Rabu, 21 September 2011

Penamat Kata



MORRIS (Vespa Kami)

Sampai :

kau bersandar di roda duamu
sedang aku duduk di sebuah dipan yang berpunca dari batu.
kita selalu membenci percakapan di ujung persuaan ini.
ketika dua puluh satu nolnol berdetak
menjelma angkaangka penyuguh kesimpulan
meramu seberkas penamat katakata.

tapi sentosalah kita
ketika anak-anak masih asyik menyalakan petasan
hingga menyentuh butir bulan di langit Irian
membiarkan kita terjaga dan tidak berpamitan.


Bandung, 2011.
( puisi ini dimuat dalam antologi puisi Situ Waktu )

Minggu, 18 September 2011

Rindu


ia menikam tajam bagai penyakit yang telah akut.
menyusuri denyut nadi yang terbatuk-batuk.
menerobos ketebalan dinding ventrikel dalam dada.
dan menghentikan laju oksigen pada aorta.


Bandung, April 2011
( puisi ini dimuat dalam antologi puisi Situ Waktu )

Percakapan di balik hujan


Tudung dunia:
ia bagai embrio bening di antara organ tubuhku; angin dan awan hitam.
lalu ia pergi secara bersamaan menjauh dariku, menujumu.
ia berlombalomba mencapai tubuh lain yang tersanding di pijakan lawan takdirku; kau.

Alas dunia:
ya, pun denganku tentangnya.
seperti lantai kamar mandi yang terbasuh air keran,
suaranya kompak.
seolah ada yang mengatur, derap pijakannya menjadi lebih merdu.
lalu dengan perlahan ia menjajah tubuhku dan mengendap ke dalam organku.
ia menimbun kegersangan, kemudian menjadi wewangian; aku basah dan menyengat penciuman.



Bandung, 2011.
( puisi ini dimuat dalam antologi puisi Situ Waktu )

Akhir Kepergian Raka

_oleh Intan Pertiwi



'Malam itu ternyata tlah menjadi awal atas kecanggungan kita hari ini'


Masih teringat jelas di memori otak Kania, seorang remaja berusia 16 tahun, tentang pesan singkat yang dikirimkan oleh Raka seminggu yang lalu saat ia pulang dari sekolahnya.

"Mungkin itu hanya luapan emosi sesaat karena rasa sayangnya belum bisa aku balas lagi.." pikir Kania sembari keluar dari ruang kelas karena jam sekolah di hari tersebut telah berakhir siang itu.

Kania tidak begitu menanggapi pesan-pesan yang sering ia dapati dari sosok Raka di handphone'nya. Karena Raka hanyalah masalalu baginya, ia tak lebih dari sosok pria yang dulu pernah singgah di hatinya. Namun terkadang kebiasaan-kebiasaan tersebut justru membuat Kania harus memikirkan kembali masa-masa indahnya saat masih bersama Raka dulu. Sehingga tak jarang ia pun menangisi segala sesuatu yang telah menjadi penyebab berakhirnya jalinan cinta mereka.

Namun, seminggu yang lalu itu bersamaan dengan pesan yang dikirimkan Raka, Kania pun tak pernah melihat dan menjumpai sosok Raka lagi di sekolahnya. Rasa ragu akan perasaannya mengharuskan ia untuk segera menghapus jejak Raka dari fikirannya.

“Mungkin ia sedang sakit. Atau mungkin ia berangkat sekolah seperti biasa hanya saja kebetulan aku tak melihatnya. Hmmm,, yaa mungkin begitu. Toh kami berbeda kelas.” Sekali lagi Kania menduga-duga. Namun ia  kembali tak menghiraukannya.

"Kania…" tiba-tiba terdengar suara seorang pria dari arah belakang.

Lamunannya pun sontak hilang dari otaknya. Langkah Kania akhirnya terhenti. Ia mencoba menebak-nebak dalam hati.

"hemmm. . Arya mungkin??" pikirnya.

Kania lalu membalikkan tubuhnya ke arah sumber suara itu. Sedikit terkejut. Upss, dugaannya meleset. Dilihatnya sosok pria yang tak pernah ia sadari akan mengajaknya berinteraksi saat itu.

