Sabtu, 24 Mei 2014

Cerpen Akhir April 2014



Orang-Orang dari Masa Lalu
@tanzalea

Bandung, 2010.
Baru seminggu aku mengenalnya. Lelaki berambut ikal sebahu dengan lesung pipit di sebelah kiri. Itu yang menjadi petanda ingatanku tentangnya. Tak ada yang spesial dari pertemuan kami hari itu. Hanya keasrian taman yang dihuni beragam bunga dan beberapa pasang mata yang sudah siap memanen rindu bersama kekasihnya. Kami bukan sepasang kekasih, hanya dua orang insan yang diciptakan Tuhan untuk melakoni peran utama dalam naskah ini.
“Kamu tahu bagaimana rasanya jomblo?” dia memulai percakapan dengan lugu. Aku menggeleng dan tersenyum. “Seperti bunga mawar di sana.” Matanya berlari ke sudut taman, memapah mataku ke arah mawar yang mekar seorang diri di pojokan. “Lalu, apa maksudnya?” aku ikut lugu. “Kapan kamu putus dengan pacarmu?” Ia tak menjawab soal dariku. Seolah di otaknya sudah tersusun deretan pertanyaan yang harus kujawab tanpa memberi kesempatan padaku untuk melakukan hal serupa. “Sudah lima kali bertanya tentang ini, jawabanku ya tetap sama.” Aku berdehem sambil membenahi poni yang tertiup angin.
Senja begitu mesra membidik percakapan kami. Tapi aku tak pernah tahu, batu jenis apa yang bersarang di kepala lelaki ini. Ia selalu menanyakan hal serupa. Barangkali di otak kirinya hanya ada pertanyaan ‘kapan’, dan di otak kanannya hanya ada pernyataan ‘cinta’.
“Aku ingin menambah teman sebanyak-banyaknya. Apalagi di tempat baru seperti sekarang.” Ujarku. Ia menanggapi dengan menghela nafas, mengangkat bahu dan mematahkan lehernya ke kiri.
“Kalau nanti putus, orang pertama yang kamu beri tahu, harus aku ya.” Nafasku tertahan, mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya.
“Kenapa harus kamu?” Aku terkekeh, meski sudah tahu isi perasaannya, hanya saja waktu tak jua membawaku masuk ke dalam hidupnya. Aku belum bisa menyukai Male seperti kecintaanku pada Arnot. Ini kali kelima ia melontarkan pertanyaan itu. Tapi sudah berulang kali pula ia mendengar jawaban yang serupa dariku. Mulutnya tak pernah jera, seperti mulutku yang belum jera mengatakan, “Tidak tahu!

Jakarta, 2009.
Sudah rabu ketiga di bulan kedua tahun itu, seorang lelaki berambut mohack, berperawakan tinggi dan kurus, membacakan sebuah puisi untukku. ‘Aku Ingin’ karya Sapardi. Ia bertelanjang dada, berlari-lari mengitari lapangan basket sambil membacakan bait-bait puisi itu dengan lantang. Kali ini di dadanya tertulis namaku, “SYAHLA”.
Seluruh siswa berhamburan keluar kelas, menyaksikan adegan tak terduga di lapangan sekolah. Aku terbelalak di kantin, melihat Ratna, sahabatku, berlari kecil menuju kantin mencoba meraih tubuhku yang tengah asyik meneguk jus jambu di meja belakang. Tanpa melihat keramaian di kantin itu, Ratna berkata lantang “La, Syahla, Arnot baca puisi lagi buat kamu di lapangan. Di dadanya ada nama kamu. SYAHLA!” Teriak Ratna dibarengi sorak sorai penghuni kantin siang itu. Ratna langsung menyadari volume suaranya yang menggema. Dia langsung membungkam mulutnya dengan tangan kanan, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Matanya mendelik kaget, memelototiku yang mematung melihat kecerobohannya. Tanpa pikir panjang, ia menarik lenganku dan membawa tubuh kami keluar dari rasa malu.
Tapi tubuhku terlanjur diguyur malu. Bukan karena tingkah Arnot yang sengaja menulis namaku di dadanya, tapi karena kebingunganku menanggapi reaksi seluruh siswa yang menyaksikan peristiwa itu dan bersorak tak henti-henti. Seolah aku ini adalah objek dari luapan kegelian mereka atas tingkah laku Arnot di lapangan dan juga Ratna di kantin sekolah.
Pipiku merah padam, gerimis di mataku nyaris pecah. Sekali lagi bukan karena Arnot, tapi karena aku malu menghadapi teman-teman di sekolah yang mulai melontarkan kata-kata baru dalam ingatanku. “cie cie…” Satu kata dengan pengucapan berulang kali itu terus saja menggelayuti kupingku. Rasanya mual mendengar ejekan mereka. Tapi entah kenapa, peristiwa itu tak lantas membuatku membenci Arnot, malah sebaliknya. Aku mencintai Arnot.

