Sabtu, 09 September 2017

Pro Kontra about Daycare

Baiklah.

Di awal tulisan tahun ini, saya hendak membahas sedikitnya ihwal daycare.

Apa sih daycare itu?
Istilah yang biasa orang kenal untuk menyebutkan tempat penitipan anak. :(

Mungkin....

Sebenarnya saya bisa saja memindahkan penjelasan tentang daycare itu dari mbah gugel atau kamus lainnya ke dalam tulisan ini. Supaya tulisan ini terlihat lebih akurat dan keren (karena banyak istilah2 yg akan muncul. Haha)

Tapi biarlah itu jadi pengetahuan yang kalian (para pembaca) cari sendiri, karena tulisan ini akan lebih membahas pengalaman dan peristiwa yg saya alami, bukan pada arti kata daycare itu sendiri.

Sip!

Bagaimana mulanya saya bisa pro dengan dunia daycare semacam ini?

Oke. Jadi begini...

Mulanya, tahun ini ibu mertua saya meresmikan pembukaan preschool dan daycare di sekitar perumahan yang kami tempati. Hanya bermodalkan nekat dan rasa percaya diri, beliau pun membuatnya untuk mempermudah para orangtua (khususnya pekerja) yang hendak menitipkan anaknya dalam pengasuhan kami selama mereka sedang bekerja di tempatnya masing-masing.

Kenapa mereka tak menyewa pembantu saja?
Sangat berbeda memang ketika ART juga ditugaskan untuk mengasuh anak2 di rumah.

Ya..
Perlakuan yang berbeda. Mungkin tidak dirasakan bagi mereka yang sudah memercayai ART nya untuk mengasuh anak mereka. Namun pastinya ada saja orangtua yg kurang yakin dgn pola pengasuhan ART yg basic-nya diambil dr penduduk ekonomi bawah di daerah setempat.

Apalagi maraknya berita penculikan, pencurian, hingga penganiayaan anak di bawah umur, yang bertebaran di media.

Orangtua akan waswas menghadapi hal itu.

Pilihan mereka (khususnya para ibu karir) hanya tiga, berhenti bekerja, membawa anaknya bekerja bersama mereka, atau tetap bekerja dan menitipkan anaknya pada orang & lembaga yg mereka percayai (jujur/ikhlas mengasuh anak mereka).

Well. Kita langsung bahas ke pengalaman saya terhadap preschool dan daycare ya.

Apa sih yang menjadi keyakinan saya sehingga memutuskan untuk memasukkan Syahla dan Hanan ke daycare?

Ada beberapa hal yang memicu keputusan ini.

[1] Preschool dan Daycare yang ibu mertua saya buat ini adalah baru. Yaa.. baru dirintis angkatan pertama. Jadi butuh banyak modal, tenaga pendidik maupun anak2 didiknya.

Akhirnya untuk meramaikan semua itu, Syahla dan Hanan pun diminta terlibat di dalamnya. Siswa di sana pun masih sekitar 10 orang. Terbagi atas beberapa anak yg masuk ke kelas playgrup, preschool, dan daycare. Suamiku pun setuju demi perkembangan sekolah milik orangtuanya itu. Keputusan setuju ini diambil setelah mempertimbangkan hal-hal berikutnya yang akan saya jelaskan di bawah ini.....

[2] Syahla usianya sudah nyaris 3 tahun. Kosakatanya sudah buanyaaaak... Aktifnya sudah luarre biasa! Kemampuan bersosialisasinya pun tinggi. Hanya, keinginan untuk berbaginya yang masih kurang. :(

Wajar! Saya pernah baca postingan bunda Elly Risman, katanya anak usia 2-4 th memang masih butuh timangan orangtuanya, dan belum mampu berbagi benda/barang miliknya dgn anak lain. Masamasa itu adalah golden age mereka. Kehadiran orangtua adalah faktor utama kebahagiaan mereka. Tanpa banyak mainan pun mereka akan senang misalnya ayah/bunda memerankan anggota tubuhnya sebagai mainan yang bisa menarik perhatian mereka, ketimbang mainan asli yg terbuat dr berbagai bahan plastik. :D

[3] Hanan usianya 1,5 th. Sudah banyak kosakata juga karena sering mengobrol dan bernyanyi dengan kakaknya. Kakak perempuan yg cerewet dan suka bernyanyi itu pun akhirnya menularkan kamus kata baru di kepala Hanan. Saya sudah berani mengajak Hanan ngobrol dan curhat, karena doi akan merespon.

