Kamis, 27 Desember 2012

Polusi Suara Saya di Youtube

Ini kali ke sekian saya membuka aplikasi Youtube lagi, setelah beberapa pekan belakangan jarang dibuka karena harus mengadili tugastugas lainnya dan mengisi beberapa acara. huhuhu *sobusy*

entah ada angin apa, rasanya rindu melihat tayangantayangan di youtube tentang sepenggal perjalanan menjadi singer amatiran (Hahaha)


sampaisampai...
jari saya tidak sengaja mengetik sebuah nama yang sudah tak asing lagi dalam dunia per-musikalisasi puisi-an di UPI Bandung. Yaaa.. Bang Umen alias Usman Nurdiansyah yang seabrek performance- nya tayang di youtube.

tanpa sengaja pula saya iseng melihat-lihat videovideo di youtube - nya yang ternyata terdapat sosok si saya di dalamnya (oalaah.. bahasanya kurang sreg ya.. hmm, tak apalah)

jadi intinya..
saya takjub, kaget, ternganga, tercengang, hmm.. apalagi ya diksinya.. hehe
yaa jadi begitulah, saya mendadak sport jantung melihat video berikut karena muncul wajah dan suara saya di sana.. (O_O)  ::

Intan's Performance @ Musikalisasi Puisi Di Sebuah Senja :)

dan

Duet Intan & Rhysal Samba @ Asas Zenith


kalau bahasa tementemen saya di Teater Lakon sih "ppfffftttt bangeeeet!" hihi
semoga video ini bukan video amatir yang mengguncangkan dunia perpuisian Indonesia. *lebay


tapi saya sangat berterima kasih kepada ASAS, Hima Satrasia, Bahtera Gaib, dan Teater Lakon yang turut membantu perkembangan saya dalam dunia kesenian dan kesastraan, terutama dalam hal "perform".. hohoho.

Love You All :-*
(terutama kepada Wishu Muhamad yang mendadak memberi saya nama baru "Tanza Azalea".. Thanks so much Darl..)

:D :D :D :D


Jakob Sumarddjo dan Permainan Tradisional




Nama Lengkap : Jakob Sumardjo
Kategori : HUMANIORA
Agama : Katolik
Tempat Lahir : Klaten, Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Selasa, 26 September 1939
Warga Negara : Indonesia
Ayah : P. Djojoprajitno
Istri : Jovita Siti Rochma



Pasirlayung, Rabu, 14 November 2012. Hujan masih setia mengguyur daerah Pasirlayung, sementara aku mulai memarkirkan bebek yang kutunggangi tepat di depan pagar rumah bernomor X1. Bukan rumah tersebut yang kutuju, melainkan sebuah rumah sederhana yang terletak tepat di sampingnya. Aku melepaskan jas hujan yang mulai betah bermukim di tubuhku, lalu aku berjalan menuju sebuah pintu dan mulai mengetuknya. Sebentar saja seseorang membukakan pintu. Keluarlah seorang wanita tua namun tampak masih kuat menawarkan senyum ramah. Beliau hendak bertanya tetapi langsung aku potong dengan pertanyaanku.
“Bapaknya ada, bu?”
“Ada, sebentar, tadi bapak ada di Jeihan. Nanti ibu telepon dulu. Silakan masuk!” ujarnya.
Aku pun masuk dan menunggu di ruang tamu yang dindingnya ramai lukisan. Sepuluh menit berlalu. Sambil menunggu, aku melepas jaket dan mempersiapkan peralatan untuk mendokumentasikan proses wawancaraku siang itu.
16.20 wib - Seseorang dengan jalan agak ringkih tampak menggeser pintu pagar rumah, lalu berjalan perlahan dengan payung ditangannya. Dialah Jakob Sumardjo. Seorang kakek yang sudah berusia 73 tahun namun tampak masih sehat - menurutku. Jakob Sumardjo merupakan seorang budayawan nasional sekaligus esais yang karya-karyanya sudah malang melitang di jagat kesusasteraan Indonesia.
Di rumah sederhana ini Jakob Sumardjo tinggal bersama isterinya kurang lebih 20 tahun. Suara bising motor yang melintas tepat di depan  rumah, menjadi irama pengawal percakapan yang akan segera kami sulut. Jakob duduk di sofa, pun denganku. Beratapkan remang lampu di ruangan itu, aku pun mulai menyuguhkan pertanyaan ringan sebagai pengawal percakapan dan dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan yang telah kusiapkan sebelumnya.

