Senin, 24 Juni 2013

Ingatan Tentang .....

Pagi ini mendadak gairah nulis saya timbul lagi setelah ke sekian kalinya nonton film Perahu Kertas di laptop. Enggak tau kenapa, saya kaya dihipnotis sama musiknya, dan alur cerita yang disuguhin film itu cenderung ngembaliin ingatan saya ke beberapa tahun silam. Tepatnya pas sekolah dasar -- called Cimon -- Cinta Monyet. hehe.

Darwis, seorang murid lakilaki yang baru masuk kelas 2A di sekolah saya. Dia itu murid baru, tapi otaknya encer, pinter banget! Masamasa sekolah dasar adalah masa terpintar selama hidup saya. Ya, soalnya pas  SD, saya ngeraih juara pertama berturut-turut dari kelas satu sampai enam. *Takdir Tuhan*

Yup! Darwis itu otaknya gak kalah encer dari saya, peringkat ke dua yang saat itu lagi ada di tangan Ayu, langsung dia rebut tanpa rasa berdosa sedikit pun begitu dia resmi jadi murid baru di kelas kami. So good! keren!
Lelaki bertopi yang punya mata sipit dan wajah agak chiness itu, dia menduduki peringkat dua setelah saya! Hampir takut peringkat satu juga direbut dia, makanya saya ekstra belajar, supaya angka satu itu tetep betah jadi penghuni peringkat raport saya.

Dia -- lelaki berjubah hujan (Nocturno).

Darwis terkenal murah senyum dan pinter ngegambr. Pernah saya curi-curi pandang sama dia pas di kelas, tepatnya pas mata pelajaran seni rupa. Dia jago mainin pensilnya loh, wow banget deh, dan kamu tau apa gambar yang dia buat? sebuah alat musik, men! Gitar! (kelas 2 SD udah bisa bikin gitar yang keliatan hidup dan nyata. Hah, You're the best!)

Saya enggak tau kalau itu kali pertama saya kesengsem sama anak lakilaki yang begitu memesona. Selain pinter, dia jago ngegambar. Wah, kan? Mukanya ganteng meskipun sampai sekarang saya belum tau kayak apa muka gedenya, tapi saya yakin kok dia masih tetep memesona seperti dulu.

Tepat di kelas 2 SD dia masuk jadi murid baru, sering becanda bareng saya, sering ngelempar senyumnya ke muka saya terus saya tangkep pake tangan dan saya usap ke pipi tembem saya. *hah* -,-"

yaa... begitulah Darwis dengan segala kekonyolan dan kecerdasan otaknya itu.

Sampai suatu hari sahabat saya--Ayu, kedapetan surat dari Darwis, kata Ayu surat itu buat saya, tapi belum saya buka dan malah saya simpen di dalem tas gendong bergambar twiti kesayangan saya. 

Esoknya, Ayu berniat ngajak saya buat jadi detektif-detektif'an.

Sepulang sekolah saya sama Ayu penasaran pengen tahu rumah Darwis saat itu, jadi sengaja deh Ayu punya ide konyol buat mengintai Darwis dari belakang pas dia ke luar gerbang sekolah. Akhirnya dengan segala keberatan--seberat badan saya, dan demi nama persahabatan yang begitu erat dengan Ayu, saya pun ikut mengintai! *padahal penasaran juga*

Ayu dan saya ngikutin Darwis dari belakang, dia lagi jalan bareng temen lakilaki kami bernama Carta. Mereka berdua kompak banget kaya tim, ke mana-mana berdua, yaa... mungkin Darwis baru aja dapetin sahabat hidupnya di sekolah itu. Setelah agak jauh kami ngikutin dia, ada rasa curiga kami yang berlebihan, kayanya Darwis sengaja belok-belok ke gang yang acak deh -- keliatannya Darwis tau kalau kami lagi memata-matai langkah dia. 

