Nama Lengkap : Jakob Sumardjo
Kategori : HUMANIORA
Agama : Katolik
Tempat Lahir : Klaten,
Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Selasa,
26 September 1939
Warga Negara : Indonesia
Ayah : P.
Djojoprajitno
Istri : Jovita
Siti Rochma
Pasirlayung, Rabu, 14 November 2012. Hujan masih setia
mengguyur daerah Pasirlayung,
sementara aku mulai memarkirkan bebek yang
kutunggangi tepat di depan pagar rumah bernomor X1. Bukan rumah tersebut yang
kutuju, melainkan sebuah rumah sederhana yang terletak tepat di sampingnya. Aku
melepaskan jas hujan yang mulai betah bermukim di tubuhku, lalu aku berjalan
menuju sebuah pintu dan mulai mengetuknya. Sebentar
saja seseorang membukakan pintu. Keluarlah
seorang wanita tua namun tampak masih kuat menawarkan
senyum ramah. Beliau hendak bertanya tetapi langsung aku potong dengan
pertanyaanku.
“Bapaknya ada,
bu?”
“Ada, sebentar, tadi bapak ada
di Jeihan. Nanti ibu telepon dulu. Silakan
masuk!” ujarnya.
Aku pun masuk dan menunggu di ruang tamu
yang dindingnya ramai lukisan. Sepuluh menit berlalu. Sambil
menunggu, aku melepas jaket dan
mempersiapkan peralatan untuk
mendokumentasikan proses wawancaraku siang itu.
16.20 wib - Seseorang dengan jalan agak
ringkih tampak menggeser pintu pagar
rumah, lalu berjalan perlahan dengan
payung ditangannya. Dialah
Jakob Sumardjo. Seorang kakek yang sudah berusia 73 tahun namun tampak masih sehat - menurutku. Jakob
Sumardjo merupakan seorang budayawan nasional sekaligus esais yang
karya-karyanya sudah malang melitang di jagat kesusasteraan Indonesia. 
Di rumah sederhana ini Jakob Sumardjo tinggal bersama
isterinya kurang lebih 20 tahun.
Suara bising motor yang melintas tepat di depan 
rumah, menjadi irama pengawal percakapan yang akan segera kami sulut. Jakob duduk di sofa, pun denganku. Beratapkan remang lampu di ruangan itu, aku pun mulai
menyuguhkan pertanyaan ringan sebagai pengawal percakapan dan dilanjutkan
dengan beberapa pertanyaan yang telah kusiapkan sebelumnya.
Masa Kecil dan Permainan Tradisional
Jakob
Sumardjo adalah orang yang suka pada permainan tradisional. Dulu ketika angka
mulai mengecup usia kanak-kanaknya, beliau gemar bermain ular-ularan, atau saat
ini biasa disebut oray-orayan (dalam
bahasa sunda). Sselain itu, ia juga bermain
gobak sodor, gatrik dan kartu wayang.
Klaten
yang menjadi kampung halaman beliau adalah daerah yang memiliki banyak kenangan
perihal masa-masa bermainnya. Betapa tidak, acapkali matahari mulai bertengger
seperti bohlam perpustakaan, beliau dan teman-teman sebayanya memutuskan untuk
memulai permainan. Tidak hanya itu, ketika bulan mulai menguning di aspal,
mereka pun melanjutkan permainan tersebut. Setiap
hari mereka bermain bersama.
Jumlahnya kurang lebih ada sepuluh orang.
Tapi tak tentu, karena jika hari itu tema permainan adalah sepak bola, maka
yang bermain hanya anak laki-laki saja.
Di
usia kanak-kanaknya, permainan tradisional menjadi penghibur tersendiri baginya
dan juga teman-teman sebayanya, karena di zaman itulah bangsa Indonesia sedang
mengalami ketegangan hebat. Negara Indonesia sedang menjadi ajang penjajahan,
sehingga perang pun masih berkeliaran di mana-mana. Saat itu Klaten merupakan
daerah yang jaraknya lumayan dekat dengan tempat mortir-mortir berhamburan. 
Jakob
bercerita bahwa dulu tak jarang ia dapati mortir yang menyasar ke tempat mereka
bermain, sehingga mereka pun berlarian bersama untuk menghindari mortir
tersebut. Kadang mereka pun bersembunyi di balik pagar sambil melihat mortir-mortir
yang meledak hebat. Pemandangan tersebut sudah tak asing di memoar anak-anak
sebayanya ketika itu. “Menyeramkan” – kata itulah yang masih terekam di
benaknya.
Jakob
menyebutkan beberapa nama teman sebayanya yang juga memainkan permainan
tradisional bersamanya. Ada yang bernama Toha, dia adalah anak santri. Lalu
Karno, dia itu selanjutnya menjadi anggota PKI. Ada juga Midat, dan ada satu
teman perempuan yang
ia lupa namanya. Tetapi jika teman
perempuannya itu
sedang membawa kerbau untuk dimandikan,
Jakob selalu ikut menaiki kerbaunya dan ikut memandikan
kerbau  tersebut di sungai. 
