Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas 
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa
Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam
jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan
antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan
"jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga
tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak
didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada
naskah Babad
Tanah Sunda dan Atja pada
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh
kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi
sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana
bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat
istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau
berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat
adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon
(udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam.
Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon
inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air
rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.[1]
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari
pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu
pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan
perdagangan di kepulauan Nusantara maupun
dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal
pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Perkembangan awal
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan
Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai
membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan)
pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi.
Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat
baru di desa Caruban.
Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh
masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau
wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi
Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki
Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga
bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua,
dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Masa Kesultanan Cirebon
(Pakungwati)
Pangeran Cakrabuana (….
–1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri
Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang
(puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah
remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu,
yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya
sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia
memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu
(abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama
leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu
Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai
Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa
meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu
mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan
demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah
Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai
menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai
"raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan
aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
Sunan Gunung Jati
(1479-1568)
Lukisan Sunan Gunung Jati
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya,
Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir,
yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan
sebutan Sunan Gunung Jati dengan
gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif
Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan
Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon
dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati
kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon
dan Kesultanan Banten serta
penyebar agama Islam di Jawa Barat sepertiMajalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[2]
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan
mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas
dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah
kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak
tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua
tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung
Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung
Jinem Astana Gunung Sembung.
Panembahan Ratu I
(1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang
layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu
Pangeran Mas, putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati.
Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama
kurang lebih 79 tahun.
Panembahan Ratu II
(1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649,
pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran
Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing
Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi
kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma
yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu
II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara
dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten
merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I
adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa
Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan
Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran.
Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan
ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma
dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat
dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa
sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah
sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
Terpecahnya Kesultanan
Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan
penguasa. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di
Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat,khawatir atas nasib kedua
kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng
Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang Pagarage),
beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki
hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo yang
disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil
diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain
dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua
Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan
Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran
Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan
kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak
beraliansi lagi dengan Mataram.
Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian
terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan
Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak
baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan
masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian,
para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
Sultan
Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad
Badrudin (1677-1723)
Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
Pangeran
Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil
Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra
tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena
keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di
ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,
rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi
sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau
keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron),
yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di
Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan
tradisi keraton, di mana seorang sultan akan
menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika
tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang
dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar,
sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi
perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin
memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan
Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial
Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran
Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan
bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan
gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi,
yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta
Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom
Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
Masa kolonial dan
kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin
dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan
dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya.
Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan
Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente
Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk
sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942,
Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan
Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh
pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.
Perkembangan terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi
merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun
demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat
kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan
Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan
telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival
Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap
yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529,
sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan
yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.
Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di
keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang
Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua
sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton
tersebut.
PUSTAKA
·        
Wildan,
H.Dadan, Dr. M.Hum, Cirebon, Masa Lalu dan Kini, Pikiran Rakyat,
Edisi Selasa, 8 Juni 2004 [1]
·        
Permana,
Aan Merdeka, Surutnya Kekuasaan Kesultanan Cirebon, Pikiran Rakyat,
Edisi Kamis 17 Juni 2004 [2]