"Fatih…!?!" ucapnya kaget. Dari jauh Fatih lalu tersenyum hangat. Kemudian ia berlari menghampiri Kania.


Setelah sampai tepat di hadapan Kania,
tiba-tiba ia menarik tangan Kania dan berjalan menuju taman sekolah tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Kania dengan polosnya hanya mengikuti ajakan Fatih karena masih terkejut atas sikap Fatih yang sangat mendadak itu.
Sesampainya di taman, Fatih pun mengajak Kania duduk tepat di kursi taman yang ada di hadapannya dan mereka pun memulai pembicaraan hangat yang masih membingungkan hati Kania siang itu.

"Maaf ya kalau sikap aku ini ngebuat kamu bingung.." ujar Fatih sambil kembali melontarkan senyum manisnya dan mulai mencoba mencairkan suasana yang nampak tegang di wajah Kania.

"Aaah, ng..ng..ngga apa-apa ko Fatt. . " jawab Kania aga ragu sambil membalas senyumnya.

"Aku hanya ingin menyampaikan surat ini.." kata Fatih sembari mengeluarkan sebuah amplop lucu berwarna biru muda dari saku bajunya. Warna yang sangat disukai oleh Kania.
Disodorkannya surat itu ke arah Kania.

"Ini, untukmu. ." ucapnya singkat.
"Untukku??" tanya Kania sambil mengerutkan dahi.
"Ya, ini surat dari Raka.." jawabnya begitu serius.

"Raka??"
sekali lagi Kania bertanya.

Fatih memanglah sahabat dekat Raka sejak awal mereka menduduki bangku SMA. Hingga di kelas 12 ini, merekapun masih akrab berteman. Tapi entah ada angin apa di siang itu, Kania benar-benar dibingungkan oleh sikap Fatih yang sangat tiba-tiba dan biasanya Fatih tidak begitu dekat dengan Kania.

"Ambilah, Kan.." bujuk Fatih.

Wajah Kania sontak tampak bingung menghadapinya. Dengan ragu-ragu Kania pun meraih sepucuk surat yang disodorkan Fatih tersebut.
Diamatinya sekeliling surat yang berwarna biru muda itu.


"Apa maksud semua ini, Fat?"
lagi-lagi Kania bertanya pada Fatih sambil memainkan letak surat tersebut di tangannya.


"Aku hanya menyampaikan pesan saja, mungkin kamu bisa mengerti setelah membacanya.." jawab Fatih ringan.

Kania pun berniat membuka surat itu di hadapan Fatih. Namun belum sempat melakukannya, tiba-tiba . .


"Kania…"

dari arah berlawanan terdengar teriakan suara yang memanggil namanya.
Fatih dan Kania pun spontan langsung mengarahkan pandangannya ke sumber suara itu.

"Arya.." ucap Kania.

Arya adalah pria yang saat ini sedang dekat dengan Kania, namun belum ada status spesial diantara keduanya karena Kania masih senang dengan posisinya saat itu yakni sebagai sahabat.

"Belum pulang?" teriak Arya sambil berlari menuju taman.

Belum sempat Kania menjawab, tiba-tiba Fatih berbisik pelan.


"Hemm,, aku pulang duluan ya, Kan. Hanya itu yang ingin aku sampaikan. Permisi.."
ucap Fatih sambil buru-buru meninggalkan Kania di kursi taman dan beranjak pergi menjauh dari arah kedatangan Arya saat itu.

"Eeeh….Fat, tunggu, ," panggil Kania yang semakin bingung.
Kania pun tak sempat mencegah kepergian Fatih saat itu karna langkah Fatih begitu cepat.

Tiba-tiba . .

"Hey . . " Arya pun sampai di tempat Kania berada.

"Tadi itu Fatih ya?" tanyanya penasaran.
Kania hanya memasang wajah bingungnya saat mendapati pertanyaan yang Arya lontarkan.