Masa Kecil dan Permainan Tradisional
Jakob Sumardjo adalah orang yang suka pada permainan tradisional. Dulu ketika angka mulai mengecup usia kanak-kanaknya, beliau gemar bermain ular-ularan, atau saat ini biasa disebut oray-orayan (dalam bahasa sunda). Sselain itu, ia juga bermain gobak sodor, gatrik dan kartu wayang.
Klaten yang menjadi kampung halaman beliau adalah daerah yang memiliki banyak kenangan perihal masa-masa bermainnya. Betapa tidak, acapkali matahari mulai bertengger seperti bohlam perpustakaan, beliau dan teman-teman sebayanya memutuskan untuk memulai permainan. Tidak hanya itu, ketika bulan mulai menguning di aspal, mereka pun melanjutkan permainan tersebut. Setiap hari mereka bermain bersama. Jumlahnya kurang lebih ada sepuluh orang. Tapi tak tentu, karena jika hari itu tema permainan adalah sepak bola, maka yang bermain hanya anak laki-laki saja.
Di usia kanak-kanaknya, permainan tradisional menjadi penghibur tersendiri baginya dan juga teman-teman sebayanya, karena di zaman itulah bangsa Indonesia sedang mengalami ketegangan hebat. Negara Indonesia sedang menjadi ajang penjajahan, sehingga perang pun masih berkeliaran di mana-mana. Saat itu Klaten merupakan daerah yang jaraknya lumayan dekat dengan tempat mortir-mortir berhamburan.
Jakob bercerita bahwa dulu tak jarang ia dapati mortir yang menyasar ke tempat mereka bermain, sehingga mereka pun berlarian bersama untuk menghindari mortir tersebut. Kadang mereka pun bersembunyi di balik pagar sambil melihat mortir-mortir yang meledak hebat. Pemandangan tersebut sudah tak asing di memoar anak-anak sebayanya ketika itu. “Menyeramkan” – kata itulah yang masih terekam di benaknya.
Jakob menyebutkan beberapa nama teman sebayanya yang juga memainkan permainan tradisional bersamanya. Ada yang bernama Toha, dia adalah anak santri. Lalu Karno, dia itu selanjutnya menjadi anggota PKI. Ada juga Midat, dan ada satu teman perempuan yang ia lupa namanya. Tetapi jika teman perempuannya itu sedang membawa kerbau untuk dimandikan, Jakob selalu ikut menaiki kerbaunya dan ikut memandikan kerbau  tersebut di sungai.
Masa kanak-kanak adalah masa penuh permainan. Peristiwa-peristiwa tak terduga yang sering ia alami bersama teman-temannya ketika bermain, menjadi hal yang sangat ia rindukan saat ini. Persahabatan erat yang terjalin karena kebersamaan mereka dalam memainkan permainan tradisional itu hanya berlangsung kurang lebih sampai kelas empat SD, karena sekitar tahun 1944 -1949 saat duduk di kelas lima sampai enam SD,  Jakob pindah ke Yogyakarta.
Ada satu pengalaman lucu menurutnya. Ia menceritakan bahwa dulu dirinya pernah terjatuh saat Jepang akan menyerbu sekitar pedesaan, kurang lebih masih berusia 5 tahun. Ketika keluarganya di dalam rumah mengemas barang-barang, tak sengaja ia berjalan mundur dan yang terjadi malah jatuh terperosok ke sungai. Orangtuanya mengira Jakob patah tulang atau sebagainya, tapi ternyata ia tidak apa-apa.
Dari banyak hal yang diceritakan Jakob, tampaklah bahwa banyak pengalaman-pengalaman menarik yang ia alami ketika bermain. Jakob mengaku bahwa dirinya selalu bergembira ketika bermain. Semua permainan dan perilaku menarik sewaktu kecil selalu ia nikmati. Sampai-sampai perihal menangkap belut, lele, dan mandi di sungai, pernah ia rasakan.

