Orang-Orang dari Masa Lalu 
@tanzalea
Bandung, 2010.
Baru seminggu aku mengenalnya. Lelaki berambut ikal
sebahu dengan lesung pipit di sebelah kiri. Itu yang menjadi petanda ingatanku
tentangnya. Tak ada yang spesial dari pertemuan kami hari itu. Hanya keasrian taman
yang dihuni beragam bunga dan beberapa pasang mata yang sudah siap memanen
rindu bersama kekasihnya. Kami bukan sepasang kekasih, hanya dua orang insan yang
diciptakan Tuhan untuk melakoni peran utama dalam naskah ini.
“Kamu tahu bagaimana rasanya
jomblo?” dia memulai percakapan dengan lugu. Aku
menggeleng dan tersenyum. “Seperti bunga mawar di sana.” Matanya berlari ke sudut
taman, memapah mataku ke arah mawar yang mekar seorang diri di pojokan. “Lalu, apa
maksudnya?” aku ikut lugu. “Kapan kamu putus dengan pacarmu?” Ia tak menjawab
soal dariku. Seolah di otaknya sudah tersusun deretan pertanyaan yang harus kujawab
tanpa memberi kesempatan padaku untuk melakukan
hal
serupa. “Sudah lima kali bertanya
tentang ini, jawabanku ya tetap sama.” Aku berdehem sambil membenahi poni yang
tertiup angin. 
Senja begitu mesra membidik percakapan kami. Tapi aku tak
pernah tahu, batu jenis apa yang bersarang di kepala lelaki ini. Ia selalu
menanyakan hal serupa. Barangkali di otak kirinya hanya ada pertanyaan ‘kapan’,
dan di
otak kanannya hanya ada pernyataan ‘cinta’.
“Aku ingin menambah teman sebanyak-banyaknya. Apalagi di
tempat baru seperti sekarang.” Ujarku. Ia menanggapi dengan menghela nafas,
mengangkat bahu dan mematahkan lehernya ke kiri. 
“Kalau nanti putus, orang pertama yang kamu beri tahu,
harus aku ya.” Nafasku tertahan, mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari
mulutnya.
“Kenapa harus kamu?” Aku terkekeh, meski sudah tahu isi
perasaannya, hanya saja waktu tak jua membawaku masuk ke dalam hidupnya. Aku
belum bisa menyukai Male seperti kecintaanku pada Arnot. Ini kali kelima ia
melontarkan pertanyaan itu. Tapi sudah berulang kali pula ia mendengar jawaban
yang serupa dariku. Mulutnya tak pernah jera, seperti mulutku yang belum jera
mengatakan, “Tidak tahu!”
Jakarta, 2009.
Sudah rabu ketiga di bulan kedua tahun itu, seorang
lelaki berambut mohack, berperawakan
tinggi dan kurus, membacakan sebuah puisi untukku. ‘Aku Ingin’ karya Sapardi.
Ia bertelanjang dada, berlari-lari mengitari lapangan basket sambil membacakan
bait-bait puisi itu dengan lantang. Kali ini di dadanya tertulis namaku, “SYAHLA”.
Seluruh siswa berhamburan keluar kelas, menyaksikan
adegan tak terduga di lapangan sekolah. Aku terbelalak di kantin, melihat
Ratna, sahabatku, berlari kecil menuju kantin mencoba meraih tubuhku yang
tengah asyik meneguk jus jambu di meja belakang. Tanpa melihat keramaian di
kantin itu, Ratna berkata lantang “La, Syahla, Arnot baca puisi lagi buat kamu di lapangan. Di
dadanya ada nama kamu. SYAHLA!” Teriak Ratna dibarengi sorak sorai penghuni
kantin siang itu. Ratna langsung menyadari volume suaranya yang menggema. Dia langsung
membungkam mulutnya dengan tangan kanan, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
Matanya mendelik kaget, memelototiku yang mematung melihat kecerobohannya.
Tanpa pikir panjang, ia menarik lenganku dan membawa tubuh kami keluar dari
rasa malu.
