'Malam itu ternyata tlah menjadi awal atas kecanggungan kita hari ini'
Masih
 teringat jelas di memori otak Kania, seorang remaja berusia 16 tahun, 
tentang pesan singkat yang dikirimkan oleh Raka seminggu yang lalu saat 
ia pulang dari sekolahnya.
"Mungkin itu hanya luapan emosi
 sesaat karena rasa sayangnya belum bisa aku balas lagi.." pikir Kania 
sembari keluar dari ruang kelas karena jam sekolah di hari tersebut 
telah berakhir siang itu.
Kania tidak begitu menanggapi 
pesan-pesan yang sering ia dapati dari sosok Raka di handphone'nya. 
Karena Raka hanyalah masalalu baginya, ia tak lebih dari sosok pria yang
 dulu pernah singgah di hatinya. Namun terkadang kebiasaan-kebiasaan 
tersebut justru membuat Kania harus memikirkan kembali masa-masa 
indahnya saat masih bersama Raka dulu. Sehingga tak jarang ia pun 
menangisi segala sesuatu yang telah menjadi penyebab berakhirnya jalinan
 cinta mereka.
Namun, seminggu yang lalu itu bersamaan 
dengan pesan yang dikirimkan Raka, Kania pun tak pernah melihat dan 
menjumpai sosok Raka lagi di sekolahnya. Rasa ragu akan perasaannya 
mengharuskan ia untuk segera menghapus jejak Raka dari fikirannya.
“Mungkin
 ia sedang sakit. Atau mungkin ia berangkat sekolah seperti biasa hanya 
saja kebetulan aku tak melihatnya. Hmmm,, yaa mungkin begitu. Toh kami 
berbeda kelas.” Sekali lagi Kania menduga-duga. Namun ia  kembali tak 
menghiraukannya.
"Kania…" tiba-tiba terdengar suara seorang pria dari arah belakang.
Lamunannya pun sontak hilang dari otaknya. Langkah Kania akhirnya terhenti. Ia mencoba menebak-nebak dalam hati.
"hemmm. . Arya mungkin??" pikirnya.
Kania
 lalu membalikkan tubuhnya ke arah sumber suara itu. Sedikit terkejut. 
Upss, dugaannya meleset. Dilihatnya sosok pria yang tak pernah ia sadari
 akan mengajaknya berinteraksi saat itu.
"Fatih…!?!" ucapnya kaget. Dari jauh Fatih lalu tersenyum hangat. Kemudian ia berlari menghampiri Kania.
Setelah sampai tepat di hadapan Kania,
tiba-tiba
 ia menarik tangan Kania dan berjalan menuju taman sekolah tanpa 
mengeluarkan sepatah katapun. Kania dengan polosnya hanya mengikuti 
ajakan Fatih karena masih terkejut atas sikap Fatih yang sangat mendadak
 itu.
Sesampainya di taman, Fatih pun mengajak Kania duduk tepat 
di kursi taman yang ada di hadapannya dan mereka pun memulai pembicaraan
 hangat yang masih membingungkan hati Kania siang itu.
"Maaf
 ya kalau sikap aku ini ngebuat kamu bingung.." ujar Fatih sambil 
kembali melontarkan senyum manisnya dan mulai mencoba mencairkan suasana
 yang nampak tegang di wajah Kania.
"Aaah, ng..ng..ngga apa-apa ko Fatt. . " jawab Kania aga ragu sambil membalas senyumnya.
"Aku
 hanya ingin menyampaikan surat ini.." kata Fatih sembari mengeluarkan 
sebuah amplop lucu berwarna biru muda dari saku bajunya. Warna yang 
sangat disukai oleh Kania.
Disodorkannya surat itu ke arah Kania.
"Ini, untukmu. ." ucapnya singkat.
"Untukku??" tanya Kania sambil mengerutkan dahi.
"Ya, ini surat dari Raka.." jawabnya begitu serius.
"Raka??"
sekali lagi Kania bertanya.
Fatih
 memanglah sahabat dekat Raka sejak awal mereka menduduki bangku SMA. 
Hingga di kelas 12 ini, merekapun masih akrab berteman. Tapi entah ada 
angin apa di siang itu, Kania benar-benar dibingungkan oleh sikap Fatih 
yang sangat tiba-tiba dan biasanya Fatih tidak begitu dekat dengan 
Kania.
"Ambilah, Kan.." bujuk Fatih.
Wajah Kania sontak tampak bingung menghadapinya. Dengan ragu-ragu Kania pun meraih sepucuk surat yang disodorkan Fatih tersebut.