Saya jadi lebih PD ketika Syahla dan Hanan bersanding dgn anak2 lainnya di lingkungan rumah, dalam hal berbicara. *Entah karena emak bapaknya lulusan Bahasa Indonesia, anaknya jadi doyan unjuk gigi* 8)

[4] Saya bekerja sebagai guru dan tahun ini dinobatkan menjadi walikelas 6 di salah satu sekolah Islam di Karawang. Sedangkan suami bekerja dan menetap di Bandung yang hanya tiap satu sampai dua minggu sekali pulang ke Karawang untuk menebus rindu pada istri dan anakanaknya. :'D
Cie..cie.. LDR pasca kawin.
Aslinya "nggak enak" banget.. :(((

[5] Jadwal mengajar saya tidak begitu padat. Dari senin sampai jumat saya selalu mengunjungi anak-anak ketika zuhur tiba, karena waktu istirahat di sekolah selama satu jam.

Senin-selasa pulang jam 14.30. Hari rabu, full dr 7.30 sampai jam 4 sore, karena menjadi pembimbing ekskul olah vokal dan musik di sekolah. :(

Sedangkan kamis-jumat hanya sampai jam 12 siang :D

Santai kan? Lumayan! :D

Tapi tetap, saya harus standby memantau grup WA orangtua, karena kadang ada saja ortu yang menanyakan atau menitipkan sesuatu untuk disampaikan pada anaknya.

Beruntunglah lokasi sekolah tempat saya mengajar itu begitu dekat, ada di belakang rumah. Jd tinggal buka pintu doraemon di rumah, saya langsung masuk ke area sekolah. Hehe.

Itulah juga yg menjadi penyebab kenapa saya mau bekerja di sekolah tersebut. Mengingat kondisi anak2 yg masih butuh perhatian saya, akhirnya faktor jarak lah yg paling utama dalam mengambil keputusan untuk bekerja.

[6] Guru yang mengajar di preschool Syahla adalah adik ipar saya. Hehe. Jadi doi sudah kenal kalau bibi/tantenya itu yang mengajari dan menemaninya bermain sambil belajar selama bunda bekerja.

Waktu belajar dimulai pukul 7.30 sampai pukul 11 siang. Setelahnya, akan ada beberapa orangtua yg menjemput anaknya (selesai preschool), dan anak lainnya (masuk ke daycare) akan menetap di sana sampai sore hari ketika orangtuanya selesai bekerja.

Alhamdulillah... Sejauh ini Hanan cukup merasa nyaman karena di sana ada kakaknya, jd mungkin tidak begitu merasa 'ditinggalkan' oleh saya karena ia masih bersama dgn orang terdekatnya yaitu Syahla. Meski keduanya sering berebut mainan.. Tp sebentar saja juga sudah baikan lagi. Aamiin.. -_-

Tapi andai bisa berucap, mungkin mereka sebenarnya tidak mau ditinggalkan lama2 oleh saya yg bekerja. Yaa.. Semoga saja diberi jalan terbaik untuk semua pilihan ini.

[7] Jarak preschool/daycare dengan rumah kami yang sangat sangat dekat, karena masih berada di dalam perumahan yang kami tempati. Hanya berkisar 4-5 rumah. Apalagi kepala sekolahnya adalah adik ipar saya itu, dia kuliah di jurusan PAUD. Jadi makin yakin. :')

Sebenarnya begini. Banyak peristiwa yg hendak saya rekam dalam berbagai tulisan di blog ini. Hanya saja, untuk memindahkannya ke dalam tulisan, butuh waktu dan mood yang stabil dalam melakukannya.