Tapi tubuhku terlanjur diguyur malu. Bukan karena tingkah
Arnot yang sengaja menulis namaku di dadanya, tapi karena kebingunganku
menanggapi reaksi seluruh siswa yang menyaksikan peristiwa itu dan bersorak tak
henti-henti. Seolah aku ini adalah objek dari luapan kegelian mereka atas tingkah
laku Arnot di lapangan dan juga Ratna di kantin sekolah.
Pipiku merah padam, gerimis di mataku nyaris pecah.
Sekali lagi bukan karena Arnot, tapi karena aku malu menghadapi teman-teman di
sekolah yang mulai melontarkan kata-kata baru dalam ingatanku. “cie… cie…” Satu kata dengan pengucapan berulang kali itu
terus saja menggelayuti kupingku. Rasanya mual mendengar ejekan mereka. Tapi
entah kenapa, peristiwa itu tak lantas membuatku membenci Arnot, malah
sebaliknya. Aku mencintai Arnot.
Jakarta, 2010.
Sorak sorai seluruh siswa di sekolah kembali bersahutan.
Kali ini bukan lagi menyoraki peristiwa konyol yang pernah menimpaku, melainkan
menyoraki diri mereka sendiri yang mendapat kabar gembira bahwa angkatanku
lulus ujian nasional 100%. Kabar tingkah gila Arnot dan kecerobohan Ratna di
sekolah sudah lama mengendap di tanah, setelah setahun lalu aku dan Arnot meresmikan
hubungan kami. Seolah rasa malu itu disulap menjadi rasa bangga. Entah karena
alasan apa aku malah menyukai lelaki yang sudah bertingkah tak sewajarnya. Aku
menyukai Arnot, menyukai puisi-puisinya yang banyak ditujukan padaku, menyukai
tingkah konyolnya dalam berapresiasi. Entah mengapa aku selalu menyukainya, apapun
yang Arnot lakukan, sekalipun terkesan vulgar dan memalukan. Barangkali Tuhan
juga telah bertindak konyol. Ia memangkas habis rasa gengsiku di sekolah. Tuhan
lebih mengerti apa yang sebenarnya tertanam dalam jiwaku. Ia Maha membolak-balikkan
hati. Maha Menyutradarai.
Setahun ke belakang, aku banyak menghabiskan waktu dengan
Arnot. Bahkan jatah waktuku di rumah, hampir setengahnya aku serahkan untuk
Arnot. Aku mulai gemar mengoleksi buku-buku fiksi, sepatu gunung, ransel dan
jaket tebal untuk pergi muncak. Seolah Arnot menyulapku menjadi perempuan
feminim yang tangguh, ia membimbingku berbaur dengan alam. Aku mulai memiliki
hobi membaca dan naik gunung, sama sepertinya. Kali itu Arnot mengajariku
menulis puisi. Tapi pikiranku mandek, karena puisi adalah karangan pendek yang
padat makna. Sementara gaya penulisanku bertele-tele, maka aku memutuskan untuk
belajar menulis prosa.
Berawal dari ajakan Arnot ke sebuah toko buku di kencan
pertama kami. Seterusnya aku menjadi tak asing dengan hal itu. Kami banyak
menghabiskan malam minggu di kedai kopi rempah-rempah dengan fasilitas taman
baca di dalamnya. Sesekali kami mampir ke toko buku hanya untuk menghabiskan
sebuah bacaan, tanpa membelinya. Kami juga pernah menghabiskan sore di
perpustakaan sekolah. Membiarkan penjaga perpus lembur menunggui kami yang
tinggal berdua. Saat itu, hanya bersama Arnot aku merasa hidup kembali dan menjadi
seorang Syahla dengan kebiasaan baru.
Bekasi, 2009.