Diamatinya sekeliling surat yang berwarna biru muda itu.
"Apa maksud semua ini, Fat?"
lagi-lagi Kania bertanya pada Fatih sambil memainkan letak surat tersebut di tangannya.
"Aku hanya menyampaikan pesan saja, mungkin kamu bisa mengerti setelah membacanya.." jawab Fatih ringan.
Kania pun berniat membuka surat itu di hadapan Fatih. Namun belum sempat melakukannya, tiba-tiba . .
"Kania…"
dari arah berlawanan terdengar teriakan suara yang memanggil namanya.
Fatih dan Kania pun spontan langsung mengarahkan pandangannya ke sumber suara itu.
"Arya.." ucap Kania.
Arya
 adalah pria yang saat ini sedang dekat dengan Kania, namun belum ada 
status spesial diantara keduanya karena Kania masih senang dengan 
posisinya saat itu yakni sebagai sahabat.
"Belum pulang?" teriak Arya sambil berlari menuju taman.
Belum sempat Kania menjawab, tiba-tiba Fatih berbisik pelan.
"Hemm,, aku pulang duluan ya, Kan. Hanya itu yang ingin aku sampaikan. Permisi.."
ucap Fatih sambil buru-buru meninggalkan Kania di kursi taman dan beranjak pergi menjauh dari arah kedatangan Arya saat itu.
"Eeeh….Fat, tunggu, ," panggil Kania yang semakin bingung.
Kania pun tak sempat mencegah kepergian Fatih saat itu karna langkah Fatih begitu cepat.
Tiba-tiba . .
"Hey . . " Arya pun sampai di tempat Kania berada.
"Tadi itu Fatih ya?" tanyanya penasaran.
Kania hanya memasang wajah bingungnya saat mendapati pertanyaan yang Arya lontarkan.
"Kenapa dia buru-buru pergi, Kan?"
sekali lagi Arya bertanya.
Kania terdiam.
Kemudian ia langsung bangkit dari kursinya dan mengajak Arya untuk segera pulang.
"Emm,,
 gada apa-apa ko, Ar. Mungkin dia ada keperluan mendadak. Ayo kita 
pulang.." bujuk Kania sambil melontarkan senyum ragunya.
"Ohh. . . Baiklah.. Yuk_!!!" jawab Arya sambil membalas senyum Kania.
Merekapun
 berjalan menuju luar sekolah. Menjauh. . dan mulai meninggalkan taman 
itu. Taman yang dirasa haru dan membawa keresahan tersendiri di hati 
Kania sekarang.. Taman itu benar-benar tlah menjadi saksi kebisuan atas 
sepucuk surat yang masih terbungkus rapi dan masih Kania simpan di saku 
seragamnya.
*.*.*.*
Esok harinya di 
tempat dan waktu yang sama seperti saat Kania mendapatkan sepucuk surat 
dari Raka melalui Fatih, ia pun kembali meminta Fatih untuk datang 
menemuinya di taman sekolah setelah  jam sekolah berakhir. Kania 
berharap kali ini ia dapat mencari tau di mana keberadaan Raka saat ini.
“Hai Kan, maaf ya lama menunggu.” Ucap Fatih sambil menghampiri Kania yang sudah duduk di kursi taman.
“Iya, ga apa-apa ko Fat. Sini duduk.” Jawab Kania singkat.
“Ada apa Kan?” Tanya Fatih yang langsung memposisikan dirinya di samping kedudukan Kania saat itu.
“Aku,
 aku cuma ingin menanyakan keadaan Raka. Mungkin aku terlalu egois 
sampai-sampai aku tak menghiraukannya saat ia mencoba untuk mengkrabkan 
dirinya lagi kepadaku. Tapi, jujur kali ini keegoisanku sontak hilang 
dan malah menjadi kerinduan yang sangat dalam sejak ia tak lagi 
mengganggu aktivitasku. Apa sikapku ini salah ya, Fat?” Ucap Kania 
serius.
“Sebenarnya aku sangat paham masalah kalian. Kalian hanya 
terhalang oleh keadaan yang mengharuskan kalian untuk berpisah. Aku 
yakin Kan kalau Raka itu masih menyayangimu. Tapi mungkin saat itu ada 
suatu alasan yang mengharuskan hubungan kalian berantakan.berakhir.” 
Jelas Fatih.
“Hmmmh..” Kania mnghela nafas pelan.
“Kau tau di mana Raka sekarang?” Tanya Kania dengan penuh harap.
“Kau yakin ingin mengetahui keberadaanya saat ini?” Fatih balik bertanya.