Seperti malam ini. Saya sedang ada mood untuk mengetik banyak-banyak di ponsel saya.

Yap! Tulisan saya sekarang bermula dan tersimpan dalam telepon genggam. Aplikasi Blogger yg memudahkannya, karena Laptop sudah tak bisa diselamatkan lagi. Oke, ini cukup membantu. :(

Lanjut cerita.
Dulu ketika memasuki tahun ajaran baru 2017, mertua menawari saya menjadi kepsek di preschool and daycare tersebut. Tapi saya menolak dengan alasan, bukan bidang saya..... :S

Sempat terjadi perdebatan sengit antara kami sekeluarga. Memang, baiknya, saya bisa menjadi kepsek sekaligus menemani anak2 saya bermain dan belajar di sana. Tapi saya 'kekeuh' tidak mau, lantaran saya merasa bukan ahlinya dan tdk ada minat di bidang itu.

Ya, pola pengasuhan anak di rumah dengan di tempat preschool atau daycare semacam itu kan pasti berbeda. Harus punya ilmu dan pengalaman yang mumpuni. Saya takut salah mendidik anak orang :'(

Apalagi masamasa emas (golden age) seusia mereka. Kalau anak saya sih, yaaa bisa saja karena saya orangtua kandungnya. Tp kalau anak orang? Hehe.

Memang saya juga mendidik anak orang lain di sekolah dasar, tp alhamdulillah kan sesuai dgn ilmu yg sudah saya geluti yaitu pelajaran Bahasa Indonesia. Pun jua anak2di SD yang saya ajar, usianya sudah lebih besar, sudah cepat tanggap dan lebih mengerti apa yang dimaksudkan oleh gurunya.

Kalau mendidik batita dan balita bisa semudah dan semendadak itu, mungkin di dunia ini tidak ada jurusan pendidikan anak usia dini yang memang khusus mengajari anak2 sesuai usia pertumbuhannya. Dan tidak ada seminar parenting atau pola asuh masamasa golden age anak.

Beda pasti antara keikhlasan dan bahasa tubuhnya ketika mengasuh dan mendidik mereka... :D

Apalagi daycare itu bisa dikatakan seharian full. Menunggu orangtua mereka datang sore hari pulang dari bekerja, barulah mereka dijemput. Berarti sang anak dititip seharian di sekolah dan artinya apa2 yg harus ditanamkan di sekolah, harus benar2 baik dan seharusnya langsung diberikan oleh ahlinya, karena anak2 di usia itu mudah sekali menyerap dan mencontoh sikap juga bahasa tubuh kita tanpa mereka klasifikasi baik atau buruknya.

Menjadi ibu bagi anak2 yg lahir dari rahim saya pun bukan hal yg mudah, apalagi menjadi ibu bagi anak2 orang lain, agaknya perlu belajar menyiapkan lagi mental dan pola asuhnya.

Nah, itulah mengapa lahirnya tulisan ini. Berangkat dari gejolak batin saya yang dari dulu sebenarnya sudah mengusung kata tidak setuju terhadap adanya "daycare". Kasian anak2 kita, Mak! :(

Hal itu akan dipahami lebih dalam jika kamu pernah bertemu dengan seorang wanita yg sudah menikah belasan tahun namun belum jua dikarunia anak.

"Hai.. Kamu wanita karir ya? Anak-anakmu dititip ke daycare? Ya Allah, aku yg sudah nikah belasan tahun ini belum juga dikarunia anak, kok kamu dan ibu2 lain yg sudah dapat amanah, malah menitipkannya ke tempat penitipan anak?"

Jleeeebbbbb!!!! :'( :'(

Menyakitkan....

Iya.. Dari awal nitipin Syahla dan Hanan ke daycare juga bukan merupakan keputusan yg mudah. Apalagi kerinduan saya akan kehadiran bocahbocah di setiap waktunya.