            Entah
dari mana dia berasal. Dari puluhan temanku di asrama, hanya dialah yang sangat
antusias terhadap karyaku. Perempuan yang gemar menutup kepalanya dengan
kerudung abu. Dengan sepasang mata sayup yang bertengger di wajah, tak lantas menjadikannya
lelah untuk membaca seluruh tulisan yang aku bukukan sendiri. Layaknya manusia
tujuh belas tahun yang baru mengenal masa remaja, ia mengaku baru kali ini
memiliki teman lelaki sedekat aku. Hidupnya dulu dipenuhi aturan-aturan orangtua. Ia adalah seorang santri di sebuah pesantren ternama di
Kota Bekasi. Sejak kecil pendidikannya tak lepas dari ajaran-ajaran pesantren,
hingga usianya menginjak tujuh belas tahun. Hanya sejak dua tahun ini ia pindah
ke sekolah negeri karena ingin berbaur dengan dunia yang lebih luas, tak
sebatas aturan-aturan yang diusung keluarganya di pesantren. Perempuan itu
berontak, tapi melalui prestasinya di bidang akademik. Ia mendapat beasiswa dari
sekolah negeri. Ia juga mendapat biaya hidup gratis di asrama yang kami tempati.
Karena prestasinya itulah, keluarganya membolehkan ia melanjutkan pendidikan di
sekolah negeri dan menempati asrama ini.
***
Sore itu tepat di hari sabtu, aku bergegas menuju asrama.
Tubuhku kuyup, diguyur hujan yang kebetulan bermukim di kotaku. Tak banyak yang
aku bawa, hanya uang receh sepuluh ribu rupiah dan sebuah novel Kahlil Gibran
yang aku balut dengan kantong plasik dan kuselipkan di dalam jaket. Langkahku
terhenti ketika memasuki pintu asrama. Seorang perempuan seusiaku tengah
berdiri mematung di depan pintu, membawa sebuah payung di lengan kirinya, dan
lengan kanannya dipenuhi tas-tas yang bergelayut penuh beban. Perempuan itu
tampak kebingungan. 
Karena penasaran, aku mencoba menyapanya dan bermaksud
mengurangi kebingungannya. Tapi tak disangka, perempuan itu tiba-tiba menampar
wajahku dan berlari masuk ke lobi asrama. Aku kaget dibuatnya. Tubuhku
bergetar, bukan hanya kedinginan karena tubuh yang kuyup, tapi juga karena
reaksi yang timbul serentak ketika mendapati tangannya sudah mendarat di
pipiku.
Pertemuan yang mengejutkan itu tak lantas membuatku jera
untuk berkenalan dengannya. Letak kamar perempuan itu ada
di lantai 2, tepat di sudut lift. Aku sering melihatnya
ketika lift yang kunaiki singgah di lantai 2. Hanya sesekali tersenyum
menyapanya, meskipun tak dibalas dengan senyum ramah, tapi seminggu berpapasan
dengannya di dalam lift membuat ia luluh juga.
Rabu
sore aku berniat mengunjungi sebuah
toko buku di sebrang asrama. Kunaiki lift yang hanya ada satu di asrama itu.
Dan Tuhan kembali menulis skenario-Nya yang indah. Aku dipertemukan lagi dengan
perempuan itu. Kali ini hanya kami berdua di dalam lift. Aku senang melihat matanya yang sayup. Tak sengaja
penglihatanku tertuju pada matanya. Sehingga ia agak risih dan mulai berdehem
keras. Aku kaget dan langsung memalingkan pandangan. Perempuan itu lalu
mengulurkan tangannya. 
“Laila.” ucapnya. Tanpa basa-basi, aku balas sapaan itu
dengan meraih jabatan tangannya, “Maleku.” jawabku tegas. Seperti ada yang
menggelitik urat nadi, kami pun terkekeh di dalam lift. Akhirnya Laila meminta
maaf atas peristiwa pertama kami di depan asrama yang selama ini mengganjal pikirannya karena belum berani menemuiku untuk
meminta maaf. Pertemuan hari rabu itupun menjadi awal kedekatan kami. Perempuan
itu tak segan padaku. Meski pakaiannya terlihat kuno dan kerudungnya menutupi
dada, ia tetap berani bersalaman denganku. Menatap wajahku tegas, dan tertawa
bersama denganku menghabiskan hari rabu di toko buku.
***
-to be continued- 
(script writer : Intan Pertiwi)