Rabu, 22 Oktober 2014

Tulisan Investigasi

Ketika Prostitusi Dilegalkan

Bandung termasuk salah satu kota yang konon disorot sebagai kawasan prostitusi tertinggi kedua setelah Surabaya. Beberapa tempat yang sudah tak asing lagi di mata masyarakatnya menjadi langganan para lelaki hidung belang yang sengaja datang dengan berbagai alasan. Salah satu tempat yang paling dikenal masyarakat Bandung sebagai tempat prostitusi bernama Saritem.
Pada masa penjajahan Belanda, nama Saritem tersohor sebagai tempat hiburan malam seperti diskotik dan karaoke. Menurut salah seorang pekerja, sebut saja Anggrek, tempat itu didirikan oleh seseorang berkebangsaan Belanda yang sengaja menjadikannya sebagai tempat hiburan orang-orang Belanda ketika masih menjajah Indonesia.  Dinamakan Saritem awalnya karena tempat tersebut terletak di jalan Saritem. Namun karena tempat itu menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat Bandung, maka tempat tersebut sempat ditutup.  Setelah resmi ditutup pada tahun 1998, didirikanlah sebuah pesantren di sana.
Seiring berjalannya waktu, tempat tersebut hadir kembali karena beberapa pekerja seks yang sengaja memunculkannya lantaran sulit mencari pekerjaan di bidang lain. Mereka sudah meyakini bahwa pekerjaan itulah yang mampu mereka lakukan dan bisa menghidupi mereka serta keluarganya. Menurut Anggrek, dipilihnya kembali kawasan itu sebagai tempat prostitusi karena letaknya yang strategis. Akhirnya sekitar tahun 2000, tempat tersebut hadir dengan sebutan lain. Tempat yang dekat dengan sebuah bangunan pesantren itupun kini disebut Gang Pesantren. Konon pengadaan tempat itu sudah mendapat izin dari pihak berwajib kota Bandung, sehingga pihak pesantren tidak berani menggugat keberadaannya. Namun tetap saja ada beberapa orang yang masih senang menyebutnya Saritem.
Anggrek menjelaskan bahwa tempat tersebut kini dikelola oleh orang-orang yang memang mengabdikan diri di sana dan berkaitan dengan kegiatan tersebut, di antaranya para pekerja seks, calo sebagai perantara pelanggan kepada pramunikmat, dan dokter yang sengaja dihadirkan untuk menangani kesehatan para pekerja seks serta pelanggannya. Anggrek juga menyebutkan siapa saja para pelanggan yang datang ke tempat itu. Kebanyakan pelanggannya adalah pekerja kantoran. Tak jarang para pegawai dinas juga mengunjungi tempat itu, sebutlah para polisi dan tentara militer. “Pegawai dinas tidak boleh berkunjung kalau sedang memakai baju dinas,” jelas Anggrek. Sebagian besar pelanggan mengaku berkunjung ke tempat tersebut untuk mencari kesenangan belaka, namun ada pula yang sengaja datang karena sedang stres dengan pekerjaan mereka dan masalah rumah tangganya.
Tempat yang sudah memiliki banyak pelanggan itu dibuka mulai pukul 12 siang sampai pukul 5 pagi dengan fasilitas yang cukup memadai, seperti kamar tidur yang bersih, kipas angin di setiap ruangan serta kamar mandi yang lengkap dengan shower.
Mereka memasang tarif yang beragam dan terjangkau, berkisar antara Rp 100.000,- sampai Rp 500.000,-. Tentu saja pelanggan yang berani membayar mahal yang akan memperoleh layanan terbaik. Pekerja seks yang berumur 25 tahun ke atas memasang tarif mulai dari Rp 100.000,-. Bagi mereka yang baru bekerja di tempat tersebut dipasang tarif Rp 150.000,- sebagai bahan tarif percobaan. Apabila pekerja baru itu mendapat banyak pelanggan, maka tarif yang dipasang pun dinaikkan, tergantung dari kesepakatan pekerja seks dan pelanggannya. Di tempat tersebut bekerja pula para janda muda yang memasang tarif Rp 200.000,-. Sementara para pekerja seks yang bertubuh bagus dan berparas cantik memiliki tarif tersendiri. Di antaranya, bagi mereka yang berusia sekitar 23 sampai 26 tahun memasang tarif Rp 250.000,- dan ada juga yang  berusia 19 sampai 25 tahun yang memasang tarif Rp 300.000,-. Sedangkan tarif termahal sebesar Rp 400.000 sampai Rp 500.000,- dipasang oleh para pekerja seks yang bertubuh bagus, berkulit putih, berparas cantik, dan biasanya mantan model.  Sampai saat ini, tempat tersebut masih ramai dikunjungi lelaki hidung belang yang ingin mencari kepuasan meskipun harus berani membayar mahal tarif yang dipasang.

Catatan :
Tulisan ini ditulis kisaran tahun 2012, untuk itu apabila Anda yang membacanya berada di tahun yang berbeda, mohon perhatikan perkembangan zaman dan aturan yang saat ini sedang berlaku di masyarakat kota kembang, sehingga kita bisa sama-sama memosisikan berita ini sesuai porsinya. Barangkali tahun ini sudah tidak dilegalkan dan atau lain-lainnya. Segala kemungkinan bisa saja terjadi seiring perkembangan zaman dan berjalannya waktu. Terima kasih.

NB :
(Tulisan ini diperoleh dari hasil wawancara salah seorang teman saya bersama seorang pegawai / pramunikmat di tempat tersebut yang kemudian saya transkip ke bentuk tulisan sebagai bahan investigasi sewaktu mengontrak mata kuliah di kelas Jurnalistik angkatan 2010).