Tertarik pada Kebudayaan Sunda di Usia Dewasa
Beranjak ke masa-masa sekolah. Jakob bercerita bahwa dulu, untuk sampai di sekolah ia harus berjalan kaki menempuh sekitar 8 kilometer dan hanya dibekali uang setengah sen oleh ibunya. Uang itu sebenarnya untuk bekal sekolah, namun tak jarang dalam perjalanan menuju sekolahnya, Jakob selalu mampir ke pasar terlebih dahulu. Disana ada banyak buku-buku yang dijual. Uang jajannya itu ia kumpulkan untuk membeli buku. Ia sangat tertarik pada buku cerita bergambar. Dalam buku tersebut terdapat cerita tentang si Pait Lidah, Bawang Merah Bawang Putih, dan banyak lagi cerita menarik lainnya. Waktu itu Jakob tergila-gila sekali dengan buku. Tapi jika ibunya tahu bahwa uang jajannya itu sering digunakan untuk membeli buku, maka ia akan kena marah. Bukan karena tidak boleh membeli buku, melainkan karena uang tersebut sengaja ibunya berikan untuk Jakob membeli makan di jam istirahat sekolah.
Menuju masa-masa dewasanya, Jakob Sumardjo menjadi seorang budayawan asal Jawa, namun ia begitu tertarik dengan kebudayaan sunda. Akhirnya Ia mulai menggeluti kebudayaan sunda sejak dirinya memutuskan pindah dari Yogyakarta menuju Bandung, kurang lebih tahun 1962. Jakob menamatkan studi di IKIP Bandung pada jurusan Sejarah (saat ini UPI). Setelah itu ia mengajar di SMA St. Angela sampai tahun 1980. Kebetulan di sana ia mengajar sejarah dan seni menggambar. Jakob mulai mendalami kebudayaan Sunda dan merasa sangat tertarik sejak dirinya resmi pindah ke ASTI (sekarang STSI). Faktor lingkungan merupakan pengaruh utama dalam mengenal kebudayaan Sunda. Di kampus yang ber-basic seni tersebut, ia sering mendengar karawitan berkumandang setiap hari, sehingga bertambahlah rasa gelisahnya untuk memahami kebudayaan sunda.
Tidak sampai di sana. Suatu ketika ia pernah mendapat tugas untuk mengkaji cerita Sunda yang berjudul Mundinglaya Dikusumah. Ia segera mencari tahu apa itu Mundinglaya Dikusumah. Setelah mendapat informasi tentang cerita tersebut, muncul seberkas kekaguman akan sosok mistik dalam cerita itu, karena menurutnya tokoh Mundinglaya mirip dengan Dewaruci di Jawa. Setelah itu ia mulai mengkaji naskahnya dan muncullah kembali hasrat keingintahuan tentang cerita sunda lainnya. Ia pun memulainya dengan mencari tahu cerita-cerita pantun Sunda semisal Mandala dalam Wadon.

Mendalami Filosofi Permainan Tradisional Bersama Muridnya
Perihal permainan tradisional, ia mulai paham sejak salah seorang muridnya di jurusan Seni Rupa ITB, Zaini Alif, sering berdiskusi dan bertanya kepadanya mengenai filsafat dari permainan tradisional. Kebetulan ketika itu Jakob mengajar filsafat seni di ITB. Zaini, muridnya, sangat tertarik dan ingin mengembangkan permainan tradisional Sunda yang ternyata bernilai filosofi tinggi. Sebenarnya Zaini telah menyelesaikan tesisnya, tetapi dia menangguhkannya dalam beberapa waktu agar tesis tersebut bisa lebih kompleks.
Dari diskusinya bersama Zaini, Jakob akhirnya tahu bahwa permainan tradisional memiliki dua sifat. Pertama, bersifat play. Permainan tradisional yang bersifat play, yakni permainan yang menuntut pemain untuk mengukur kemampuan diri. Misalnya oray-orayan. Permainan tersebut menanamkan kepercayaan diri pada anak-anak. Pada permainan play itu tidak ada istilah kalah dan menang. Semisal membuat kolecer, anak-anak membuat kolecer. Siapa yang bisa berputar dan berbunyi berarti dia telah mampu dan berhasil membuatnya. Pada akhirnya di masa depan kolecer tersebut akan digunakan. Dari situ terlihat bahwa permainan bersifat play ini lebih berujung pada pengukuran kemampuan diri dan sebagai pembelajaran tak langsung untuk masa depan. Permainan play lebih membentuk karakter untuk berkembang, yaitu menantang kemampuan diri untuk bisa maju.
Kedua, permainan tradisional yang bersifat game. Permainan yang bersifat game biasanya lebih mengarah pada kalah dan menang yang berujung pada rasa sakit hati. Permainan ini menuntut pemain untuk melakukan sesuatu agar menang.
Jika disandingkan dalam permainan tradisional sunda, umumnya lebih bersifat play, sehingga hampir semua permainan sunda dimainkan untuk mengukur kemampuan diri. Semisal permainan oray-orayan, menangkap ikan, membuat kolecer dan lainnya.
Sebaliknya, jika dihadapkan dengan permainan tradisional Jawa, umumnya lebih bersifat game, sehingga pada akhirnya harus ada yang kalah dan menang. Salah satunya adalah permainan gambar wayang.
Jakob Sumardjo lebih tertarik mendalami sisi kebudayaan dari permainan tradisional tersebut. Ia tidak memiliki sumbangsih mengenai permainannya, ia justru membantu dari segi filsafat kebudayaannya. Ragam permainan tradisional bisa dilihat dari letak geografis masyarakatnya. Orang-orang Sunda yang hidup di daerah ladang, pasti memiliki permainan yang berbeda dengan orang-orang Jawa yang hidup di daerah pesawahan.