Kania hanya mengangguk karena ia sudah sangat ingin bertemu dengan sosok Raka yang selalu mengganggu fikirannya sepekan ini.
Tanpa
 pikir panjang Fatih pun mengajak Kania untuk pergi ke suatu tempat. 
Kania pun menyetujui ajakan Fatih tersebut. Ya, mungkin di tempat yang 
saat ini akan Fatih tunjukkan, setidaknya bisa mempertemukannya dengan 
Raka meskipun hanya sesaat.
*.*.*.*
 Sesampai
 di tempat itu, tak terlihat begitu banyak orang yang melewati sepanjang
 jalan yang Kania dan Fatih lalui. Hanya ada pemandangan berupa 
pohon-pohon yang berdiri tegak mengelilingi jalanan itu. Kania cukup 
bingung dengan tempat tersebut, namun keyakinannya yang kuat untuk 
menemui Raka mengharuskannya untuk siap menghadapi segala kemungkinan 
yang akan terjadi.
“Di mana Raka, Fat? Mengapa tempat ini sepi sekali?” Kania akhirnya bertanya pada Fatih.
“Ayo, kita harus berjalan terlebih dahuu untuk sampai di tempat Raka saat ini” ajak Fatih singkat.
Kania
 pun mengikuti lagkah kaki Fatih. Meskipun di hatinya tersimpan banyak 
pertanyaan tentang tempat aneh itu, namun semua pertanyaan itu seolah 
terkikis oleh rasa rindunya untuk segera bertatap muka dengan Raka.
Setelah
 beberapa menit berjalan menyusuri tempat yang dirasa bagai hutan 
belantara itu, Kania pun sontak terkejut dan menghentikan langkahnya.
“Apa maksud semua ini Fat? Kenapa kau mengajakku ke tempat ini?” Kania betanya dengan penuh rasa cemas.
Dilihatnya
 tumpukan tanah yang membisu dengan nisan-nisan yang telah kusam , 
begitu banyak di hadapannya. Ya. Itu adalah pemakaman. Tempat yang 
selama ini enggan untuk Kania fikirkan karena mengingatkannya pada sosok
 ayah yang telah lama meninggalkannya sejak  ia berumur 10 tahun.
“Tenanglah Kan. Sebentar lagi kita akan sampai.” Ucap Fatih mncoba menenangkan.
Saat
 itu banyak dugaan yang tersirat di batin Kania mulai merasuki langkah 
kakinya yang nampak ragu untuk meneruskan perjalanan itu. Dimulai dari 
dugaan yang paling membahagiakannya jika memang hari itu ia benar-benar 
bisa menemui sosok Raka, ataupun sebaliknya.
Namun apa 
yang terjadi? Tampak begitu perih jika memang tumbukan tanah kering di 
hadapannya itu adalah benar-benar sosok Raka yang tlah membisu.
“Kan, kita sudah sampai. Raka sedang tidur di sana. Tapi aku yakin ia pasti bahagia melihatmu datang menjenguknya.”
Tiba-tiba
 Fatih mengucapkan kata-kata yang telah menjadi dugaan terpahit di hati 
Kania. Seolah sedang bermimpi, Kania hanya menggeleng-gelengkan kepala 
tanda tidak percayanya dengan apa yang ia alami saat itu. Hal terburuk 
telah menimpa dirinya. Bukan sosok Raka yang langsung ia dapati 
melainkan tumpukan tanah kering yang di dalamnya terbaring jasad Raka 
yang selama ini ia rindukan. Sontak Kania pun tak dapat membendung air 
matanya dan kakinya pun seolah tak sanggup untuk menopang berat badannya
 yang mulai tampak melemah.
“Kenapa harus seperti ini, 
Fat? Kau harus menceritakan semuanya kepadaku Fat. Kenapa Raka bisa ada 
di tempat ini? ini bukan yang aku inginkan Fat, bukan!!” Kania seolah 
tak kuasa lagi membendung rasa harunya karena begitu pahit perpisahan 
yang sebelumnya terjadi.
Tanpa ragu Fatih pun menuntun 
Kania untuk kembali ke tepi jalanan, meski tergopoh-gopoh namun Fatih 
juga tak kuasa melihat Kania selemah itu.
Mereka pun duduk di dalam mobil yang Fatih bawa.
Fatih pun segera menceritakan semua yang menimpa Raka, sahabatnya.
 “Maaf,
 Kan. Sebenarnya aku tidak ingin merahasiakan masalah ini. Tapi karena 
ku fikir inilah saat yang tepat untuk menceritakannya kepadamu, maka aku
 putuskan untuk segera memberitahumu tentang semua ini.” ucap Fatih 
penuh bersalah.