"Kenapa dia buru-buru pergi, Kan?"
sekali lagi Arya bertanya.
Kania terdiam.
Kemudian ia langsung bangkit dari kursinya dan mengajak Arya untuk segera pulang.
"Emm,, gada apa-apa ko, Ar. Mungkin dia ada keperluan mendadak. Ayo kita pulang.." bujuk Kania sambil melontarkan senyum ragunya.
"Ohh. . . Baiklah.. Yuk_!!!" jawab Arya sambil membalas senyum Kania.
Merekapun berjalan menuju luar sekolah. Menjauh. . dan mulai meninggalkan taman itu. Taman yang dirasa haru dan membawa keresahan tersendiri di hati Kania sekarang.. Taman itu benar-benar tlah menjadi saksi kebisuan atas sepucuk surat yang masih terbungkus rapi dan masih Kania simpan di saku seragamnya.


*.*.*.*

Esok harinya di tempat dan waktu yang sama seperti saat Kania mendapatkan sepucuk surat dari Raka melalui Fatih, ia pun kembali meminta Fatih untuk datang menemuinya di taman sekolah setelah  jam sekolah berakhir. Kania berharap kali ini ia dapat mencari tau di mana keberadaan Raka saat ini.

“Hai Kan, maaf ya lama menunggu.” Ucap Fatih sambil menghampiri Kania yang sudah duduk di kursi taman.
“Iya, ga apa-apa ko Fat. Sini duduk.” Jawab Kania singkat.
“Ada apa Kan?” Tanya Fatih yang langsung memposisikan dirinya di samping kedudukan Kania saat itu.
“Aku, aku cuma ingin menanyakan keadaan Raka. Mungkin aku terlalu egois sampai-sampai aku tak menghiraukannya saat ia mencoba untuk mengkrabkan dirinya lagi kepadaku. Tapi, jujur kali ini keegoisanku sontak hilang dan malah menjadi kerinduan yang sangat dalam sejak ia tak lagi mengganggu aktivitasku. Apa sikapku ini salah ya, Fat?” Ucap Kania serius.
“Sebenarnya aku sangat paham masalah kalian. Kalian hanya terhalang oleh keadaan yang mengharuskan kalian untuk berpisah. Aku yakin Kan kalau Raka itu masih menyayangimu. Tapi mungkin saat itu ada suatu alasan yang mengharuskan hubungan kalian berantakan.berakhir.” Jelas Fatih.
“Hmmmh..” Kania mnghela nafas pelan.
“Kau tau di mana Raka sekarang?” Tanya Kania dengan penuh harap.
“Kau yakin ingin mengetahui keberadaanya saat ini?” Fatih balik bertanya.
Kania hanya mengangguk karena ia sudah sangat ingin bertemu dengan sosok Raka yang selalu mengganggu fikirannya sepekan ini.
Tanpa pikir panjang Fatih pun mengajak Kania untuk pergi ke suatu tempat. Kania pun menyetujui ajakan Fatih tersebut. Ya, mungkin di tempat yang saat ini akan Fatih tunjukkan, setidaknya bisa mempertemukannya dengan Raka meskipun hanya sesaat.

*.*.*.*

 Sesampai di tempat itu, tak terlihat begitu banyak orang yang melewati sepanjang jalan yang Kania dan Fatih lalui. Hanya ada pemandangan berupa pohon-pohon yang berdiri tegak mengelilingi jalanan itu. Kania cukup bingung dengan tempat tersebut, namun keyakinannya yang kuat untuk menemui Raka mengharuskannya untuk siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

“Di mana Raka, Fat? Mengapa tempat ini sepi sekali?” Kania akhirnya bertanya pada Fatih.

“Ayo, kita harus berjalan terlebih dahuu untuk sampai di tempat Raka saat ini” ajak Fatih singkat.
Kania pun mengikuti lagkah kaki Fatih. Meskipun di hatinya tersimpan banyak pertanyaan tentang tempat aneh itu, namun semua pertanyaan itu seolah terkikis oleh rasa rindunya untuk segera bertatap muka dengan Raka.
Setelah beberapa menit berjalan menyusuri tempat yang dirasa bagai hutan belantara itu, Kania pun sontak terkejut dan menghentikan langkahnya.