Permainan Modern Mengikis Permainan Tradisional
Lelaki yang kini memiliki tiga orang anak tersebut mengaku bahwa anak-anaknya saat ini tidak bermain permainan tradisional sepertinya. Mereka justru bermain dengan mainan-mainan modern. Semisal robot. Tapi kadang mereka juga bermain layang-layang di luar rumah bersama anak kampong.
Jakob memandang bahwa permainan tradisional saat ini mulai terkikis dengan hadirnya mainan-mainan modern  yang lebih canggih dan instan. Maka dari itu, sebaiknya permainan tradisional harus dikenalkan kembali pada anak-anak, karena dalam mengajarkan pendidikan saat ini dibutuhkan pengajaran yang dikemas dalam bentuk play. Permainan modern lebih mengarah pada individu saja, sehingga jika diterapkan dalam mengajarkan pendidikan sangat tidak cocok. Permainan kita ini harus permainan sosial. Jika menyendiri tidak ada manfaatnya terhadap masyarakat. Setidaknya permainan tradisional anak-anak yang bersifat sosial dalam dunia pendidikan itu dimulai sejak kelas 1 sampai kelas 6 SD. Maka sejak dini, kita harus mengumpulkan permainan yang bersifat play dan menerapkannya di sekolah-sekolah. Terlepas dari kegiatan pramuka, permainan tradisional harus tetap disisipkan di dalamnya. Kita bisa memulainya di daerah kita sendiri yang berlatar Sunda, jangan sampai permainan sunda tersebut justru dijumpai di kota Palembang, Minang, atau kota-kota lainnya. Budayakanlah terlebih dahulu di daerah sunda itu sendiri. Dalam permainan tradisional biasanya terdapat nyanyian-nyanyian khas yang  menggunakan bahasa daerah, dengan demikian kita akan banyak melestarikan budaya daerah setempat melalui permainan tradisional yang sudah dikenalkan sejak dini pada anak-anak.
Lelaki yang bulan-bulan ini sering mendapat panggilan untuk mengisi ceramah-ceramah dan mengaku baru pulang dari Borobudur pada acara perkumpulan penulis cerita silat itu menitipkan pesan bijak bagi tunas-tunas bangsa yang selanjutnya akan melestarikan budaya bangsa ini.
Gunakan waktu anak-anak itu untuk kebahagiaan. Biarkan anak-anak bermain dan merasakan kebahagiaan. Salah satunya dengan bermain permainan tradisional itu tadi.” ujarnya mengakhiri perbincangan.


LUTUNG KASARUNG



Prabu Tapa Agung menunjuk Purbasari, putri bungsunya sebagai pengganti. "Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta," kata Prabu Tapa.
Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat menggantikan Ayah mereka. "Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai penggantinya," gerutu Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya.

Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga saat itu juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi punya alasan untuk mengusir adiknya tersebut. "Orang yang dikutuk seperti dia tidak pantas menjadi seorang Ratu !" ujar Purbararang.
Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai di hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari. Ia pun menasehati Purbasari, "Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha Kuasa pasti akan selalu bersama Putri". "Terima kasih paman", ujar Purbasari.

Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan bunga –bunga yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya.

Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat yang sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung merekah dan terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat harum.

Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga tersebut. "Apa manfaatnya bagiku ?", pikir Purbasari. Tapi ia mau menurutinya. Tak lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih

seperti semula dan ia menjadi cantik kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga tersebut.

Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti semula. Purbararang tidak mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. "Siapa yang paling panjang rambutnya dialah yang menang !", kata Purbararang. Awalnya Purbasari tidak mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut Purbasari lebih panjang.

"Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku", kata Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan kebingungan. Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, "Jadi monyet itu tunanganmu ?".

Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban. Lutung Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan memohon untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian itu akhirnya mereka semua kembali ke Istana.
Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda yang ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung.

SI KANCIL DAN SIPUT



Pada suatu hari si kancil nampak ngantuk sekali. Matanya serasa berat sekali untuk dibuka. “Aaa....rrrrgh”, si kancil nampak sesekali menguap. Karena hari itu cukup cerah, si kancil merasa rugi jika menyia-nyiakannya. Ia mulai berjalan-jalan menelusuri hutan untuk mengusir rasa kantuknya. Sampai di atas sebuah bukit, si Kancil berteriak dengan sombongnya, “Wahai penduduk hutan, akulah hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar di hutan ini. Tidak ada yang bisa menandingi kecerdasan dan kepintaranku”.
Sambil membusungkan dadanya, si Kancil pun mulai berjalan menuruni bukit. Ketika sampai di sungai, ia bertemu dengan seekor siput. “Hai kancil !”, sapa si siput. “Kenapa kamu teriak-teriak? Apakah kamu sedang bergembira?”, tanya si siput. “Tidak, aku hanya ingin memberitahukan pada semua penghuni hutan kalau aku ini hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar”, jawab si kancil dengan sombongnya.
“Sombong sekali kamu Kancil, akulah hewan yang paling cerdik di hutan ini”, kata si Siput. “Hahahaha......., mana mungkin” ledek Kancil. “Untuk membuktikannya, bagaimana kalau besok pagi kita lomba lari?”, tantang si Siput. “Baiklah, aku terima tantanganmu”, jawab si Kancil. Akhirnya mereka berdua setuju untuk mengadakan perlombaan lari besok pagi.
Setelah si Kancil pergi, si siput segera mengumpulkan teman-temannya. Ia meminta tolong agar teman-temannya berbaris dan bersembunyi di jalur perlombaan, dan menjawab kalau si kancil memanggil.
Akhirnya hari yang dinanti sudah tiba, kancil dan siput pun sudah siap untuk lomba lari. “Apakah kau sudah siap untuk berlomba lari denganku”, tanya si kancil. “Tentu saja sudah, dan aku pasti menang”, jawab si siput. Kemudian si siput mempersilahkan kancil untuk berlari dahulu dan memanggilnya untuk memastikan sudah sampai mana si siput.
Kancil berjalan dengan santai, dan merasa yakin kalau dia akan menang. Setelah beberapa langkah, si kancil mencoba untuk memanggil si siput. “Siput....sudah sampai mana kamu?”, teriak si kancil. “Aku ada di depanmu!”, teriak si siput. Kancil

terheran-heran, dan segera mempercepat langkahnya. Kemudian ia memanggil si siput lagi, dan si siput menjawab dengan kata yang sama.”Aku ada didepanmu!”
Akhirnya si kancil berlari, tetapi tiap ia panggil si siput, ia selalu muncul dan berkata kalau dia ada depan kancil. Keringatnya bercucuran, kakinya terasa lemas dan nafasnya tersengal-sengal.
Kancil berlari terus, sampai akhirnya dia melihat garis finish. Wajah kancil sangat gembira sekali, karena waktu dia memanggil siput, sudah tidak ada jawaban lagi. Kancil merasa bahwa dialah pemenang dari perlombaan lari itu.
Betapa terkejutnya si kancil, karena dia melihat si siput sudah duduk di batu dekat garis finish. “Hai kancil, kenapa kamu lama sekali? Aku sudah sampai dari tadi!”, teriak si siput. Dengan menundukkan kepala, si kancil menghampiri si siput dan mengakui kekalahannya. “Makanya jangan sombong, kamu memang cerdik dan pandai, tetapi kamu bukanlah yang terpandai dan cerdik”, kata si siput. “Iya, maafkan aku siput, aku tidak akan sombong lagi”, kata si kancil.