya seabrek, kami pun tidak diizinkan membuka buku. “Iyalah lagi UAS masa buka buku.” Oke, alasan tepat dan masuk akal. No problemooo but problematiiik
Tapi...
Dosennya killer. Meskipun aku sudah kenal dan cukup dekat dengannya. Ya tetap saja, tidak pandang bulu. Dosennya objektif. Baguslah. Berarti aku pun harus menyiapkan otakku untuk mempelajari materi problematik agar hasilnya memuaskan dan maksimal. Aamiin (^_^)
Cukup, just it.
Oh iya!
Untunglah aku bukan anak BIPA, aku anak Jurnalistik, sehingga tidak ada tugas yang memberatkanku seperti yang sedang teman-teman kelasku hadapi, yaa mereka yang mengambil konsentrasi pada BIPA saja sih, kalau aku dan beberapa teman yang mengambil konsentrasi di Jurnalistik sih cukup nyantai, hahaha.

Bye --- sampai jumpa di senin yang padat. Bukan karena waktunya yang padat untuk mengerjakan UAS melainkan karena otakku akan padat karena besok membutuhkan stamina dan kemampuan yang lebih untuk mengerjakan UAS dua matakuliah yang sangat berpengaruh pada nilai semester 5 ini.
Semangat !!! I can do it. Yeah – d^_^b