Masa
kanak-kanak adalah masa penuh permainan. Peristiwa-peristiwa tak terduga yang
sering ia alami bersama teman-temannya ketika bermain, menjadi hal yang sangat
ia rindukan saat ini. Persahabatan erat yang terjalin karena kebersamaan mereka
dalam memainkan permainan tradisional itu hanya berlangsung kurang
lebih sampai kelas empat SD, karena
sekitar tahun 1944 -1949 saat duduk di kelas
lima sampai enam SD,  Jakob
pindah ke Yogyakarta.
Ada
satu pengalaman lucu menurutnya. Ia menceritakan bahwa dulu
dirinya pernah terjatuh saat Jepang
akan menyerbu sekitar pedesaan, kurang
lebih masih berusia 5 tahun. Ketika
keluarganya di dalam rumah mengemas barang-barang, tak sengaja ia berjalan mundur dan yang
terjadi malah jatuh terperosok ke sungai. Orangtuanya mengira Jakob patah tulang atau
sebagainya, tapi
ternyata ia
tidak apa-apa.
Dari
banyak hal yang diceritakan Jakob, tampaklah bahwa banyak pengalaman-pengalaman menarik yang ia alami ketika
bermain. Jakob
mengaku bahwa dirinya selalu bergembira ketika bermain. Semua
permainan dan perilaku menarik sewaktu kecil selalu ia nikmati.
Sampai-sampai perihal menangkap
belut, lele, dan mandi di sungai, pernah
ia rasakan.
Tertarik pada Kebudayaan Sunda di Usia Dewasa
Beranjak
ke masa-masa sekolah. Jakob bercerita bahwa dulu, untuk sampai di sekolah ia
harus berjalan kaki menempuh sekitar 8 kilometer dan hanya dibekali uang setengah
sen oleh ibunya.
Uang itu sebenarnya untuk bekal sekolah, namun
tak jarang dalam perjalanan menuju sekolahnya, Jakob selalu mampir ke pasar terlebih dahulu. Disana ada
banyak buku-buku yang dijual. Uang
jajannya itu ia kumpulkan untuk membeli buku. Ia sangat tertarik pada buku
cerita bergambar. Dalam buku tersebut
terdapat cerita tentang si Pait Lidah, Bawang Merah Bawang
Putih, dan banyak lagi cerita menarik
lainnya. Waktu itu Jakob tergila-gila sekali
dengan buku. Tapi jika ibunya tahu
bahwa uang jajannya itu sering digunakan untuk membeli
buku, maka ia akan kena marah. Bukan karena tidak boleh membeli buku, melainkan karena uang tersebut sengaja ibunya berikan untuk Jakob membeli makan di jam istirahat sekolah.
Menuju
masa-masa dewasanya, Jakob Sumardjo menjadi seorang budayawan asal Jawa, namun
ia begitu tertarik dengan kebudayaan sunda. Akhirnya Ia mulai menggeluti
kebudayaan sunda sejak dirinya memutuskan pindah
dari Yogyakarta menuju Bandung, kurang lebih tahun
1962. Jakob menamatkan studi di IKIP Bandung pada jurusan Sejarah (saat ini UPI). Setelah itu ia mengajar di SMA
St. Angela sampai tahun 1980. Kebetulan di
sana ia mengajar sejarah dan seni menggambar. Jakob mulai mendalami kebudayaan
Sunda dan merasa sangat tertarik sejak dirinya resmi pindah ke ASTI
(sekarang STSI). Faktor lingkungan
merupakan pengaruh utama dalam mengenal
kebudayaan Sunda. Di kampus yang ber-basic
seni tersebut, ia sering mendengar karawitan berkumandang setiap hari, sehingga
bertambahlah rasa gelisahnya untuk memahami kebudayaan sunda.
Tidak
sampai di sana. Suatu ketika ia pernah mendapat tugas untuk mengkaji cerita Sunda
yang berjudul Mundinglaya Dikusumah. Ia
segera mencari tahu apa itu Mundinglaya Dikusumah.
Setelah mendapat informasi tentang cerita tersebut, muncul seberkas kekaguman akan
sosok mistik dalam cerita itu,
karena menurutnya tokoh Mundinglaya mirip
dengan Dewaruci di Jawa. Setelah itu
ia mulai mengkaji naskahnya dan muncullah kembali hasrat keingintahuan tentang
cerita sunda lainnya. Ia pun memulainya dengan mencari tahu
cerita-cerita pantun Sunda semisal
Mandala dalam Wadon. 
Mendalami Filosofi Permainan Tradisional Bersama Muridnya
Perihal
permainan tradisional, ia
mulai paham sejak salah seorang muridnya di jurusan Seni
Rupa ITB, Zaini Alif, sering berdiskusi dan bertanya kepadanya mengenai filsafat dari permainan tradisional.
Kebetulan ketika itu Jakob
mengajar filsafat seni di ITB. Zaini,
muridnya, sangat tertarik dan ingin mengembangkan
permainan tradisional Sunda yang ternyata bernilai filosofi tinggi. Sebenarnya Zaini telah menyelesaikan tesisnya, tetapi dia menangguhkannya dalam
beberapa waktu agar tesis tersebut bisa lebih kompleks. 