Jakarta, 2010.
Sorak sorai seluruh siswa di sekolah kembali bersahutan. Kali ini bukan lagi menyoraki peristiwa konyol yang pernah menimpaku, melainkan menyoraki diri mereka sendiri yang mendapat kabar gembira bahwa angkatanku lulus ujian nasional 100%. Kabar tingkah gila Arnot dan kecerobohan Ratna di sekolah sudah lama mengendap di tanah, setelah setahun lalu aku dan Arnot meresmikan hubungan kami. Seolah rasa malu itu disulap menjadi rasa bangga. Entah karena alasan apa aku malah menyukai lelaki yang sudah bertingkah tak sewajarnya. Aku menyukai Arnot, menyukai puisi-puisinya yang banyak ditujukan padaku, menyukai tingkah konyolnya dalam berapresiasi. Entah mengapa aku selalu menyukainya, apapun yang Arnot lakukan, sekalipun terkesan vulgar dan memalukan. Barangkali Tuhan juga telah bertindak konyol. Ia memangkas habis rasa gengsiku di sekolah. Tuhan lebih mengerti apa yang sebenarnya tertanam dalam jiwaku. Ia Maha membolak-balikkan hati. Maha Menyutradarai.
Setahun ke belakang, aku banyak menghabiskan waktu dengan Arnot. Bahkan jatah waktuku di rumah, hampir setengahnya aku serahkan untuk Arnot. Aku mulai gemar mengoleksi buku-buku fiksi, sepatu gunung, ransel dan jaket tebal untuk pergi muncak. Seolah Arnot menyulapku menjadi perempuan feminim yang tangguh, ia membimbingku berbaur dengan alam. Aku mulai memiliki hobi membaca dan naik gunung, sama sepertinya. Kali itu Arnot mengajariku menulis puisi. Tapi pikiranku mandek, karena puisi adalah karangan pendek yang padat makna. Sementara gaya penulisanku bertele-tele, maka aku memutuskan untuk belajar menulis prosa.
Berawal dari ajakan Arnot ke sebuah toko buku di kencan pertama kami. Seterusnya aku menjadi tak asing dengan hal itu. Kami banyak menghabiskan malam minggu di kedai kopi rempah-rempah dengan fasilitas taman baca di dalamnya. Sesekali kami mampir ke toko buku hanya untuk menghabiskan sebuah bacaan, tanpa membelinya. Kami juga pernah menghabiskan sore di perpustakaan sekolah. Membiarkan penjaga perpus lembur menunggui kami yang tinggal berdua. Saat itu, hanya bersama Arnot aku merasa hidup kembali dan menjadi seorang Syahla dengan kebiasaan baru.