And then, pas Darwis belok ke sebuah gang, saya sama Ayu langsung tancep gas buat belok juga, soalnya langkah Darwis sama Carta cepet banget, kami pun belok ke gang yang melenyapkan tubuh Darwis di mata kami. Dan ternyata, pas belok......

jleb!

nothing "somebody".....
Beneranlah mereka lenyap dan kami kehilangan jejak mereka! *heuh*
Kami nengokinn muka ke semua penjuru, tapi gak ada satu pun helai rambut mereka yang tersepuh angin dan mencolok mata kami. Gang itu kosong, kami enggan untuk lanjut berjalan karena udah kehilangan jejak dari situ.
Akhirnya kami balik ke arah pulang. Sialnya, begitu balik arah, suara tawa langsung pecah di belakang kami. Saya dan Ayu langsung nengokin muka, and then... mereka berdua nongol lagi di gang itu. Carta keliatan ketawa puas banget ngeliat gelagat kami, sampai mukanya merah kaya jus tomat yang udah di mix pake stroberi. ckck. Kalau Darwis, dia cuma senyum lucu sambil sedikit ngelepas tawa renyahnya, eeeeeh ada lesung pipinya juga, saya baru beneran jelas ngeliat lesung pipinya. Heeeem, truly renyah dan memesona ! *keukeuh*

Entah dengan kekuatan dari mana, saya dan Ayu keburu kaget dan malu, akhirnya kami langsung ngacir dengan seribu langkah dari aspal gang itu. Kami langsung pulang ke rumah dan berharap besok Darwis sama Carta amnesia untuk selama-lamanya--tentang hari itu.

Setahun di kelas 2 udah bikin saya lumayan deket sama Darwis, sampai tiba saat kenaikan kelas 3 SD, Darwis gak dateng di acara perpisahan dengan wali kelas 2. Semua anak yang saya absen mukanya hadir kok, tapi saya gak ngeliat muka Darwis nongol di kelas itu. Saya agak sedih, apalagi saya bawa hadiah buat dia--buku gambar-- supaya dia bisa terus menggambar dan kelak ngelukis wajah saya. *hope*

Setelah pulang ke rumah dan membongkar isi tas twiti kesayangan saya, akhirnya terbukalah semua itu. Yap, tepatnya di sebuah surat usang yang udah beberapa hari jadi penghuni tas saya. Darwis nulis surat itu pake tulisan tangannya sendiri. Saya masih inget, ada gambar dua muka di surat itu. Yang pertama muka perempuan dengan rambutnya diiket satu, dan kedua, muka lakilaki yang rambutnya belah dua. Gambar muka itu berhadapan, di antara keduanya ada gambar love kecil. Barulah saya tau pas ngeliat tulisan di bawah gambar itu. Gambar perempuan tertulis nama saya, dan gambar lakilaki tertulis nama dia sendiri. 

Itulah cinta monyet saya yang enggak bertepuk sebelah tangan--kalau kata orang dewasa sih.

Memang.. cinta itu tidak bertepuk sebelah tangan, cinta itu terus menuju ke hati kami, cinta itu saling melengkapi meskipun usia kami masih terlalu dini. Ya, cinta itu biasa orang sebut cinta monyet, apalagi usia kelas 2 SD, terasa begitu janggal jika sudah mulai jatuh cinta. Tapi kami melakoninya, kami merasakannya meskipun kami tidak tahu bagaimana kelanjutan cerita cimon kami.

Surat itu adalah surat cinta pertama dan terakhir yang Darwis berikan pada saya. Saat esoknya masuk sekolah, saya sudah mendapati kabar bahwa Darwis pindah ke Jakarta karena neneknya di daerah itu meninggal dan ia resmi tinggal di Jakarta serta melanjutkan sekolahnya di sana.

Sampai saat ini, Darwis belum tau tentang perasaan saya, belum tau apakah cimonnya bertepuk sebelah tangan, atau lantas menjadi hujan yang meresap ke dalam tanah lalu subur di atas tangkai-tangkai pepohonan yang rimbun. Entahlah. Darwis belum juga menampakkan wajahnya di hadapan saya. 
Pertemuan mengejutkan disertai perpisahan yang mengejutkan pula. Darwis pergi tanpa pamit, Darwis pergi membiarkan saya menanggung perasaan itu seorang diri-- ketika seorang saya belum patut untuk berbicara serius tentang cinta, bahkan mengeja dan mengingat-ingat bentuk hurufnya pun masih terasa sulit. Darwis pergi dan belum saya temui sampai detik saya menulis catatan usang ini. 
Seandainya dia tau, masamasa itu adalah masa yang terlalu bocah untuk mengutarakan bahasa cinta, apalagi membiarkannya luntang lantung karena ditinggal kabur pencurinya.

Darwis -- dan ingatan tentang ..... (?)


(IP, Juni 2013)