Dari diskusinya bersama Zaini, Jakob akhirnya tahu bahwa
permainan tradisional memiliki dua sifat.
Pertama, bersifat play. Permainan tradisional yang
bersifat play, yakni permainan yang
menuntut pemain untuk mengukur kemampuan diri. Misalnya oray-orayan. Permainan tersebut menanamkan
kepercayaan diri pada anak-anak. Pada permainan play itu tidak ada istilah
kalah dan menang. Semisal membuat kolecer, anak-anak membuat kolecer. Siapa
yang bisa berputar dan berbunyi berarti dia telah mampu dan berhasil
membuatnya. Pada
akhirnya di masa depan kolecer tersebut akan digunakan. Dari situ terlihat bahwa
permainan bersifat play ini lebih
berujung pada pengukuran kemampuan diri dan sebagai pembelajaran tak langsung untuk
masa depan. Permainan
play lebih membentuk karakter untuk berkembang, yaitu menantang kemampuan
diri untuk bisa maju.
Kedua,
permainan tradisional yang bersifat game.
Permainan yang bersifat game biasanya
lebih mengarah pada kalah dan menang
yang
berujung pada rasa
sakit hati. Permainan
ini menuntut pemain untuk melakukan
sesuatu agar menang. 
Jika
disandingkan dalam permainan tradisional sunda, umumnya lebih bersifat play, sehingga hampir semua
permainan sunda
dimainkan untuk mengukur kemampuan diri.
Semisal permainan oray-orayan, menangkap
ikan, membuat kolecer dan
lainnya.
Sebaliknya,
jika dihadapkan dengan permainan tradisional Jawa, umumnya lebih bersifat game, sehingga pada akhirnya
harus ada yang kalah dan menang. Salah
satunya adalah permainan
gambar wayang.
Jakob
Sumardjo lebih tertarik mendalami sisi kebudayaan
dari permainan tradisional tersebut. Ia tidak memiliki sumbangsih mengenai permainannya, ia
justru membantu dari segi filsafat
kebudayaannya. Ragam permainan
tradisional bisa dilihat
dari letak geografis masyarakatnya.
Orang-orang Sunda
yang hidup di daerah ladang, pasti memiliki permainan yang berbeda dengan orang-orang Jawa yang hidup di daerah pesawahan.
Permainan Modern Mengikis Permainan Tradisional
Lelaki
yang kini memiliki tiga orang anak tersebut mengaku bahwa anak-anaknya saat ini
tidak bermain permainan tradisional sepertinya. Mereka
justru bermain dengan mainan-mainan modern. Semisal robot.
Tapi kadang mereka juga bermain layang-layang di
luar rumah bersama anak kampong.
Jakob
memandang bahwa permainan tradisional saat ini mulai terkikis dengan hadirnya
mainan-mainan modern  yang lebih canggih
dan instan. Maka dari itu, sebaiknya permainan tradisional harus
dikenalkan kembali pada anak-anak, karena
dalam mengajarkan pendidikan saat ini dibutuhkan pengajaran yang dikemas dalam bentuk
play.
Permainan modern lebih mengarah pada individu saja,
sehingga jika diterapkan dalam mengajarkan pendidikan sangat tidak cocok.
Permainan kita ini harus
permainan sosial. Jika
menyendiri tidak ada
manfaatnya terhadap masyarakat. Setidaknya
permainan tradisional anak-anak yang bersifat sosial dalam dunia pendidikan itu dimulai sejak kelas 1 sampai kelas 6
SD. Maka sejak dini, kita harus mengumpulkan
permainan yang bersifat play dan menerapkannya di sekolah-sekolah. Terlepas dari kegiatan pramuka, permainan tradisional harus tetap disisipkan di
dalamnya.
Kita bisa memulainya di daerah kita sendiri yang berlatar Sunda, jangan sampai
permainan sunda tersebut justru dijumpai di kota Palembang, Minang, atau
kota-kota lainnya. Budayakanlah terlebih dahulu di daerah sunda itu sendiri. Dalam
permainan tradisional biasanya terdapat nyanyian-nyanyian khas yang  menggunakan bahasa daerah, dengan demikian
kita akan banyak melestarikan budaya daerah setempat melalui permainan
tradisional yang sudah dikenalkan sejak dini pada anak-anak.
Lelaki
yang bulan-bulan ini sering mendapat
panggilan untuk mengisi
ceramah-ceramah dan mengaku baru pulang
dari Borobudur pada acara perkumpulan penulis cerita silat itu menitipkan pesan bijak bagi tunas-tunas bangsa yang
selanjutnya akan melestarikan budaya bangsa ini.
“Gunakan
waktu anak-anak itu untuk kebahagiaan. Biarkan anak-anak bermain dan merasakan
kebahagiaan. Salah satunya
dengan bermain permainan
tradisional itu tadi.” ujarnya
mengakhiri perbincangan.