22y 3m - usia saya saat membuat tulisan ini. (red : now).
11.38 pm
Pernah ada yang berkata, "Saya nggak cemburu, tapi saya cuma pengen ngeliat dia hancur."
Begini. Selama duapuluhduatahun menjadi manusia mellow di dunia ini, saya rasa Ia sudah mengalami masa-masa cemburu atau tidak menerima kenyataan yang terjadi. Simpelnya, "jika kau sudah rela melepaskan seseorang dari hatimu, kau tak akan membencinya karena alasan apapun." 
Kenyataan yang saya dapat tak begitu. Ia pernah mengoceh pada saya bahwa dirinya sudah memaafkan lelaki itu, but not act. Maksud saya, saat bercerita seperti itu, Ia masih memblokir facebooknya, menghapus nomor teleponnya, bahkan mengubur segala sesuatu yang bisa menghubungkan ingatannya dengan lelaki itu. Ia selalu berkata, sudah tak ada rasa. Tapi segala kebencian itu memunculkan anggapan bahwa Ia masih mencintainya. Bukankah jika sudah tak mencintai dan tak peduli lagi, Ia tak harus membencinya terus-menerus? Dan suatu saat secara tiba-tiba Ia menghubungi saya, menghantui segala aktivitas saya di dunia maya hingga terbawa pada dunia nyata. Ia sempat mengirim pesan, meminta nomor telepon lelaki itu dan berjanji akan bersikap baik. Bodohnya, saya malah merespon.
And then, kesalahan yang terjadi pada masa lalu kalian akhirnya berimbas pada saya. Selama hampir dua tahun melabuhkan hati pada seorang lelaki, saya dihantui rasa bersalah yang tak terkira akutnya. Persis - mirip skenario Tuhan ketika saya duduk di bangku SMA. Feeling guilty zaman putih abu-abu, lagi-lagi terjadi di masa-masa kuliah. Ah, bosan.
Barangkali saya pernah berniat memutuskan hubungan kami dan meminta lelaki itu untuk kembali pada perempuan yang telah berargumen bahwa dia tak pernah cemburu. Let's think about us. Tapi niat ini berkali-kali digagalkan oleh permintaan maaf yang beribu harunya dari lelaki itu. Akhirnya kami yang memutuskan untuk meninggalkan jejak dari skenario Tuhan. Saya dan lelaki itu menghapus segala hal yang menjadi penghubung kami menuju si perempuan. Baiklah, dari sini, stalker atau kepo itu bermunculan secara tiba-tiba.
Sms masuk, mention di twitter tanpa ada kegiatan follow-mem-follow, komen-komen di blog, tumblr, sampai pada ask.fm sekalipun. Peristiwa ini berlangsung selama hampir dua tahun. Sambil berkisah-kasih karena asmara, saya menahan rasa takut dan curiga berlebihan pada lelaki itu karena ulah si perempuan. Hal tersebut akhirnya saya anggap sebagai bumbu asam-manis sampai pahit dalam kisah percintaan seseorang di dunia ini. Always... possitive thinking.
Well, sekarang kami sudah hidup bersama. Lalu dengan tergesa Ia menghapus segala amarah yang mungkin telah bersarang bahkan melumut di kepalanya. Ia membuka blokiran facebook lelaki itu. Ia membiarkan tubuhnya kembali diguyur masa lalu, sambil belajar melepaskan dengan cara yang tepat. Kenyataan tersebut saya terima dengan pikiran limbung, kalau-kalau suatu saat Ia meminta pertanggungjawaban lelaki itu. Akhirnya saya berimajinasi. Jika memang tak ada jalan keluar, keputusannya adalah berpisah dan meninggalkan. Saya belum suka dengan kata "poligami". Barangkali banyak wanita yang sepaham dengan saya. 
Tapi tenang, itu hanya imajinasi saya dalam cerpen (hehe). Tidak mungkin kami berpisah, kami kan bercita-cita punya banyak anak. Tidak mungkin juga berpoligami. Satu saja sudah kelimpuhan mengurusnya - ujar lelaki itu. Sekarang, saya sudah menghapus pertemanan facebook dengan perempuan itu, sejak Ia berkata bahwa dirinya telah benar-benar "ikhlas". Percaya tidak percaya, saya hanya bisa mengamini dan berdoa.
Semoga segera berlabuh wahai hati yang masih mengembara di laut lepas. Kembalilah pada tubuh yang telah dijanjikan Tuhan untuk menimbun rusukmu dalam-dalam. Segeralah berbakti padanya, tanpa menengok lagi ke belakang -kepada kami yang sudah lama melepas kenangan. []
12.17 am
berterimakasihlah karena sudah saya doakan. (^_^)9