Bekasi, 2009.
            Entah dari mana dia berasal. Dari puluhan temanku di asrama, hanya dialah yang sangat antusias terhadap karyaku. Perempuan yang gemar menutup kepalanya dengan kerudung abu. Dengan sepasang mata sayup yang bertengger di wajah, tak lantas menjadikannya lelah untuk membaca seluruh tulisan yang aku bukukan sendiri. Layaknya manusia tujuh belas tahun yang baru mengenal masa remaja, ia mengaku baru kali ini memiliki teman lelaki sedekat aku. Hidupnya dulu dipenuhi aturan-aturan orangtua. Ia adalah seorang santri di sebuah pesantren ternama di Kota Bekasi. Sejak kecil pendidikannya tak lepas dari ajaran-ajaran pesantren, hingga usianya menginjak tujuh belas tahun. Hanya sejak dua tahun ini ia pindah ke sekolah negeri karena ingin berbaur dengan dunia yang lebih luas, tak sebatas aturan-aturan yang diusung keluarganya di pesantren. Perempuan itu berontak, tapi melalui prestasinya di bidang akademik. Ia mendapat beasiswa dari sekolah negeri. Ia juga mendapat biaya hidup gratis di asrama yang kami tempati. Karena prestasinya itulah, keluarganya membolehkan ia melanjutkan pendidikan di sekolah negeri dan menempati asrama ini.
***
Sore itu tepat di hari sabtu, aku bergegas menuju asrama. Tubuhku kuyup, diguyur hujan yang kebetulan bermukim di kotaku. Tak banyak yang aku bawa, hanya uang receh sepuluh ribu rupiah dan sebuah novel Kahlil Gibran yang aku balut dengan kantong plasik dan kuselipkan di dalam jaket. Langkahku terhenti ketika memasuki pintu asrama. Seorang perempuan seusiaku tengah berdiri mematung di depan pintu, membawa sebuah payung di lengan kirinya, dan lengan kanannya dipenuhi tas-tas yang bergelayut penuh beban. Perempuan itu tampak kebingungan.
Karena penasaran, aku mencoba menyapanya dan bermaksud mengurangi kebingungannya. Tapi tak disangka, perempuan itu tiba-tiba menampar wajahku dan berlari masuk ke lobi asrama. Aku kaget dibuatnya. Tubuhku bergetar, bukan hanya kedinginan karena tubuh yang kuyup, tapi juga karena reaksi yang timbul serentak ketika mendapati tangannya sudah mendarat di pipiku.
Pertemuan yang mengejutkan itu tak lantas membuatku jera untuk berkenalan dengannya. Letak kamar perempuan itu ada di lantai 2, tepat di sudut lift. Aku sering melihatnya ketika lift yang kunaiki singgah di lantai 2. Hanya sesekali tersenyum menyapanya, meskipun tak dibalas dengan senyum ramah, tapi seminggu berpapasan dengannya di dalam lift membuat ia luluh juga.
Rabu sore aku berniat mengunjungi sebuah toko buku di sebrang asrama. Kunaiki lift yang hanya ada satu di asrama itu. Dan Tuhan kembali menulis skenario-Nya yang indah. Aku dipertemukan lagi dengan perempuan itu. Kali ini hanya kami berdua di dalam lift. Aku senang melihat matanya yang sayup. Tak sengaja penglihatanku tertuju pada matanya. Sehingga ia agak risih dan mulai berdehem keras. Aku kaget dan langsung memalingkan pandangan. Perempuan itu lalu mengulurkan tangannya.
“Laila.” ucapnya. Tanpa basa-basi, aku balas sapaan itu dengan meraih jabatan tangannya, “Maleku.” jawabku tegas. Seperti ada yang menggelitik urat nadi, kami pun terkekeh di dalam lift. Akhirnya Laila meminta maaf atas peristiwa pertama kami di depan asrama yang selama ini mengganjal pikirannya karena belum berani menemuiku untuk meminta maaf. Pertemuan hari rabu itupun menjadi awal kedekatan kami. Perempuan itu tak segan padaku. Meski pakaiannya terlihat kuno dan kerudungnya menutupi dada, ia tetap berani bersalaman denganku. Menatap wajahku tegas, dan tertawa bersama denganku menghabiskan hari rabu di toko buku.
***


-to be continued
(script writer : Intan Pertiwi)

Sabtu, 17 Mei 2014

My Voice

silahkan bagi yang ingin mengapresiasi polusi suara saya di medsos :)

kunjungi :

Tanza Azalea soundcloud

atau

Intantiwiful youtube

sekadar menyalurkan hobi, selamat mengapresiasi!