Dulu kalau saya ngajar, salahsatu dari mereka selalu saya bawa. Tp lamalama mungkin jd agak menghambat pembelajaran di kelas, karena fokus siswa adalah ke anak saya, bukan ke materi yg saya sampaikan.

Akhirnya, dibuatlah keputusan untuk berhenti mengajar karena fokus mau main dan belajar bareng Syahla & Hanan di rumah.

Tapi kenyataan tak semudah ucapan dan niatan yg hendak dicapai. Beberapa guru mendatangi saya dan menawarkan gaji dua kali lipat dr sebelumnya. Demi apa? Supaya saya gak jadi berhenti mengajar, karena mungkin belum ada guru penggantinya.

Lah kok saya malah mau tetap bekerja dan tergiur dgn tawaran tersebut?

Ke - 7 alasan yang sudah saya jabarkan di atas adalah pemicu keputusan saya hingga akhirnya bersedia menitipkan Syahla Hanan di daycare mertua saya, dan melanjutkan perjuangan saya bekerja sebagai guru di sekolah yang sudah saya tempati selama 3 tahun terakhir itu.

Oke. Saya kira cukup.

Sebuah pelajaran yang ingin saya sampaikan adalah,

Untukmu para wanita yang sekarang sudah memiliki anak atau baru dikaruniai anak atau sebentar lagi akan mempunyai anak, nikmati saja dulu prosesnya. Luar biasa sekali menahan gejolak amarah, kesal, dan bahkan lelah yang berkecamuk dalam kepala ketika mengasuh anak2 kita. Tapi itu tidak akan lama. Karena usia anak-anak kita akan bertambah. Mereka akan memasuki usia sekolah dan menemukan teman2 barunya. Kita akan sulit lagi meminta waktu bermain dengannya. Kita akan sulit untuk memeluknya erat2 karena mereka akan tumbuh besar dan memiliki dunianya sendiri.

Jaga baik-baik anak kita. Semoga tulisan ini bisa membantu para orangtua yang berniat menitipkan anaknya ke daycare.

Jika tdk ada faktor2 penyebab di atas, lebih baik tdk usah dititipkan ya. Kasihan anak2 akan merasa ditinggalkan, terabaikan dr dunia orangtuanya. Mereka merasa jauh dan tdk terangkul lagi.

So, ayah/bunda pikirkan lagi. Kecuali kalau keadaannya kayak pengalaman saya di atas. Mungkin masih bisa diterima, tp harus sering dikunjungi supaya mereka tetap merasa orangtuanya ada mengawasi dan menjaga mereka dr jauh.. :D

Saya juga, niatnya.. Hanya setahun ini saja. Setelah tahun ajaran ini berlalu, Insya Allah mau ngikut suami ke Bandung dan menetap di sana. Pastinya mengasuh anak2 seharian full lagi. Oh.. Senangnya... Aamiin allohumma aamiin.. :D :D

Karena pada akhirnya lelah juga kalau LDR-an pasca menikah dan punya anak. Mereka butuh sosok ayah setiap harinya. Keputusan pindah harus segera diambil. Semoga diberi kelancaran dan segala yg terbaik untuk kami. Aamiin..

Semoga ada rezeki lebih untuk menebus niatan tersebut.
Toh banyak ulama yang mengatakan bahwa anak2 kita ternyata sudah punya rezekinya masing2. Jadi kita sebagai orangtua hanya perlu mendidiknya menjadi anak yang sholeh/sholehah. Itulah yg paling utama, sholeh/sholehah, selanjutnya pintar dan cerdas jadi nilai tambahan yg otomatis akan mengikuti di belakangnya.

Biidznillah....

Masyaa Allah, tak terasa, semuanya mengalir begitu saja. Sudah seperti ustadzah belum ini ya? Hahaha.

Oke.

Allohumma yassir walatu'assir..

Sekian dan terimakasih.
Salam.