“Apa maksud semua ini Fat? Kenapa kau mengajakku ke tempat ini?” Kania betanya dengan penuh rasa cemas.
Dilihatnya tumpukan tanah yang membisu dengan nisan-nisan yang telah kusam , begitu banyak di hadapannya. Ya. Itu adalah pemakaman. Tempat yang selama ini enggan untuk Kania fikirkan karena mengingatkannya pada sosok ayah yang telah lama meninggalkannya sejak  ia berumur 10 tahun.

“Tenanglah Kan. Sebentar lagi kita akan sampai.” Ucap Fatih mncoba menenangkan.
Saat itu banyak dugaan yang tersirat di batin Kania mulai merasuki langkah kakinya yang nampak ragu untuk meneruskan perjalanan itu. Dimulai dari dugaan yang paling membahagiakannya jika memang hari itu ia benar-benar bisa menemui sosok Raka, ataupun sebaliknya.

Namun apa yang terjadi? Tampak begitu perih jika memang tumbukan tanah kering di hadapannya itu adalah benar-benar sosok Raka yang tlah membisu.

“Kan, kita sudah sampai. Raka sedang tidur di sana. Tapi aku yakin ia pasti bahagia melihatmu datang menjenguknya.”

Tiba-tiba Fatih mengucapkan kata-kata yang telah menjadi dugaan terpahit di hati Kania. Seolah sedang bermimpi, Kania hanya menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak percayanya dengan apa yang ia alami saat itu. Hal terburuk telah menimpa dirinya. Bukan sosok Raka yang langsung ia dapati melainkan tumpukan tanah kering yang di dalamnya terbaring jasad Raka yang selama ini ia rindukan. Sontak Kania pun tak dapat membendung air matanya dan kakinya pun seolah tak sanggup untuk menopang berat badannya yang mulai tampak melemah.

“Kenapa harus seperti ini, Fat? Kau harus menceritakan semuanya kepadaku Fat. Kenapa Raka bisa ada di tempat ini? ini bukan yang aku inginkan Fat, bukan!!” Kania seolah tak kuasa lagi membendung rasa harunya karena begitu pahit perpisahan yang sebelumnya terjadi.

Tanpa ragu Fatih pun menuntun Kania untuk kembali ke tepi jalanan, meski tergopoh-gopoh namun Fatih juga tak kuasa melihat Kania selemah itu.
Mereka pun duduk di dalam mobil yang Fatih bawa.
Fatih pun segera menceritakan semua yang menimpa Raka, sahabatnya.

 “Maaf, Kan. Sebenarnya aku tidak ingin merahasiakan masalah ini. Tapi karena ku fikir inilah saat yang tepat untuk menceritakannya kepadamu, maka aku putuskan untuk segera memberitahumu tentang semua ini.” ucap Fatih penuh bersalah.
“Sebenarnya apa yang menimpa Raka, Fat?” Kania mulai tak sabar untuk mengetahui penyebab semua yang menimpa Raka.

Tanpa pikir panjang Fatih pun mulai menceritakan yang sebenarnya terjadi.

“Begini, Kan. Seminggu yang lalu seperti biasa aku, Raka dan beberapa siswa laki-laki terlibat masalah dengan sekolah lain. Semoga kau sudah tau akan kebiasaan murid laki-laki di sekolah kita. Ya, pagi itu seperti biasa kami terlibat tawuran karena suatu masalah dan sangat disayangkan Raka menjadi korban di tawuran tersebut.” Ucap Fatih menyayangkan atas kejadian yang telah dilaluinya itu.

Kania hanya menggeleng-gelengken kepalanya, ia masih belum puas atas semua ucapan Fatih itu. Selama ini Kania telah menyadari bahwa Raka memanglah sosok aktivis di sekolahnya yang tak jarang ia pun sering terlibat tawuran antar sekolah. Hanya saja mengapa seminggu ini ia tak mendengar kabar tentang hal itu. Seolah tak ada apa-apa, pihak sekolah dan teman-temannya di sekolah tak pernah menyinggung kejadian tersebut yang sudah merenggut nyawa Raka.