“Sebenarnya apa yang menimpa Raka, Fat?” Kania mulai tak sabar untuk mengetahui penyebab semua yang menimpa Raka.
Tanpa pikir panjang Fatih pun mulai menceritakan yang sebenarnya terjadi.
“Begini,
 Kan. Seminggu yang lalu seperti biasa aku, Raka dan beberapa siswa 
laki-laki terlibat masalah dengan sekolah lain. Semoga kau sudah tau 
akan kebiasaan murid laki-laki di sekolah kita. Ya, pagi itu seperti 
biasa kami terlibat tawuran karena suatu masalah dan sangat disayangkan 
Raka menjadi korban di tawuran tersebut.” Ucap Fatih menyayangkan atas 
kejadian yang telah dilaluinya itu.
Kania hanya 
menggeleng-gelengken kepalanya, ia masih belum puas atas semua ucapan 
Fatih itu. Selama ini Kania telah menyadari bahwa Raka memanglah sosok 
aktivis di sekolahnya yang tak jarang ia pun sering terlibat tawuran 
antar sekolah. Hanya saja mengapa seminggu ini ia tak mendengar kabar 
tentang hal itu. Seolah tak ada apa-apa, pihak sekolah dan 
teman-temannya di sekolah tak pernah menyinggung kejadian tersebut yang 
sudah merenggut nyawa Raka.
Kania pun kembali teringat 
sebuah peristiwa yang menjadi awal perpisahannya dengan Raka. Di waktu 
yang hampir sama, malam sebelum seminggu ini terhitung. Raka tib-tiba 
memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Ya, tak ada alasan yang 
menjanjikan dari Raka. Yang terucap dari mulut Raka hanyalah alasan 
biasa, yang dirasa kurang masuk akal bagi Kania.
“Aku ga 
mau kamu ikut-ikutan terbebani dengan resikoku saat ini. Aku ingin kamu 
selamat dan tidak ada resiko yang akan kamu hadapi. Aku hanya ingin kamu
 bahagia, sayang.”
Terlintas lagi ucapan Raka yang saat itu tiba-tiba memutuskan hubungan mereka.
“Semua
 ini karena ia tak ingin kamu menjadi incaran musuh-musuh kami di luar 
sana, Kan. Oleh sebab itu ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya 
denganmu.”
Lagi-lagi penjelasan Fatih itu membuyarkan lamunannya 
dan mengharuskannya untuk menerima apa yang telah terjadi. Satu yang ia 
ingat kini, Raka masih menyayanginya sehingga hubungan mereka harus 
berakhir.
Ya. Kania saat ini menyadari akan surat yang ia dapatkan dari Raka melalui Fatih.
“Kenapa
 kamu baru memberitahuku sekarang, Fat? Setelah seminggu jasadnya 
terkubur dalam tanah, aku hanya bisa menangisi dan menyesali semua ini.”
 tanya Kania lagi.
“Maafkan aku Kan, ini semua permintaan Raka. Ia
 ingin setelah seminggu kepergiannya barulah surat itu aku berikan 
kepadamu” jawab Fatih.
Ya. Mungkin ini sudah takdir yang 
harus terjadi. Kania pun kembali membuka surat yang masih ia bawa di 
sakunya. Surat yang tadi malam ia baca di rumahnya. Namun ternyata surat
 tersebut telah menjadi pengantar kebenaran yang terjadi saat itu.
Kembali
 ia baca untaian kata yang tertulis di surat itu. Ya, untaian kata-kata 
puitis yang membuatnya kembali luapkan tangisannya di hadapan Fatih.
Rembulan takan lagi bersinar hiasi malam panjangku.
Matahari takan lagi hangatkan pagiku.
Hanya sepi dan pilu yang kini temani siang malamku.
Luka dihati tak kunjung hilang. Hanya membawaku dalam kesakitan, kehancuran dan kepedihan.
Inginku berlari, namun bayang kegelapan terus manghantuiku, membawaku masuk kedalamnya.
Ku ulurkan tangan, namun tak ada yang menolongku. Ku terus menjerit, namun tak ada yang mendengar.
Puisi
 itu yang menjadi akhir hayat sosok Raka di memori ingatan Kania saat 
ini. Setidaknya telah menjadi pengurang rasa penasaran Kania akan 
penyebab berakhirnya hubungan mereka berdua saat itu. Kini, tinggallah 
sebongkah kenangan yang hanya bisa di ingatnya dalam hati tentang sosok 
Raka yang masih ia cintai.