Kania pun kembali teringat sebuah peristiwa yang menjadi awal perpisahannya dengan Raka. Di waktu yang hampir sama, malam sebelum seminggu ini terhitung. Raka tib-tiba memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Ya, tak ada alasan yang menjanjikan dari Raka. Yang terucap dari mulut Raka hanyalah alasan biasa, yang dirasa kurang masuk akal bagi Kania.

“Aku ga mau kamu ikut-ikutan terbebani dengan resikoku saat ini. Aku ingin kamu selamat dan tidak ada resiko yang akan kamu hadapi. Aku hanya ingin kamu bahagia, sayang.”
Terlintas lagi ucapan Raka yang saat itu tiba-tiba memutuskan hubungan mereka.

“Semua ini karena ia tak ingin kamu menjadi incaran musuh-musuh kami di luar sana, Kan. Oleh sebab itu ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya denganmu.”
Lagi-lagi penjelasan Fatih itu membuyarkan lamunannya dan mengharuskannya untuk menerima apa yang telah terjadi. Satu yang ia ingat kini, Raka masih menyayanginya sehingga hubungan mereka harus berakhir.
Ya. Kania saat ini menyadari akan surat yang ia dapatkan dari Raka melalui Fatih.

“Kenapa kamu baru memberitahuku sekarang, Fat? Setelah seminggu jasadnya terkubur dalam tanah, aku hanya bisa menangisi dan menyesali semua ini.” tanya Kania lagi.
“Maafkan aku Kan, ini semua permintaan Raka. Ia ingin setelah seminggu kepergiannya barulah surat itu aku berikan kepadamu” jawab Fatih.

Ya. Mungkin ini sudah takdir yang harus terjadi. Kania pun kembali membuka surat yang masih ia bawa di sakunya. Surat yang tadi malam ia baca di rumahnya. Namun ternyata surat tersebut telah menjadi pengantar kebenaran yang terjadi saat itu.
Kembali ia baca untaian kata yang tertulis di surat itu. Ya, untaian kata-kata puitis yang membuatnya kembali luapkan tangisannya di hadapan Fatih.


Rembulan takan lagi bersinar hiasi malam panjangku.
Matahari takan lagi hangatkan pagiku.
Hanya sepi dan pilu yang kini temani siang malamku.
Luka dihati tak kunjung hilang. Hanya membawaku dalam kesakitan, kehancuran dan kepedihan.
Inginku berlari, namun bayang kegelapan terus manghantuiku, membawaku masuk kedalamnya.
Ku ulurkan tangan, namun tak ada yang menolongku. Ku terus menjerit, namun tak ada yang mendengar.



Puisi itu yang menjadi akhir hayat sosok Raka di memori ingatan Kania saat ini. Setidaknya telah menjadi pengurang rasa penasaran Kania akan penyebab berakhirnya hubungan mereka berdua saat itu. Kini, tinggallah sebongkah kenangan yang hanya bisa di ingatnya dalam hati tentang sosok Raka yang masih ia cintai.

Penilaian Masyarakat Indonesia terhadap Sastra


oleh Intan Pertiwi

Sastra mungkin sudah tak asing lagi bagi segelintir  orang yang pernah mempelajarinya, terutama di  kalangan pelajar ataupun mahasiswa  khususnya lagi bagi mereka yang mengambil jurusan pada bidang tersebut. Namun, apakah mungkin pandangan masyarakat umum itu selalu positif dan mengagungkan  Sastra itu sendiri?
Dalam pandangan secara umum di kalangan masyarakat, sastra dianggap sebagai ruang gelap yang tak diketahui dan tidak dikenal.  Benarkah demikian?
Jika kita mengamati tentang perkembangan sastra di kalangan masyarakat, mungkin akan mampu memunculkan penilaian-penilaian yang beragam tentang  sastra itu sendiri.
Seperti yang tampak di kalangan masyarakat,  sastra tidak terlalu dikenal seluk beluknya oleh masyarakat luas. Bahkan masih banyak mayarakat yang buta akan sastra itu sendiri. Belum jauh kita bertanya pada segelintir orang tentang karya-karya sastra yang telah dibuat oleh para sastrawan, terkadang kita justru dihadapkan pada permasalahn mengenai ketidaktahuan mereka akan siapa-siapa saja yang dianggap sebagai sastrawan itu sendiri, terutama sastrawan di Negara Indonesia ini.  Jikapun mereka mengenalinya mungkin hanya beberapa sastrawan saja yang pernah mereka dengar. Seperti Chairil Anwar, Taufik Ismail, dan W.S.Rendra. Mungkin karya merekapun sebenarnya lebih dikenal hanya di kalangan dunia akademis saja atau Universitas yang kebetulan memiliki program kajian bahasa dan sastra Indonesia . Jadi belum tentu masyarakat umum mampu mengagungkan sebuah karya sastra karena memang mereka masih meraba-raba segala sesuatu tentang sastra itu sendiri.
Dalam sejumlah hal, bukanlah karena sastra dinilai tidak menarik bagi masyarakat Indonesia. Akan tetapi dalam pergaulannya, pembacaan atas hal-hal lain di luar sastra dianggap lebih mudah dipahami ketimbang harus menggeluti dunia sastra itu sendiri. Contohnya saja bidang lain di luar sastra yang dipandang lebih menarik minat serta perhatian masyarakat seperti bidang olahraga yang mungkin menimbulkan rasa penasaran bagi masyarakat kita ketika memang terjadi sebuah musim yang mengagungkan cabang olahraga tersebut. Sialnya, inilah yang tidak dimilki sastra Indonesia, sehingga ia hanya dibaca oleh kalangan terbatas di dunia akademik.
Adapun penghambat lain akan perkembangan sastra di  kalangan masyarakat Indonesia sehingga menimbukan penilaian miring terhadap sastra adalah minimnya pengetahuan masyarakat tentang kenikmatan yang ditimbulkan dari karya sastra tersebut. Tingkat sosial, ekonomi, pendidikan, maupun budaya (kebiasaan) dalam suatu lingkup masyarakat juga turut berpengaruh dalam penilaian-penilaian masyarakat Indonesia terhadap sastra.
Fakta yang sudah pernah kita temui di lingkungan terkecil misalnya keluarga adalah ketidaksetujuan orangtua atas keinginan anaknya untuk mengambil  jurusan di bidang sastra . Ada beberapa opini dari pihak keluarga yang mengatakan bahwa sastra tidak begitu menghasilkan sesuatu yang berlimpah, maksudnya jika hanya dipandang dari segi materi saja pekerjaan yang berhubungan dengan sastra dirasa kurang memberikan hasil yang maksimal. Sementara hal tersebut dinilai tidak akurat dan dikekang oleh mereka yang benar-benar menyukai dan mendalami ilmu tentang sastra. Bagi mereka pengagum sastra, kefokusan dan keseriusan terhadap sastralah yang mampu memberikan nikmat tersebut dan hasil yang maksimal. Menurut mereka jika memang seseorang ingin mendapatkan hasil yang maksimal dari bidang sastra tersebut, dibutuhkan kefokusan dan keseriusan dalam pembuatan karya-karya sastra serta kegemarannya dalam bidang sastra tersebut.
Namun, tak jarang masyarakat yang awam dalam dunia sastra mengatasnamakan sastra atau mungkin salah satu pekerjaan di bidang sastra contohnya penulis (sastrawan)  sebagai pekerjaan untung-untungan yang tidak memiliki penghasilan tetap, artinya hanya dianggap sebagai hobi dan bukan sebagai pekerjaan. Sehingga bidang sastra tersebut dikenal dan digeluti hanya terbatas pada mereka yang berada di lingkaran kelompok tertentu. Sedangkan di luar itu, sastra Indonesia tetap dianggap sebagai ruang gelap yang tak dikenal sama sekali.
Inilah yang menjadi keharusan pemerintah Indonesia untuk lebih menmbudidayakan perkembangan sastra di kalangan masyarakat luas serta lebih mengenalkan wawasan tentang sastra kepada tunas-tunas bangsa Indonesia berikutnya yang kelak akan meneruskan kelestarian budaya-budaya di negara Indonesia ini.